MANUGAL, CARA TANI DAYAK DI PEDALAMAN KALIMANTAN

Oleh Hasan Zainuddin

Manugal sebutan warga Dayak Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan untuk bertani di lahan kering atau gunung, manugal bisa jadi sebuah proses dalam penanaman padi ala Dayak tersebut. Seperti dalam proses bertani, yaitu laki-laki menugal (melubangkan lahan untuk benih) dan perempuan memasukkan benih padi ke lubang tugal dengan jarak tanam 20cm x 20cm, dimana setiap lubang diisi 5-7 benih. Lubang tugal tidak ditutup, dibiarkan terbuka, tapi lama kelamaan lubang itu dengan sendirinya akan tertutup oleh tanah akibat aliran air hujan pada permukaan tanah. Merasakan dan ikut menyatu dalam kebiasaan Warga Dayak Pegunungan dalam bertani itulah yang dilakukan dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ir Abdul Haris Mustari, MSc.

Abdul Haris berada di Pegunungan Meratus sebagai peneliti yang tergabung dalam Tim Eksepedisi Khatulistiwa berlangsung April-Juli 2012 lalu.

Sebelum menanam, katanya dilakukan ritual, yaitu membakar dupa yang dibawa mengelilingi lahan yang akan ditanami sebanyak tiga kali sambil membaca mantra yang isinya adalah doa dan permohonan kepada YMK agar hasil padi melimpah dan dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Varietas padi di komunitas petani Dayak Meratus sangat tinggi, tercatat minimal 28 varietas padi, baik padi biasa maupun padi pulut (lakatan),kata Haris Mustari dalam sebuah tulisan yang disampaikan kepada penulis melalui email. Orang Dayak telah melestarikan berbagai varietas padi secara turun temurun karena itu lingkungan alam Dayak telah menjadi bank gen (gene pool) untuk berbagai varietas padi yang sangat penting dilestarikan karena diperlukan dalam rangka pemuliaan padi yang lebih unggul yang diperlukan manusia. Selain padi, orang Dayak juga menanam berbagai jenis palawija dan tanaman tahunan yang menunjang kehidupan mereka.

Beberapa varietas padi yang ditanam orang Dayak diantaranya Sabai, Tampiko, Buyung, Uluran, Salak, Kanjangah, Kihung, Kalapa, Uluran, Kunyit, Briwit, dan Sabuk. Selain padi biasa, juga ditanam padi pulut atau lakatan yaitu jenis Kariwaya, Kalatan, Harang, Samad dan Saluang. Di antara berbagai varietas padi itu, Buyung dan Arai adalah yang paling digemari karena wangi dan enak rasanya. Semua padi yang ditanam adalah varietas lokal, umur panen enam bulan. Bersamaan dengan penanaman padi itu, juga ditanam berbagai jenis palawija seperti singkong atau disebut gumbili, lombok, timun, labuh, kacang panjang, berbagai jenis pisang, keladi, yang kesemuanya itu menjadi makanan tambahan. Sedangkan tanaman tahunan seperti karet, kemiri dan kayu manis ditanam pada areal yang terpisah dengan penanaman padi dan palawija. Dan di tengah hamparan padi itu mereka juga menanam Kembang habang dan Kembang kuning (Celosia sp, famili Amaranthaceae) yang nantinya menjadi syarat untuk berbagai acara adat seperti Besambu, Mahanyari, Aruh Ganal, Aruh Bawanang, semuanya perlu Kembang itu, cerita Haris Mustari.

“Kembang habang dan Kembang kuning adalah kembang yang diizinkan oleh Dato Adam untuk dipakai dalam acara acara adat agama Kaharingan,” ujar pak Imar, petani warga Dayak ketika berkisah di suatu malam di pehumaannnya di Gunung Nunungin. Bulan ketiga dari penanaman, yaitu sekitar bulan Januari dilakukan penyiangan rumput dan gulma pengganggu tanaman padi. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut atau memotong rumput dengan parang. Bulan Februari, ketika padi berumur 3-4 bulan, mulai keluar buah atau malai dan ini disambut dengan suka cita oleh mereka, dianggap berkah dan harus disambut dengan ritual, layaknya menyambut kelahiran bayi yang sangat dinantikan.

Acara meyambut keluarnya buah padi disebut Besambu atau Sambu Uma, artinya menyambut keluarnya buah dan malai padi. Ketika padi mengeluarkan malai, maka ada beberapa pantangan bagi si pemilik padi yaitu tidak boleh memotong kayu hidup, tidak boleh memetik daun dan tidak boleh masuk hutan. Pada saat itu diadakan acara adat yang disebut Aruh Adat Besambu di Balai Adat. Pada acara itu, ayam dan babi dipotong, lemang dibuat, dan Kembang habang dan kuning dipersembahkan, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar padi berbuah lebat dan selamat sampai dapat dipanen untuk menghidupi keluarga. Setelah lahan disiangi, dan adat Besambu telah dilaksanakan, kini tinggal menunggu padi menguning dan setelah enam bulan, buliran buliran mulai menguning, malai menunduk semakin dalam pertanda padi berisi penuh, dan suka cita bagi petani Dayak, pertanda panen tahun ini berhasil, berkah dari Yang Maha Kuasa. Ketika padi berumur 4-5 bulan, yaitu pada bulan Maret-April, malai mulai menguning, namun belum matang. Saatnya untuk acara adat Bawawar, yaitu selamatan di ladang, menyambut padi yang mulai menguning itu. Pada acara itu, daun aren, Kembang habang dan Kembang kuning serta berbagai sesajen dipersembahkan kepada penguasa alam semesta agar padi yang mulai menguning itu selamat sampai dapat dipanen.

Mahanyari :

Bulan April dan Mei, saatnya panen. Sebelum panen, dilakukan acara adat yaitu Mahanyari yang secara harfiah Mahanyari (hanyar baru) artinya memulai panen padi pada tahun itu. Suatu ungkapan rasa syukur yang mendalam atas melimpahnya panen tahun ini serta permohonan agar diberi keselamatan. Mahanyari dilakukan secara berkelompok atau secara idividu setiap keluarga. Mahanyari yang dilakukan secara berkelompok dan dilakukan di Balai Adat disebut Aruh. Pada acara Mahanyari disediakan berbagai sesajen yang akan dibawa ke pehumaan di Tihang Bekambang (tiang bambu kuning yang dihiasi Kembang dan dedaunan) yang telah disiapkan.

Tihang bekambang terdiri dari tiang berupa bambu kuning, bagian paling atas melambangkan huruf atau kepala manusia yang disebut songkol. Di bawah songkol terdapat daun sejenis palem yang disebut daun Risi dan ditambah Kembang habang. Di bagian tengah Tihang Bekambang terdapat papan bundar berdiameter sekitar 70 cm tempat menyimpan berbagai sesajian disebut Dulang Campan yang melambangkan Bumi. Sesajian yang disimpan di atas Dulang Campan terdiri dari darah ayam dengan wadah tempurung kelapa, wajit, minyak kelapa, dodol ketan, darah ayam, dan air kunyit. Gulungan daun terep (Artocarpus sp), sejenis sukun hutan yang di dalamnya terdapat daun mada, daun risi, buah merah yang disebut hibak, daun ribu ribu, daun binturung, daun buluh, daun sirih benaik, dan daun singgae singgae.

Balian (dukun) memulainya dengan membaca mantra berupa doa bertutur yang pada dasarnya adalah doa dan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkah panen padi yang diberikan. Ayam dipotong di bawah Dulang Campan, yang dipersembahkan kepada YMK dimana darahnya dikucurkan dibawah Tihang Bekambang di tanah dan di tiang bambu kuning.
Selanjutnya ayam yang telah dipotong itu dibawa ke pondok untuk dimasak dan dimakan bersama kerabat dan tetangga. Setelah itu Balian membawa berbagai bahan sesajian dan gulungan daun terep yang berisi bermacam daun lain seperti tersebut di atas ke pondok pehumaan dan disimpan di dekat lumbung padi. Selanjutnya para tetua kampung dan Balian membaca mantra-mantra yang isinya adalah rasa syukur dan permohonan keselamatan pada pemilik semesta atas berkah dan panen padi yang melimpah dan dapat dimakan oleh anggota keluarga dengan selamat.

Setelah itu dilakukan pembagian lemang, makanan khas Dayak. Lamang adalah beras ketan yang dicampur santan dan garam yang dimasukkan ke dalam bambu kemudian dibakar menggunakan kayu sekitar 2,5 jam. Beras ketan (lakatan) yang digunakan sebagai bahan lamang adalah hasil panen padi yang baru dilakukan sebagai simbol bahwa hasil panen tahun itu telah dapat dinikmati. Selanjutnya adalah acara makan bersama dengan menu berupa nasi yang disimpan dipiring, sayur ayam, sayur labuh. Setiap yang hadir harus mencicipi makanan yang disediakan oleh tuan rumah. Nasi yang dihidangkan berupa nasi putih dari padi yang baru saja dipanen. Acara Mahanyari adalah ungkapan rasa syukur kepada YMK dan acara berbagi makanan kepada para kerabat dan tetangga. Selanjutnya adalah acara terakhir dari Mahanyari itu, yaitu penutupan oleh Balian dihadiri tetua kampung dan kepala keluarga.

Pada acara penutupan itu disajikan sesajian dan makanan berupa wajit, darah ayam kampung yang disimpan di tempurung, sagu, hanyangan, sumur Salaka (gelas berisi minuman warna coklat, dan hijau), sumur minyak, telur ayam kampung, belacu dan tumpi, menyan, karangan pandan, pisang, minyak kelapa yang disebut sumur minyak, kandutan atau andungan yang disebut buta atau wadah keranjang terbuat dari anyaman bambu. Balian dan tetua membaca mantra berupa kalimat-kalimat bertutur saling berbalas diantara tetua adat dan Balian, dan acara ini dilakukan selama kurang lebih 30 menit. Para anggota keluarga dan kerabat dekat menengadahkan tangan di depan Balian untuk menerima semacam “air berkah” dari karangan daun pandan dan diusapkan secara berulang oleh Balian kepada anggota keluarga dan kerabat dekat tuan rumah, simbol keberkahan.

Memanen Padi

Setelah acara Mahanyari, padi dipanen semuanya. Berbeda halnya ketika menugal dan menanam padi yang dilakukan secara gotong royong, panen dilakukan sendiri oleh keluarga yang bersangkutan. Orang Dayak menggunakan kumpai (bambu kecil bulat yang sisinya ditajamkan), dan ranggaman (anai-anai) untuk memanen padi. Bagi Dayak Meratus, memanen padi lahan kering harus menggunakan kedua alat tradisional itu, kecuali padi sawah. Penggunaan sabit dan mesin perontok gabah tidak diperbolehkan, dianggap pemali dan tabu, dan apabila pemali itu dilanggar, akan menyebabkan sakit. Hari pertama panen harus dilakukan oleh perempuan yang sudah berkeluarga, yaitu ibu rumah tangga dari keluarga itu. Hari kedua dan seterusnya perempuan gadis dapat membantu. Keterlibatan laki-laki diperbolehkan mulai hari keempat dan seterusnya sampai panen selesai. Perempuan yang sedang haid tidak diperbolehkan memanen padi, dan kondisi itu juga berlaku ketika menanam, perempuan yang sedang haid tidak diperkenankan menanam jenis tanaman apapun termasuk padi. Padi yang telah dipanen kemudian dibawa ke pondok, dikeringkan lalu dirontokkan pakai kaki yaitu dengan cara diinjak injak dan digulung gulung sehingga gabah rontok dari malainya. Selanjutnya gabah dikeringkan, lalu dimasukkan ke Lulung. Lulung ini terbuat dari kulit kayu meranti putih berdiameter besar lebih 1 meter yang dikupas dibuat melingkar.

Selanjutnya lulung disimpan di lumbung padi yang disebut Lampau. Agar gabah tidak diserang serangga perusak, mereka menggunakan bahan tradisional, yaitu daun tumbuhan sungkai (Veronema canescen) dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan lalu dicampurkan kedalam gabah yang disimpan pada lulung. Dengan campuran daun sungkai itu, gabah tahan disimpan beberapa tahun, tidak dimakan dan dirusak serangga. Orang Dayak memiliki persediaan padi yang melimpah. Beberapa keluarga Dayak bahkan memiliki persediaan padi yang disimpan 5-7 tahun yang lalu. Padi yang baru dipanen setelah acara Mahanyari dan telah dimakan untuk pertama kali sebagi simbol bahwa hasil panen padi tahun ini telah dapat dinikmati, disimpan di lumbung, dan yang dikonsumsi sehari hari adalah padi yang dipanen beberapa tahun yang lalu.

Suatu pembelajaran mengenai sistem ketahanan pangan. Dayak memiliki ketahanan pangan yang tinggi, sehingga ucapan Pak Imar : “kami tidak memiliki banyak uang, tapi kami sugih banih/padi”, adalah benar adanya. Dayak Meratus sangat jarang menjual beras, lebih baik disimpan bertahun tahun, padi dianggap sakral. Namun demikian orang Dayak sangat ramah dan suka memberi beras, termasuk kami peserta ekspedisi, sering diberi beras oleh mereka ketika berada di kampung, terlebih ketika selesai menghadiri acara Mahanyari dan Aruh, pasti kami dibekali beras dan lamang, yang diberikan oleh orang Dayak dengan tulus. “Kapan kembali ke Jakarta, saya akan membawakan beras Buyung, oleh-oleh dari kami” kata Rudinar dari kampung Kiyu menawarkan kepada peserta ekspedisi. Beras adalah barang berharga, dan sangat layak sebagai oleh-oleh, apalagi beras Buyung yang sangat harum dan enak rasanya, demikian yang ada di benak Rudinar, pemuda yang telah menjadi pemandu untuk mendaki Gunung Halau Halau Meratus, dan menamani anggota Tim Ekspedisi menginap di Balai Adat kampung Kiyu.

2 Tanggapan

  1. Reblogged this on amrillmartapuraa.

  2. terima kasih, rupanya abang urang Balangan (paringin) mamparhatikan jua kabudayaan kami urang bakumpai, link blog pian ulun pasang di blog ulun, mudah-mudahan pian sudi mampir ka blog ulun dan mamback link blog ulun. tarima kasih banyak bang lah…

Tinggalkan Balasan ke pasifo98 Batalkan balasan