HARGA KARET ANJLOK DAN PETANI KALSEL PUN MENJERIT

KARET

 

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 28/9 (Antara)- Anjloknya harga karet belakangan ini melahirkan kerisauan di kalangan petani Kalimantan Selatan, termasuk di Kabupaten Kabupaten Balangan.

Muhamad (25) petani karet desa Maradap, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan, mengakui akibat turunnya harga komoditas tersebut pendapatan petani juga anjlok.

Bayangkan saja harga karet jenis lum, saat normal antara Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per kilogram, sementara harga berlaku sekarang yang dibeli kalangan pedagang pengumpul yang datang ke kampung-kampung hanya antara Rp4 ribu-Rp5 ribu saja per kilogram.

Rendahnya harga karet tersebut melemahkan semangat kalangan petani setempat untuk mengembangkan lahan kebun karet lebih luas lagi, padahal belakangan kegairahan berkebun karet telah hidup di wilayah kaki Pegunungan Meratus tersebut.

“Kita berharap harga karet kembali membaik, seperti sedia kala agar petani kembali bergairah,” katanya.

Ia mengkhawatirkan turunnya harga karet tersebut lantaran permainan spekulan atau para pedagang pengumpul yang bersekongkol dengan para pengusaha pabrikan. Sebab, kabar yang ia peroleh harga karet tersebut ternyata cukup baik di daerah lain, seperti di Kalimantan Tengah atau bagian Indonesia lain.

Menurut dia, bila harga turun tersebut berlangsung lama dikhawatirkan akan menambah kemiskinan di kalangan penduduk Kabupaten Balangan yang merupakan wilayah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) tersebut.

Sebab, katanya, harga berbagai kebutuhan pokok di kawasan tersebut begitu mahal, harga gula pasir saja tercatat Rp15 ribu per kilogram, sehingga harga karet yang anjlok tak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari.

Belum lagi harga beras, ikan, dan kebutuhan lainnya terus melambung yang semua itu terus memberatkan petani setempat.

Kerisauan tentang anjloknya harga karet tersebut hampir merata di kalangan penduduk yang meyoritas berkebun karet itu.

Oleh karena itu berbagai saran dan pendapatpun bermunculkan menanggapi turunnya harga barang dagangan ekspor andalan Indonesia tersebut.

Seperti diutarakan Kadir (40) penduduk Desa Panggung, Paringin Selatan ini yang berharap adanya semacam badan atau lembaga yang bisa menjadi penyangga produksi karet alam.

Harga yang berfluktuasi yang begitu tajam belakangan ini sangat merugikan petani karet, dan karena itu diperlukan badan atau lembaga penyangga agar harga bisa stabil, kata Kadir, tokoh masyarakat yang sering disebut Bapak Anum ini.

Ia sendiri mengaku sangat sedih melihat kondisi petani karet belakangan ini yang selalu terombang-ambing oleh fluktuasinya harga karet.

Dengan harga yang turun naik begitu tajam membuat petani menjadi bingung, dan bahkan tidak sedikit ingin berpaling ke usaha lain.

Alasan mereka karet yang tadinya sebuah usaha menjanjikan kini dinilai sebuah usaha yang mengancam kehidupan, karena dengan harga semurah itu maka hasil yang diperoleh petani tidak akan sebanding dengan harga kebutuhan yang lain.

“Bayangkan saja harga satu kilogram gula pasir Rp15 ribu poer kilogram, bila harga karet hanya Rp5 ribu per kilogram berarti untuk memperoleh satu kilogram gula pasir harus menghasilkan tiga kilogram karet,” kata Kadir.

Oleh karena itu, Kadir berharap pemerintah turun tangan mengatasi harga karet tersebut, dengan membentuk sebuah badan atau lembaga semacam Depot Logistik (Dolog) yang mampu menyangga produksi beras petani.

Sebab, katanya, bila harga karet membaik maka usaha lain seperti industri rumah, bertani sawah, petambak ikan, dan usaha lainnya juga ikut bergairah karena warga punya uang dan mampu membeli produksi usaha lainnya tersebut.

Melalui badan atau lembaga, baik yang didirikan tersendiri oleh pemerintah, atau melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau di bawah departemen Perdagangan akan mempu menjaga harga karet.

Melalui badan atau lembaga tersebut, bila membeli karet petani dengan harga wajar, kemudian badan atau lembaga tersebut bisa mendirikan pabrik karet di lokasi sentra perkebunan.

Dengan demikian maka karet alam petani tidak lagi dikuasai oleh sekelompok pengusaha yang memiliki “kaki-tangan” seperti para pedagang pengumpul yang datang ke kampung-kampung.

Kelompok pengusaha dan kaki tangan serta para tengkulak itu yang selama ini mempermainkan harga karet petani, sehingga petani benar-benar tak berkutik dan pasrah menghadapi keadaan dengan anjloknya harga karet tersebut.

Menurut Kadir melalui badan yang dikelola pemerintah tersebut pula kalau perlu merubah kebiasaan hanya mengekspor karet mentah keluar negeri, tetapi menciptakan industri yang berbahan baku karet seperti ban kendaraan di dalam negeri.

Kemudian ban kendaraan tersebut yang diekspor sehingga memiliki nilai tambah yang berlipat ganga dibandingkan hanya ekspor karet mentah.

Apalagi luasan kebun Kalsel begitu memadai untuk menciptakan industri berbahan baku karet di wilayah ini.

Produsen baru

Seorang pemerhati perkaretan Indonesia Asril Sutan Amir menilai munculnya beberapa negara produsen baru di dunia menyebabkan harga karet dunia belakangan ini menjadi anjlok.

Dengan munculnya negara-negara produsen baru yang memiliki kebun karet cukup luas menyebabkan prouksi karet dunia melimpah akhirnya harga turun, kata Asril Sutan Amir yang dikenal sebagai mantan Ketua Gabungan Pengusaha Pabrik Karet Indonesia (Gabkindo) saat berada di Banjarmasin.

Asril Sutan Amir yang kini menjadi penasehat organisasi Gabkindo tersebut menyebutkan negara produsen baru tersebut, seperti Laos, Vietnam, Myanmar,dan Kamboja yang memproduksi karet cukup besar hingga menekan harga karet dunia termasuk Indonesia.

Negara produsen baru tersebut mengembangkan jenis karet unggul dengan tingkat produksi tinggi hingga 2000 kilogram per hektare per tahun, jauh lebih tinggi dari tingkat produksi karet Indonesia yang hanya rata-rata 600 kilogram per hektare per tahun.

Negara-negara tersebut juga lebih mudah memasarkan produksi karetnya terutama ke negara konsumen terbesar dunia, yakni negara Tiongkok karena dari negara mereka bisa disuplai melalui angkutan darat.

Sementara kalau karet di Indonesia harus diantarpulaukan dulu baru di kapalnya ke negara besar tersebut, kata Asril.

Selain itu, anjloknya harga karet alam dunia tersebut tak terlepas dari masih terjadinya resesi ekonomi dunia khususnya di Uni Eropah dan Amerika Serikat yang juga termasuk negara konsumen terbesar karet alam.

Kendati demikian, harga karet ke depan tetap akan membaik, lantaran kalau hanya mengandalkan hasil negara produsen baru tersebut tentu tidak akan mencukupi dengan tingkat tingginya konsumen karet alam dunia khususnya pabrik ban kendaraan bermotor.

Semakin maju sebuah negara pasti semakin tinggi pemakaian ban kendaraan bermotor dan hal itu tentu akan memberikan tingkat permintaan karet juga tinggi akhirnya akan mendongkrak harga karet tersebut.

Oleh karena itu, ia meminta kepada petani karet Indonesia tetap mengembangkan tanaman karet, seraya memperbaiki kualitas yang dihasilkan agar harga bisa lebih baik, sebab tambahnya rendahnya harga karet di Indonesia karena diproduksi secara asal-asalan bukan sesuai standar yang diinginkan pasar.

Tanggung jawab Pemprov

Di sisi lain Asril Sutan Amir meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menyelamatkan keberadaan petani karet yang belakangan hidup mereka terpuruk lantaran harga karet yang berada pada titik terendah itu.

“Kondisi karet yang murah di tingkat petani Kalsel, bisa menghapus julukan Kalsel sebagai daerah produsen karet alam Indonesia, karena itu pemerintah harus menyelamatkan kondisi tersebut,” katanya.

Berdasarkan pemantauan Gapkindo Kalsel harga karet di beberapa kabupaten produsen karet alam cukup bervariasi, yang tertinggi di Kabupaten Tanah Bumbu dengan harga antara Rp6.000 hingga Rp8.000 per kilogram, tetapi yang sangat rendah Rp3.000 hingga Rp4.000 seperti di sentra karet Kabupaten Balangan.

Walau harga bervariasi tetapi dibandingkan dengan sebelumnya harga karet tersebut anjlok, karena harga karet pernah sentuh dengan harga Rp35.000,- hingga Rp40.000,- per kilogram.

Harga karet murah tersebut memang berlaku seluruh Indonesia tetapi untuk wilayah Kalsel yang paling rendah, lantaran kualitas yang dihasilkan petani setempat sangat jelek yang dikenal dengan istilah karet lum atau karet asalan.

Kalau hal tersebut terus dibiarkan maka bisa membuyarkan keinginan masyarakat setempat untuk mengelola kebun karet, padahal tanaman karet salah satu tanaman yang sangat ramah lingkungan.

Oleh karena itu, harus ada tindakan pemerintah untuk menyelamatkan dari keterpurukan petani karet tersebut, umpamanya dengan memberikan penyuluhan agar petani karet tidak lagi memproduksi karet asalan, tetapi karet lembaran kering yang berharga mahal.

Kemudian pemerintah harus memberikan bibit gratis terhadap petani setempat untuk mengubah kebiasaan membudidayakan pohon karet lokal ke jenis karet unggul.

Karena salah satu penyebab karet Kalsel anjlok tersebut karena lateks yang dihasilkan berasal dari pohon pohon karet lokal yang tumbuh secara alamiah, bukan dari pohon karet unggul yang pembudidayaannya diberlakukan sesuai kaidah yang benar.

Menurutnya ada jenis bibit karet unggul yang murah tetapi berkualitas yakni jenis IRR dengan produksi lateks banyak berpohon besar dan memiliki tingkat kekentalan lateks yang baik dan harga bibit murah sekitar Rp6.000,- saja per batang.

Bila adanya upaya petani yang didukung pemerintah melakukan peremajaan karet dari karet lokal menjadi karet unggul, ditambah perbaikan kualitas karet yang diolah dipastikan akan merubah harga yang murah menjadi harga yang baik, petani yang terpuruk menjadi petani yang kembali makmur.