HERFETOFAUNA INDONESIA TERANCAM PUNAH SEBELUM DIIDENTIFIKASI

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin,22/3 (Antara)- Meski Indonesia mempunyai spesies katak nomor satu di Asia dan nomor dua di dunia setelah brazil, tapi sangat disayangkan 10 persen spesies katak kita terancam kepunahan.
Hal tersebut dikatakan Zainudin yang juga dikenal sebagai peneliti muda dari Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin di sela-sela kegiatan inventarisasi katak di Jawa Barat bersama Prof Satyabhama Das Biju ahli katak dunia, demikian rilis yang disampaikan ke penulis, Rabu (22/3-2017).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia, termasuk dari jenis amfibi. Setidaknya saat ini terdapat 436 jenis amfibi di Indonesia yang telah berhasil di Identifikasi dan 178 jenis diantaranya dapat dijumpai di Kalimantan bahkan 73 persen endemik.
Hampir 30 persen amfibi Indonesia digolongkan IUCN Redlist dalam status data deficient atau belum bisa diidentifikasi secara lengkap menurut para ahli herpetofauna IPB.
Kurangnya data baik biologis maupun ekologis mempersulit kegiatan konservasi guna menyelamatkan spesies terancam.
“Diperlukan banyak data baik biologis maupun ekologis untuk menunjang keberhasilan konservasi spesies nasional tersebut, sedangkan penelitian atau bahkan peneliti untuk hal tersebut masih dapat dikatakan sedikit”
Selain amfibia, Pulau Kalimantan juga memiliki keragaman reptil yang luar biasa. Bahkan Kalimantan dikenal sebagai surganya para herpetologist di dunia. Buaya senyulong (Tomistoma schegelli), tuntong laut (Callagur borneoensis), dan Biawak tanpa telinga (Lanthanatus borneensis) adalah merupakan reptilia yang paling diminati pemerhati hepertofauna dunia ini juga termasuk dalam daftar yang terancam punah.
Sementara itu Prof. Biju terus memberikan dorongan kepada para peneliti muda yang mengikuti Workshopnya tanggal 12 – 18 Maret lalu, dengan tema Amphibian Field Ecology & Taxonomy di Research Center for Climate Change – Universitas Indonesia Depok – Jawa Barat.
“Indonesia mempunyai banyak spesies herfetofauna, terutama amfibi, hal ini hendaknya menjadi peluang besar bagi peneliti di Indonesia sekaligus menjadi tugas besar bagi para peneliti, tidak ada yang tidak mungkin untuk menemukan spesies baru dan mempublikasikannya ”, ucap Prof. Satyabhama Das Biju.
Perubahan iklim, hilangnya habitat dan perburuan merupakan merupakan momok yang mendorong terjadinya kepunahan masal bahkan menjadi 100 kali lebih cepat, sementara informasi mengenai objek-objek yang dikonservasi tersebut minim.
“inilah yang dapat menyebabkan, spesies tersebut punah sebelum dipelajari atau bahkan ditemukan. Untuk itu perlu adanya upaya perlindungan bagi spesies-spesies hepertofauna yang ada, terlebih yang belum teridentifikasi dan terisolasi “, jelas Zainudin yang juga dikenal sebagai peneliti muda dari Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

1

2

3

keterangan Gambar: (atas) Buaya Senyulong adalah buaya karismatik khas kalimantan yang terancam kepunahan akibat perburuan dan hilangnya habitat.
(bawah) katak adalah indikator penting bagi perubahan lindungan, hilangnya katak dilingkungan mengindikasikan penurunan kualistas lindungan

MENYELAMATKAN SATWA UNIK BEKANTAN MELALUI EKOWISATA LAWAHAN

Oleh Hasan Zainuddin
bekantan2

 

Banjarmasin, 13/3 (Antara) – Keprihatinan terhadap kehidupan kera Bekantan (Nasalis larvatus) begitu kuat dilontarkan masyarakat, tetapi begitu hebat pula kerusakan lingkungan oleh masyarakat yang mendesak populasi satwa endemik Kalimantan tersebut.

Berdasarkan undang-undang, satwa Bekantan termasuk dilindungi, di antaranya melalui UU Nomor 7 Tahun 1999. Walau ada aturannya, tetapi kenyataannya sampai saat ini tak ada tersangka atau pihak yang dijerat melalui aturan tersebut.

Populasi Bekantan terus menyusut akibat eksploitasi hutan, baik oleh penebangan, penambangan serta alih fungsi lahan dari hutan ke kebun kelapa sawit, serta akibat kebakaran hutan belakangan ini.

Selain itu Bekantan juga diburu oleh manusia untuk berbagai kepentingan dan secara alami satwa itu juga diburu oleh buaya muara, ular sawah, biawak, dan elang laut.

Bekantan agaknya hidup tergantung dari hutan lantaran satwa ini termasuk “leaf monkey”, hidupnya bergantung dari makanan yang berasal dari daun-daunan. Di kala dedaunan di habitatnya banyak yang rusak, saat itu pula kehidupan satwa unik tersebut terancam.

Di Provinsi Kalimantan Selatan, tadinya banyak bekantan yang terlihat di mana-mana. Kawasan khusus satwa ini adalah Pulau Kaget wilayah pinggiran Sungai Barito yang berdekatan dengan Kota Banjarmasin. Tetapi karena pulau tersebut menjadi kawasan yang dieksploitasi manusia sekarang satwa tersebut sudah susah terlihat di habitatnya yang rusak itu.

Keluhan demi keluhan terhadap populasi satwa yang juga sering disebut sebagai “kera bule” ini terus terangkat ke permukaan seperti yang terakhir di Kabupaten Kotabaru.

Seperti yang dilansir media massa, seorang pemerhati lingkungan Akhyat Fauzan mengatakan, secara tidak langsung aktivitas pertambangan di Pulau Sebuku mengancam berkurangnya populasi satwa langka Bekantan.

Aktivitas pertambangan yang tidak mempertimbangan pelestarian lingkungan menyebabkan populasi Bekantan semakin menyusut, ujar Akhyat tanpa menyebutkan jumlah populasinya dengan detail.

Menurut dia, ada perusahaan yang tidak peduli terhadap kehidupan Bekantan yang mengandalkan kawasan hutan tersebut. Akhyat khawatir apabila kawasan hutan di Pulau Sebuku habis akibat aktivitas perusahaan tambang, lantas bagaimana nasib Bekantan yang jumlahnya kini terus berkurang itu.

Sungguh ironi, Bekantan yang dulu bisa hidup bebas di alam terbuka itu kini mulai tersisih karena alamnya dijadikan tempat beraktivitas perusahaan.

Namun tak semua perusahaan semata mengambil keuntungan alam tanpa memperhatikan lingkungan. Ada sebuah perusahaan di Tapin Selatan Kabupaten Tapin justru mencadangkan dana CSR untuk menyelamatkan Bekantan.

Perusahaan tersebut PT Antang Gunung Meratus (AGM) bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tapin untuk melakukan rehabilitasi lahan penyelamatan Bekantan, dan lahan tersebut akan dijadikan Objek Ekowisata Lawahan.

Untuk kepentingan tersebut, Pemkab Tapin menerbitkan Surat Nomor 188.45/060/KUM/2014 tentang Penetapan Kawasan Bernilai Penting bagi Konservasi Spesies Bekantan.

Pengembangan ekowisata Bekantan melalui pembentukan tim yang berasal pemerintah daerah, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), WWF dan PT AGM.

“Wilayah Ekowisata Bekantan ini dibangun di lahan seluas 90 hektare di kanal PT AGM. Kami harap selain PT AGM, penyelamatan habitat Bekantan juga menggandeng perusahaan lainnya,” kata Deputi Direktur Umum PT AGM Budi Karya Yugi Budi kepada penulis saat mengunjungi lokasi tersebut awal Maret ini.

Menurut Budi Karya Yugi perusahaannya bersedia mengeluarkan uang miliaran rupiah hanya untuk konservasi lahan rawa yang rusak akibat terbakar dan merusak habitat kera yang menjadi maskot Kalsel tersebut.

“Kami kini sedang melakukan rehabilitasi di lahan rawa yang tadinya ditumbuhi hutan galam dan kayu Pulantan yang rusak akibat terbakar masa musim kemarau lalu, untuk menyelamatkan kera Bekantan itu,” katanya.

Menurut dia, biaya rehabilitasi lahan konservasi tersebut berasal dari dana CSR perusahaan untuk melakukan penghijauan, penanaman kembali bibit Galam, Pulantan, Lkut, dan tanaman hutan rawa lainnya.

Melalui penanaman kembali tersebut, pihaknya akan merehabilitasi pohon yang rusak terbakar dan kini sudah berdaun muda untuk makanan satwa Bekantan, sehingga sekitar 300 ekor bekantan di kawasan tersebut bisa diselamatkan.

Bahkan kawasan tersebut akan dijadikan lokasi ekowisata dan ternyata hal tersebut direspon oleh Pemerintah Kabupaten Tapin hingga menetapkan kawasan Desa Lawahan menjadi kawasan ekowisata.
Kawasan yang ditetapkan menjadi ekowisata oleh pemerintah setempat seluas 90 hektare, artinya jika perusahaan merehabilitasi lahan 16 hektare berarti ada luasan 74 hektare yang menjadi tanggungjawab pemerintah setempat untuk merehabilitasinya.

Untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah ekowisata PT AGM sudah membuatkan dermaga “klotok” (perahu motor tempel) ke wilayah tersebut, sekaligus menyediakan sarana jalan kaki dan menara pantau.

“Kita ingin pengunjung tak bersentuhan langsung atau berdekatan dengan Bekantan karena satwa tersebut terlalu pemalu atau penakut dengan pengunjung. Karena itu kita sediakan menara pantau saja. Melalui menara pantau itulah pengunjung bisa menyaksikan kehidupan kera endemik ‘Pulau Borneo’ tersebut,” katanya.

Mengutip keterangan Pemkab setempat, Budi Karya Yugi menuturkan ke depan selain bisa dilalui melalui wisata susur sungai, juga akan disediakan jalan darat dari Jalan A Yani kabupaten itu hingga ke lokasi, sehingga pengunjung bisa menggunakan mobil.

Ia mengharapkan dengan adanya konservasi tersebut akan menjadikan wilayah yang berada dekat dengan kanal pengangkutan batu bara PT AGM tersebut menjadi objek wisata andalan Kabupaten Tapin, bahkan Kalsel, karena disitulah habitat Bekantan terbanyak.

Secara terpisah Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) yang dipimpin ketuanya Amalia Rezeki menyatakan kegembiraannya adanya rehabilitasi lahan rawa oleh perusahaan swasta untuk menyelamatkan satwa kera hidung besar Bekantan (Nasalis larvatus) dari kepunahan.

“Kami mengajak siapapun untuk berkomitmen menyelamatkan satwa Bekantan, dan ternyata itu sudah direspons perusahaan swasta PT AGM,” kata Amalia Rezeki kepada pers di Banjarmasin, Kamis.

Didampingi pendiri SBI Feri, Amalia Rezeki menuturkan sejak ditetapkannya Bekantan sebagai maskot Provinsi Kalimantan Selatan oleh Gubernur Kalsel, melalui persetujuan DPRD tanggal 28 Maret 1990 berarti sudah 25 tahun bekantan yang menjadi ikon kebanggaan. Namun demikian perhatian terhadap bekantan dirasakan belum optimal.

Oleh karena itu dengan adanya kesediaan swasta tersebut mengkonservasi lahan diharapkan akan memancing perusahaan lain berbuat serupa, walau dana yang digunakan melalui CSR perusahaan, tambahnya.

Pihaknya pada 28 Maret 2015 berencana mencanangkan Hari Bekantan Indonesia wilayah Kalimantan Selatan yang ditandai berbagai kegiatan.

“Kami ingin mengajak semua pihak peduli terhadap satwa langka yang menjadi ikon Kalsel tersebut melalui Hari Bekantan Indonesia,” katanya seraya menyebutkan kegiatan tersebut antara lain melakukan observasi kawasan konservasi dan pelepasliaran bekantan di habitatnya.

Selain itu adanya aksi “prusiking up sling” dari Jembatan Barito serta Festival Kelotok Hias yang akan dihadiri para petinggi Kalsel, seperti ketua DPRD, pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), institusi perguruan tinggi, mahasiswa dan pelajar, kader konservasi, para aktivis lingkungan hidup, pecinta alam dan masyarakat sekitarnya.

Lokasi yang dipilih dalam kegiatan tersebut adalah Pulau Kaget yang merupakan habitat Bekantan, yang terdapat hutan rambai padi sebagai makanan utama satwa berbadan besar dan berhidung panjang tersebut.bekantan1

MENYAKSIKAN KERA BESAR “BEKANTAN” DI LAHAN KONSERVASI

bekantan1

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin,6/3 (Antara)- ” Itu dia” kata pengemudi klotok (perahu metor tempel) seraya menunjuk ke beberapa ekor Bekantan (Nasalis larvatus) yang bergelantungan di pohon Pulantan, di kawasan lahan rawa Desa Lawahan, Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan, atau sekitar 150 kilometer Utara banjarmasin.

“Wah banyak Bekantannya,” kata Erwin seorang kameraman Banjar TV seraya membidikkan kameranya ke arah kelompok kera hidung pandang endemik Pulau Kalimantan (Boeneo) tersebut.

Dengan pelan-pelan klotok merapat ke hamparan rawa yang ditumbubi Pulantan dan tanaman galam itu. “Jangan berisik,” kata pengemudi klotok itu mengingatkan, karena bekantan terlalu peka terhadap kedatangan orang.

Ternyata benar setelah melihat kedatangan rombongan yang terdiri dari wartawan yang tergabung dalam grup “pena hijau,” Forum Komunitas Hijau (FKH) , Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), peneliti dan dari karyawan perusahaan PT Antang Gunung Meratus (AGM), itu kelompok parimata itu menjauh.

Kendati menjauh namun binatang berkulit kuning kemerahan tersebut tetap bergelantungan di atas pohon, sehingga para wartawan bisa saja mengabadikan kehidupan satwa itu melalui kamera menggunakan lensa zoom.

“Alhamdulillah, aku dapat momen yang bagus,” kata Erwin lagi seraya terus membidikkan kamera videonya ke arah kehidupan bekantan yang konon terdapat sekitar 300 ekor di kawasan yang berdekatan dengan operasi perusahaan batubara PT AGM tersebut.

Pemantauan penulis kawasan yang ada kehidupan Bekantan tersebut terlihat hutan yang rusak, kendati masih ada pohon-pohon hijau, tetapi sebagian besar sudah “meranggas,” karena lahan itu tampak bekas kebakaran.

Para kera tersebut, tampak lebih banyak berada di daratan ketimbang di atas pohon, mereka makan daun-daun pakis (kelakai) yang memang hidup merambat di daratan, dan tampak waspada terhadap kedatangan rombongan, sambil makan sambil menjauh.

Peneliti Bekantan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hadi Sukadi Alikodra mengungkapkan bahwa sekitar 300 ekor bekantan yang hidup di sekitar kawasan pertambangan dan perkebunan sawit di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, sempat mengalami stres akibat kebakaran lahan.

Menurut Alikodra di Banjarmasin, bekantan yang sebelumnya hidup di kawasan konservasi dan ekowisata yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Tapin bersama perusahaan tambang PT AGM terpaksa harus mencari rumah baru untuk melanjutkan hidup.

“Pada saat kebakaran lahan, seluruh bekantan yang ada di kawasan konservasi harus lari menyeberang sungai, untuk menyelamatkan diri,” katanya.

Pada musim kemarau 2014, kebakaran lahan cukup besar terjadi di kawasan perkebunan sawit, hingga membakar puluhan hektare kawasan konservasi, tempat para bekantan tersebut hidup.

Petugas dari beberapa perusahaan yang ada di sekitar wilayah tersebut, bisa memblok beberapa bagian kawasan, sehingga tidak ikut terbakar, sehingga bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan hidup para bekantan.

Saat ini, para bekantan tersebut, kembali hidup dan berkembang biak, di kawasan hutan Galam dan Pulantan yang ada di sepanjang pinggiran sungai di wilayah Lawahan atau Muning, Kabupaten Tapin.

Sementara peneliti Bekantan dari Universitas Lambung Mangkurat Profesor Arif Soendjoto mengatakan, kini Bekantan tersebut juga makan rumput, kemungkinan karena makanan berupa daun Pulantan dan daun Galam tidak mencukup lagi.

Mempertahankan keberadaan hewan endemik khas Kalimantan tersebut, Pemkab Tapin bersama PT AGM menyiapkan lahan untuk konservasi Bekantan.

Dalam rangka melindungi habitat Bekantan, Pemkab Tapin menerbitkan Surat Nomor 188.45/060/KUM/2014 tentang Penetapan Kawasan Bernilai Penting bagi Konservasi Spesies Bekantan.

Pengembangan ekowisata Bekantan benbentuk tim yang berasal pemerintah daerah, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), WWF dan PT AGM.

“Wilayah Ekowisata Bekantan ini dibangun di lahan seluas 90 hektare di kanal PT AGM, kami harap selain PT AGM, penyelamatan habitat Bekantan juga menggandeng perusahaan lainnya,” kata Deputi Direktur Umum PT AGM Budi Karya Yugi Budi.

Menurut Budi Karya Yugi perusahaan bersedia mengeluarkan uang miliaran rupiah hanya untuk konservasi lahan rawa yang rusak akibat terbakar dan merusak habitat kera yang menjadi maskot Kalsel tersebut.

“Kami kini sedang melakukan rehabilitasi di lahan rawa yang tadinya ditumbuhi hutan galam dan kayu Pulantan yang rusak akibat terbakar masa musim kemarau lalu, untuk menyelamatkan kera Bekantan itu,” katanya.

Menurut dia, rehabilitasi di lahan konservasi tersebut adalah berasal dari dana CSR perusahaan untuk melakukan penghijauan, penanaman kembali bibit Galam, Pulantan, Lkut, dan tanaman hutan rawa lainnya.

Melalui penanaman kembali tersebut, akan merehabilitasi pohon yang rusak yang terbakar dan kini sudah berdaun muda untuk makanan satwa Bekantan, sehingga sekitar 300 ekor bekantan di kawasan tersebut bisa diselamatkan.

Bahkan kawasan tersebut akan dijadikan lokasi ekowisata dan ternyata hal tersebut direspon oleh Pemerintah Kabupaten Tapin hingga menetapkan kawasan Desa Tandui dan Lawahan menjadi kawasan ekowisata.
Kawasan yang ditetapkan menjadi ekowisata oleh pemerintah setempat seluas 90 hektare, artinya jika perusahaan merehabilitasi lahan 16 hektare berarti ada luasan 74 hektare yang menjadi tanggungjawab pemerintah setempat merehabilitasinya.

bekantan2

Untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah ekowisata PT AGM sudah membuatkan dermaga “klotok” (perahu motor tempel) ke wilayah tersebut, sekaligus menyediakan sarana jalan kaki sekaligus menara pantau.

“Kita ingin pengunjung tak bersentuhan langsung atau berdekatan dengan Bekantan karena satwa tersebut terlalu pemalu atau penakut dengan pengunjung, karena itu kita sediakan menara pantau saja, mulai menara pantau itulah pengunjung bisa menyaksikan kehidupan kera endemik pulau Borneo tersebut,” katanya.

Mengutip keterangan Pemkab setempat, Budi Karya Yugi menuturkan kedepan selain bisa dilalui melalui wisata susur sungai, juga akan disediakan jalan darat dari Jalan A yani kabupaten itu hingga ke lokasi, sehingga pengunjung bisa pakai mobil.

Ia mengharapkan dengan adanya konservasi tersebut akan menjadikan wilayah yang berada dekat dengan kanal pengangkutan batubara PT AGM tersebut menjadi objek wisata andalan Kabupaten Tapin, bahkan Kalsel, karena disitulah habitat Bekantan terbanyak.

Secara terpisah Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) yang dipimpin ketuanya Amalia Rezeki menyatakan kegembiraannya adanya rehabilitasi lahan rawa oleh perusahaan swasta untuk menyelamatkan satwa kera hidung besar Bekantan (Nasalislarvatus) dari kepunahan.

“Kami mengajak siapapun untuk berkomitmen menyelamatkan satwa Bekantan, dan ternyata itu sudah direspons perusahaan swasta PT AGM,” kata Amalia Rezeki kepada pers di Banjarmasin, Kamis.

Didampingi pendiri SBI Feri, Amalia Rezeki menuturkan sejak ditetapkannya Bekantan sebagai maskot Provinsi Kalimantan Selatan oleh Gubernur Kalimantan Selatan, melalui persetujuan DPRD tanggal 28 Maret 1990 berarti sudah 25 tahun bekantan yang menjadi ikon kebanggaan, namun demikian perhatian terhadap bekantan dirasakan belum optimal.

Oleh karena itu dengan adanya kesediaan swasta tersebut mengkonservasi lahan diharapkan akan memancing perusahaan lain berbuat serupa, walau dana yang digunakan melalui dana CSR perusahaan, tambahnya.

lahan

ULAR GUA SATWA MELATA UNIK PENGHUNI MERATUS

Oleh Hasan Zainuddin


Pegunungan Meratus di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan menyimpan banyak misteri berkaitan dengan keberadaan flora maupun fauna, di antaranya sejenis ular yang habitatnya berada di dalam gua pegunungan tersebut.

Ular tersebut berhasil ditemukan oleh Tim Ekspedisi Khatulistiwa yang menjelajah kawasan Pegunungan Meratus, belum lama ini.

Tim penjelajah dan peneliti pertama kali menjumpai Ular Gua tersebut di Gua Liang Hadangan Hulu Sungai Tengah (HST) pada 16 April 2012, kata Mayor Sus Komaruddin Pajarah Sub Korwil 08/HST kepada Antara Banjarmasin, Kamis.

Penelitian kedua mreka lakukan di Gua Gunung Ranauan Loksado Hulu Sungai Selatan pada 23 Mei 2012.

Pada penjelajahan dan penelitian tahap ketiga, tim peneliti yang dipimpin Kapten Pasukan Efendi Hermawan kembali menemukan ular gua di Gua Liang Bantai Gunung Haliang Kampung Pasiratan Desa Marajai pada 13 Juni 2012. Serta di Gua Gunung Batu Laki di Kampung Sawang Desa Uren Kecamatan Halong Kabupaten Balangan pada 18 Juni 2012.

“Ketika memasuki Gua Haliang, Tim Penjelajahan dan Penelitian Sub Korwil 08/HST didampingi Damang Kecamatan Halong Pak Utan (50), karena menurut penduduk setempat Gua Haliang dianggap keramat sehingga seseorang yang masuk gua hendaknya ditemani oleh tetua adat atau orang tua yang cukup banyak pengalaman” katanya, mengutip keterangan Kapten Pasukan Efendi Hermawan.

“Setelah memasuki gua dan menjumpai ular ketiga, Pak Ujar mengatakan wah ular-ular itu adalah penjaga gua dan bukan sembarang ular, kita harus cepat keluar, karena akan datang ular yang lebih besar, sebesar naga,” ujar Kapten Pasukan Efendi Hermawan menirukan.

Sementara menurut Dr Abdul Haris Mustari, dosen pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, yang sejak awal sudah tergabung dalam tim Penjelajah dan Peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Sub Korwil 08/HST, panjang Ular Gua dapat mencapai 2,5 meter.

Namun yang ditemukan oleh Tim Eskpedisi Khatulistiwa di Gua Haliang panjangnya 1,8 meter, nama ilmiahnya adalah Elaphe taeniura ridleyi dan bukan endemik Kalimantan.

Penyebarannya satwa ini meliputi Thailand, Semenanjung Malaya dan Kalimantan.

Disebutkannya, ular penghuni gua karena ular ini habitatnya adalah gua, terutama pada bagian atas mulut gua, pada zona terang dan zone gelap. Makanan utamanya adalah berbagai jenis kelelawar penghuni gua seperti Kelelawar Ladam Kalimantan (Rhinolopus borneensis), dan jenis kelelawar lain yang juga merupakan penghuni gua.

Haris menjelaskan, gambaran morfologi ular yang ditemukan yaitu bagian depan bewarna coklat kekuningan, bagian tengah sampai ujung ekor bewarna hitam dengan garis vertebral (sepanjang tulang belakang) berwarna kuning.
Ular tersebut pertama kali ditemukan sekitar 20 meter dari mulut gua ke arah dalam pada bagian atas gua.
Namun karena merasa agak terusik, ular gua tersebut turun dan merayap di dinding gua. Pada awalnya hanya ditemukan dua ekor ular pasangan jantan dan betina, dan pasanga ular itu sedang birahi (estrus) dan melakukan perkawinan.
Sebenarnya ular gua bukan termasuk ular yang sangat mematikan, tetapi karena penampakannya yang cukup menyeramkan ditambah lagi ukuran tubuhnya yang cukup besar, bertemu dengannya tetaplah membuat merinding bulu roma, ujar Haris.
Haris menambahkan, secara ekologi, ular penghuni gua sangat penting karena merupakan pengendali populasi kelelawar gua sehingga tidak terjadi ledakan populasi.

Dengan populasi yang terkendali, populasi kelelawar penghuni gua tetap sehat karena jumlahnya yang senantiasa sesuai dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity).

Tambahan lagi individu kelelawar yang dimangsa oleh ular tersebut adalah individu yang lemah, sakit atau tua. Sehingga individu yang tersisa adalah yang sehat.

Dengan demikian, individu-individu kelelawar yang sehat itu akan dapat melangsungkan hidupnya karena ruang dan makan tersedia cukup banyak karena adanya pengendalian populasi yang dilakukan oleh ular penghuni gua tersebut.

Populasi kelelawar yang sehat diperlukan oleh umat manusia, terutama petani di sekitar hutan dan gunung, karena kelelawar penghuni gua adalah pemangsa serangga (insctivor), sehingga sangat membantu petani agar tidak terjadi ledakan hama serangga yang sangat merugikan petani.

Karena itu baik populasi ular gua maupun populasi kelelawar penghuni gua harus tetap dijaga kelestariannya agar senantiasa terjadi keseimbangan ekosistem, katanya.

Sementara di Poskotis Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012, Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana mengatakan, temuan tim penjelajah dan peneliti yang telah berhasil menjumpai jenis ular di beberapa gua sekitar kawasan Pegunungan Maratus akan dilaporkan ke komando atas untuk diadakan penelitian lebih lanjut.

“Mudah-mudahan akan menjadi temuan baru di Kalimantan Selatan, sehingga akan menambah perbendaharaan jenis hewan melata di Kalimantan Selatan,” kata Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana.

Dengan adanya temuan Ular Gua maka kian bertambah temuan dari Tim Ekspedisi Khatulistiwa konwil 08 ini.

Kawasan yang menjadi target penjelajahan dan penelitian personil tim beranggotakan 118 tentara dan sipil ini adalah Pegunungan Meratus yang merupakan kawasan pegunungan yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan yang membentang sepanjang sekitar 600 km persegi dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Timur.

Satu per satu tanaman dan satwa yang dinilai unik dalam kegiatan mulai Rabu, 11 April 2012 ini diperhatikan dan terakhir seperti diungkapkan Mayor (Sus) Komaruddin terdapat 193 temuan.

“Sebanyak 72 temuan penjelajahan dan penelitian tahap pertama dan 121 tahap kedua,” katanya.

Ia menyebutkan temuan tersebut antara lain bidang fauna seperti aneka jenis ular, aneka jenis kodok, aneka jenis kadal, aneka jenis tokek, aneka jenis burung, kera, tupai, bajing, musang, iguana dan satwa lainya.

Bidang flora antara lain aneka jenis anggrek, aneka jenis jamur, aneka jenis pohon meranti, kayu ulin, agathis, aneka jenis kantong semar, aneka jenis tanaman obat antara lain, Seluang Belum dan lain sebagainya.

Mayor Komaruddin mengatakan Pulau Kalimantan yang merupakan salah satu pulau besar di dunia dan merupakan paru-paru dunia menjadi sasaran tim ekspedisi yang memerlukan penanganan optimal.

“Kalimantan memiliki kekayaan alam dan mineral melimpah yang belum terjamah manusia, namun kondisi alamnya menurun dan beberapa satwanya hampir punah, sehingga perlu ditangani secara baik oleh kita semua” ujarnya.

EKSPEDISI MERATUS TEMUKAN FLORA FAUNA UNIK KALIMANTAN

Oleh Hasan Zainuddin

Hutan Tropis Basah Pegunungan Meratus (gambar: Meratusinstitute )
Banjarmasin,20/6 (ANTARA)- Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Koordinator Wilayah 08 Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan selama penjelajahan dan penelitian di kawasan Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, menemukan sejumlah flora dan fauna unik pulau itu
Kawasan yang menjadi target penjelajahan dan penelitian personil tim beranggotakan 118 tentara dan sipil ini adalah Pegunungan Meratus yang merupakan kawasan pegunungan yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan yang membentang sepanjang sekitar 600 km persegi dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Timur.
Satu persatu tanaman dan satwa yang dinilai unik dalam kegiatan mulai Rabu, 11 April 2012 ini diperhatikan dan terakhir seperti diungkapkan Mayor (Sus) Komaruddin, perwira sejarah TNI AU, kepada wartawan terdapat 193 temuan.
“Sebanyak 72 temuan penjelajahan dan penelitian tahap pertama dan 121 tahap kedua,” katanya seraya menyebutkan temuan tersebut antara lain bidang fauna seperti aneka jenis ular, aneka jenis kodok, aneka jenis kadal, aneka jenis tokek, aneka jenis burung, kera, tupai, bajing, musang, iguana dan satwa lainya,” katanya
Bidang flora antara lain aneka jenis anggrek, aneka jenis pakis, aneka jenis rotan, aneka jenis jamur, aneka jenis pohon meranti, kayu ulin, agathis, aneka jenis kantong semar, aneka jenis tanaman obat antara lain, Seluang Belum dan lain sebagainya .
Dari temuan tersebut yang paling terungkap kepermukaan adalah keberadaan kijang emas (Muntiacus atherodes), macan dahan (Neofelis nebulosa), serta temuan ular viper palsu (Psammodynastes sp) dan ular viper daun (Trimeresurus borneensis).
Bidang flora yang cukup menarik adalah ditemukan sebuah pohon Kayu raksasa jenis meranti putih yang disebut oleh penduduk setempat sebagai pohon damar hirang, dengan panjang keliling batang sekitar 13 meter dan garis tengah tiga meter.
Ditaksir pohon tersebut berusia ratusan tahun berada di hutan yang masih lebat di daerah Desa Kiyo Pegunungan Meratus.
Selain meneliti satwa dan tumbuhan tim juga meneliti budaya masyarakat setempat yang antara lain mencatat 28 varietas padi yang ada di Pegunungan Meratus.
Seperti diungkapkan seorang tim peneliti tim, yang juga peneliti IPB, Dr Abdul Haris Mustari, semua varietas padi disebut “banih” yang disebut dengan banih putih, banih siamunus, banih sabai, banih tampiko, banih buyung,banih salak,banih kihung, banih kunyit, banih kanjangan, banih briwit, dan banih saluang.
Padi lainnya disebut banih banyumas,banih harang, banih wayan, banih banar, banih kalapa, banih uluran, banih ambulung, banih patiti,banih benyumbang, banih santan lilin, dan banih sabuk.
Selain itu juga terdapat varietas padi lakatan atau pulut (ketan), seperti banih kariwaya, banih kalatan,banih harang, banih samad, banih saluang.
Dari 28 varietas tersebut padi buyung dan padi arai yang paling banyak dikembangkan karena rasanya yang enak, padi ditanam di lahan keting di lembah atau lereng sampai kemiringan 60 derajat, kata Mustari.
Selain itu budaya lain yang diteliti adalah atraksi budaya yang disebut “mahanyari,” sebuah upacara sakral ucapan terimakasih kepada sang pencipta saat pesta panen.
Kemudian masyarakat Dayak meratus juga diketahui memiliki kebudayaan memanfaatkan lahan yang disebut “Tanah Diagih.”
Tanah diagih bagaimana masyarakat Dayak Meratus membagi lahan menurut fungsi dan peruntukannya, dan ini telah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut adat istiadat Dayak Meratus, tanah atau hutan adat dibagi menjadi hutan lindung, hutan adat, hutan kramat, serta hutan pamali.
Hutan lindung adalah hutan yang diperuntukkan untuk menjadi sumber air dan mencegah banjir dan erosi serta untuk menjaga kesuburan tanah.
Di hutan lindung tidak diperkenankan menebang pohon dan akar-akaran serta tidak membuka ladang karena dianggap dapat merusak lingkungan.
Kemudian hutan adat adalah hutan yang terutama diperuntukkan sebagai sumber buah dan getah seeperti getah damar.
Sedangkan hutan keramat adalah hutan yang terdapat di lahan uburan, tempat arwah nenek moyang mereka bersemayam.
Di hutan keramat tidak diperbolehkan menebang kayu karena dianggap keramat, dan apabila terjadi pelanggaran, mereka percaya bahaya akan menimpa.
Yang terakhir hutan pamali adalah hutan tempat pemujaan, dimana terdapat terdapat pohon-pohon yang dianggap keramat misalnya pohon Kariwaya (sejenis pohon beringin).
Tim juga menemukan keramik ebanyak 14 macam, terdiri dari empat piring keramik, enam mangkuk keramik, tiga gamelan kuningan dan satu tatakan kuningan.
Seorang penemu kramik kepada tim menuturkan penemuan benda-benda kuno ini ketika sedang melaksanakan penggalian untuk pendulangan emas.
Keramik yang ditemukan tersimpan dalam satu gentong yang atasnya ditutup dengan gamelan pada kedalaman sekitar 2 meter.
Berdasarkan data di sepanjang Pegunungan Meratus ini memang kaya akan kandungan plora dan fauna, dan sekarang kawasan ini sudah banyak perkebunan karet.
Secara geografis kawasan Pegunungan Meratus terletak di antara 115°38¿00″ hingga 115°52¿00″ Bujur Timur dan 2°28¿00″ hingga 20°54¿00″ Lintang Selatan.
Pegunungan ini menjadi bagian dari 8 kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu Hulu Sungai Tengah (HST), Balangan, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar dan Tapin.
Pegunungan Meratus merupakan kawasan berhutan yang bisa dikelompokkan sebagai hutan pegunungan rendah.
Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan beberapa vegetasi dominan.
Vegetasi dominan tersebut seperti Meranti Putih (Shorea spp), Meranti Merah (Shorea spp), Agathis (Agathis spp), Kanari (Canarium dan Diculatum BI), Nyatoh (Palaquium spp), Medang (Litsea sp), Durian (Durio sp), Gerunggang (Crotoxylon arborescen BI), Kempas (Koompassia sp), Belatung (Quercus sp).

aku bersama para anggota tim
193 temuan
Dalam keterangan kerakhir tim saat bersilaturahmi dengan Bupati HST Kalsel, Haji Harun Nurasid terungkap tim ini berhasil mencatat 193 temuan.
Mayor Komaruddin mengatakan Pulau Kalimantan yang merupakan salah satu pulau besar di dunia dan merupakan paru-paru dunia menjadi sasaran tim ekspedisi yang memerlukan penanganan optimal.
“Kalimantan memiliki kekayaan alam dan mineral melimpah yang belum terjamah manusia, namun kondisi alamnya menurun dan beberapa satwanya hampir punah, sehingga perlu ditangani secara baik oleh kita semua” ujarnya.
Lebih lanjut, Komaruddin memaparkan bahwa objek utama penjelajahan tim ekspedisi untuk melestarikan dan melindungi kawasan Pegunungan Meratus yang memiliki keanekaragaman hayati, fauna dan sebagai kawasan resapan air dan menjadi hulu daerah aliran sungai.
Bupati pada kesempatan yang sama juga mengucapkan terima kasih kepada tim ekspedisi karena sudah menjelajah dan meneliti hasil temuan yang ada di pegunungan meratus.
“Saya berharap kepada para personel tim ekspedisi agar menuntaskan penjelajahan dan penelitiannya, dan hasil temuannya seyogianya bisa disampaikan ke kemerintah daerah,” ujarnya.
Selain itu, Harun juga menyampaikan bahwa hasil penjelajahan ini sangat luar biasa karena banyak sekali flora dan fauna serta keanekaragaman hayati yang belum terjamah oleh manusia.

Diantara temuan2 tim

MACAN DAHAN KALIMANTAN SATWA DENGAN BERJUTA CERITA

Oleh Hasan Zainuddin
Hampir semua warga di bilangan pedalaman Kalimantan Selatan, khususnya warga di kaki, lereng, atau di Pegunungan Meratus pernah mendengar keberadaan macan dahan.
Berbagai cerita berbau magis pun kerap kali muncul ditengah masyarakat berkenaan dengan keberadaan binatang yang termasuk jenis kucing besar tersebut.
Macan dahan disebut dan dipercaya sebagai satwa jelmaan setan, macan dahan disebut sebagai satwa yang bisa mengilang, dan berubah-rubah bentuk, bisa berubah menjadi seorang nenek tua, seorang kakek, bisa berubah menjadi kucing biasa, bahkan macan dahan dipercaya bisa berubah menjadi bahan makanan.
Oleh Karena itu jangan heran bila ada sesisir pisang di tengah hutan tak seorang pun berani menjamahnya, ada anggapan bila makanan yang tak jelas di tengah hutan bisa jelmaan seekor macan dahan.
Maka siapa yang berani memakannya diyakini bisa membinasakan yang makan makanan tersebut.
Warga di pedalaman Kalimantan Selatan seperti di kawasan Kabupaten Balangan yang termasuk kaki Pegunungan Meratus, percaya sekali keberadaan macan dahan dengan sejuta cerita tentang keanehan binatang tersebut.
Oleh karena itu, bila ada satu bunyi yang tak pernah didengar sebelumhya ke luar dari hutan atau di perkebunan karet setempat dipercaya pula itu suara macan dahan.
Walau begitu yakin keberadaan macan dahan tetapi hampir dipastikan sebagian besar penduduk setempat tak pernah melihat sosok  binatang tersebut.
Sehingga seringkali pula warga yang melihat seekor kucing hutan (kucing liar di hutan) disebut sebagai macan dahan, apalagi jenis kucing liar tersebut punya kulit juga berbelang dan suka di atas pohon pula sebagai layaknya macan dahan.
Sulitnya ditemukan sosok satwa ini lantaran populasinya yang terus berkurang bahkan mendekati kepunahan.
Hanya saja saat tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 melakukan penelitian dan penjelasan di kawasan Pegunungan Meratus dilapori warga adanya penemuan binatang tersebut.
Minggu (10/06) pukul 15.00 WITA, Aliudin (19) warga Kampung Juhu melaporkan keberadaan Macan Dahan kepada Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 di Poskotis Sub Korwil 08/HST Desa Murung B Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Keberadaan Macan Dahan dilaporkan Aliudin dengan menunjukan beberapa foto yang diambil menggunakan telepon seluler.
“Foto ini saya ambil Hari Minggu (10/6), pakai handpone kakak saya, saya sengaja datang kesini untuk menyampaikannya kepada bapak-bapak¿ kata Aliudin kepada para tentara dan para peneliti tim ekspedisi khatulistiwa tersebut.
Menurut Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc, dosen pada Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, yang tergabung dalam tim peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Sub Korwil 08/HST mengatakan, foto yang ditunjukan warga Juhu itu merupakan Macan Dahan (Neofelis nebulosa).
Macan dahan tersebut penyebaranya meliputi Pegunungan Himalaya, Cina bagian selatan dan Taiwan ke Selatan menuju semenanjung Malaysia, sedangkan di Indonesia sendiri ada di Sumatera dan Kalimantan,  yang ada di foto itu merupakan Macan Dahan sub spesies endemik Kalimantan yang sangat langka dan dilindungi pemerintah.
Macan dahan tersebutmenurut peneliti muda tersebut dengan nama latinnya adalah Neofelis nebulosa diardi.
Selanjutnya dijelaskan Haris,macan dahan adalah jenis kucing terbesar di Kalimantan, sehingga menjadi predator puncak (top predator) di pulau ketiga terbesar di dunia ini.
Karena itu peran ekologisnya sangat penting karena berperan menjaga keseimbangan populasi satwa mangsa seperti Babi Hutan Berjanggut (Sus barbatus), Kijang Muncak (Muntiacus muntjak), Sambar/Payau (Rusa unicolor).
Jenis mangsa lainnya yaitu berbagai jenis  primata seperti Lutung (Presbytis cristata), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Kelasi Merah (Presbytis rubicunda).
Macan dahan juga memangsa berbagai jenis satwa pengerat (Rodentia), seperti Landak, Tupai, dan Tikus hutan.
Macan dahan memiliki ukuran tubuh panjang dari ujung hidung sampai ujung ekor 1,5 meter atau lebih.
Warna macan dahan cukup bervariasi dari coklat pasir sangat pucat sampai sangat gelap dan memiliki pola bercak-bercak seperti awan pada sisi tubuh, sehingga disebut Clouded Leopard.
Macan dahan memiliki kharakteristik khas dibandingkan dengan jenis kucing lainnya (Famili Felidae), yaitu gigi-gigi taring atas relatif sangat besar dibandingkan dengan ukuran tengkoraknya.
Terdapat tiga ras macan dahan yaitu pola umum (foto di Juhu), dimana pola tubuh coklat pasir bercak-bercak seperti awan,  kedua  warna  agak pucak, dan ketiga  warna sangat gelap, meskipun dengan pola bercak/loreng yang sama dengan ras pertama dan kedua, jelas Haris.


Hidup soliter
Haris menambahkan, macan dahan aktif terutama malam hari (nocturna l) dan hidup di tajuk-tajuk pohon (arboreal), meskipun juga kadang dijumpai aktif siang hari dan mencari mangsa di lantai hutan.
Habitat utama macan tutul adalah hutan primer, yaitu hutan yang relatif belum terjamah manusia dan memiliki pohon-pohon yang tinggi sebagai tempat berlindungnya (cover).
Macan Dahan hidup soliter dan kadang dijumpai berpasangan, karena itu keberadaan macan dahan sangat tergantung akan adanya hutan primer yang masih sehat, seperti yang ada di Pegunungan Meratus.
Populasi satwa ini sangat langka karena kerusakan habitat, konversi hutan menjadi peruntukan lain (pemukiman, pertanian, pertambangan), serta perburuan liar untuk diambil taring, kulit dan menjadi koleksi/spesiemen.
Macan dahan dilindungi oleh Pemerintah RI berdasarkan PP 7 Tahun 1999, mengenai jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi oleh pemerintah.
Karena itu satwa ini harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Macan dahan termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Wild Flora and Fauna), dan termasuk dalam Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature).
Dengan status itu Macan Dahan tidak boleh diburu, diperdagangkan, baik hidup maupun mati, baik utuh maupun bagian-bagiannya, ujar Haris.
Menyikapi laporan warga tersebut, Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana membentuk tim khusus untuk mencari informasi tentang keberadaan Macan Dahan di Kampung Juhu.
Tim khusus yang dibentuk sebanyak 7 personel yaitu Mayor Sus Komaruddin, Kapten Ctp Sumbali, Kapten Chb Suryani, Sertu Agus Alwi, Serda Kusmayadi, Serda Anggi dan Prada Kasim W.
Bertepatan dengan persiapan tim khusus untuk menuju Kampung Juhu, pada Selasa (12/06/2012) pukul 15.00 WITA, Bapak Darmawi (35) warga Kampung Juhu yang telah menangkap Macan Dahan berkunjung ke Poskotis Sub Korwil 08/HST dengan didampingi Aliudin.
Di Poskotis, Darmawi menuturkan kepada tim tentang proses penangkapan macan dahan di Gunung Tabing Palawan.
“Saya dapat binatang itu di Gunung Tabing Palawan, gunung itu antara Batu Perahu dan Kampung Juhu, itu wilayah kami berburu, sekitar 3 (tiga) jam dari Juhu”, kata Darmawi.
Selanjutnya ia katakan “Saya ketemu binatang itu hari Minggu (27/05/2012) pagi sekitar jam 05.00 WITA, sewaktu saya mau pulang ke Juhu, setelah dua hari berburu di hutan Tabing Palawan, binatang buas itu saya tombak, saya ikuti sekitar satu pal (1 Km), saya tombak lagi di dalam lubang pohon sampai meninggal, beratnya sekitar 30 Kg, panjang ekornya 1 meter lebih”.
“Dari kecil, baru sekarang saya bisa ketemu, dari dulu saya hanya dengar suaranya saja, sekarang juga masih ada suaranya, kadang-kadang ada tiga, tapi pindah-pindah, saya tidak tahu kalau binatang itu tidak boleh ditangkap,” tambah Darmawi.
“Sekarang kulit, kepala dan ekor binatang itu saya simpan di rumah untuk kenang-kenangan anak cucu saya nanti”, jelas Darmawi.
Sedangkan Wadan Sub Korwil 08/HST berharap agar penduduk tidak menangkap kembali macan dahan yang sudah dilindungi pemerintah.
“Sekarang satwa ini sudah di lindungi pemerintah, kami dari Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 mengajak semua warga di Kawasan Pegunungan Maratus untuk sama-sama menjaga dan melindungi macan ini, sehingga kelestariannya tetap terjaga dan anak cucu kita nanti masih dapat mengetahui hewan-hewan yang ada disekitar kita,” kata Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana.

MENGUNGKAP MISTERI KIJANG EMAS PEGUNUNGAN MERATUS

Oleh Hasan Zainuddin

Gonjang ganjing adanya kehidupan kijang emas atau juga disebut kijang kuning (Muntiacus atherodes) di kawasan Pegunungan Meratus wilayah Kalimantan Selatan sering terdengar, tetapi agak sulit membuktikan keberadaan satwa tersebut.
Walau dari cerita dari mulut ke mulut konon berasal dari tetua warga setempat membenarkan adanya satwa khas tersebut, namun pihak instansi yang berwenang di provinsi ini tak ada satu yang mengulas tentang kijang tersebut.
Bahkan sebuah tulisan yang dilansir oleh media Dinas Kehutanan Tabalong Kalimantan Selatan, yang mengutip keterangan menteri kehutanan menyebutkan bukan tidak ada tetapi tak terbukti ada binatang yang banyak membuat orang penasaran ingin melihatnya itu.
Pernyataan tersebut segera ditindaklanjuti oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalsel yang menugaskan tim kecil untuk mencari keberadaan kijang kuning di bagian selatan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam dan tidak ditemukan jejak ataupun wujudnya.
Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan tentunya mendapat perhatian bagi sekelompok kecil masyarakat yang berusaha untuk menemukan jejak atau wujudnya.
Upaya pencarian dilakukan secara bertahap di kawasan Tahura dan berhasil menemukan seekor kijang kuning Kalimantan yang mati terjerat oleh jebakan yang dipasang para pemburu dan juga ditemukan adanya tanduk yang dipajang di rumah seorang penduduk.
Dari upaya pencarian di beberapa lokasi kawasan hutan setidaknya telah menunjukkan bahwa keberadaan kijang kuning Kalimantan tersebar di kawasan hutan Kalsel, meskipun status dan keberadaan salah satu satwa liar endemik Pulau Kalimantan yang sampai saat ini adalah tidak termasuk dalam daftar satwa liar dilindungi di Indonesia.
Kelompok pencinta alam Kompas Borneo Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin mencoba melakukan suatu kegiatan lapangan yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan kijang kuning di bagian selatan kawasan Tahura guna mengumpulkan informasi lapangan secara berkala selama dua bulan (Agustus-September 1998) lalu.
Dari hasil observasi di lapangan ditemukan jejak kijang kuning Kalimantan yang terjebak tali jerat dan dikonsumsi oleh penduduk. Dengan adanya temuan ini, menunjukkan bahwa peranan kawasan Tahura Sultan Adam sangatlah penting bagi hunian berbagai jenis satwa liar.
Berdasarkan sebuah catatan, kijang kuning Kalimantan termasuk kelas mamalia, ordo (bangsa) Artiodactyla, famili (suku) Cervidae, subfamili Muntiacinae, genus (marga) Muntiacus, species (jenis) Muntiacus muntjak dan Muntiacus atherodes.
Secara morfologi, pada bagian atas (punggung) satwa liar ini berwarna merah kekuning-kuningan dengan sebaran kepirang-kepirangan di sepanjang bagian tengah terutama leher / tengkuk, bagian bawah (perut) pucat kekuning-kuningan, oranye agak keputih-putihan.
Ekor bagian atas berwarna coklat gelap dan kuning agak kecil dan ramping dengan tinggi bahu ± 50 cm, ukuran panjang dari kepala dan badan (tidak termasuk panjang ekor) 86-92 cm dengan berat 13,5-17,7 kg. Tanduknya tidak memiliki cabang dengan panjang 1,6-4,2 cm dan panjang tangkai tanduk 6,5-8,7 cm.

Perbedanaan Tengkorak Kijang Emas Kiri dan Kijang Biasa Kanan
Ekspedisi
Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Koordinator Wilayah 08 Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan berusaha menemukan kijang kuning.
“Saya sudah dengar informasi adanya kijang kuning di Pegunungan Meratus HST Kalsel, makanya kita berusaha menemukan satwa langka tersebut,” kata Peneliti flora dan fauna Dr.Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc. yang ikut dalam tim di lokasi pos tim Desa Murung B Hantakan HST, pertengahan Mei 2012 lalu.
Dosen Fakultas Kehutanan IPB tersebut juga merasa tertarik keberadaan kijang kuning di kawasan tersebut, dan cerita masyarakat setempat yang dulunya sering menemukan binatang itupun menambah ketertarikan dirinya untuk menemukan binatang tersebut.
Ia berharap timnya berhasil menemukan kijang emas untuk menjawab teka teki masih adanya atau betul adanya binatang yang unik tersebut.
Setelah sekian lama menjelajah kawasan Kabupaten HST dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) mensinyalir populasi dan habitat Kijang Emas masih ada di Pegunungan Maratus.
Keberadaan Kijang Emas di Kawasan Pegunungan Maratus diperkuat dengan diketemukannya tengkorak Kijang Emas di area perkebunan milik warga.
Menurut Pajarah Sub Korwil 08 HST, Mayor Sus Komaruddin melalui emailnya disampaikan ke LKBN Antara Banjarmasin, Sabtu (2/6) tengkorak kijang emas tersebut ditemukan saat tim penjelajah dan peneliti 2 yang dipimpin oleh Kapten Psk Efendi Hermawan sedang melaksanakan penelitian pada Senin (28/5) pukul 09.00 WITA di Desa Haratai Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Kijang Emas yang oleh warga setempat disebut Kijang Hilalang merupakan salah satu jenis kijang endemik Kalimantan yang sangat langka dan sulit ditemukan, karena sering diburu warga untuk dikonsumsi.
Kijang Mas diburu warga di area Gunung Haung Haung, sekitar lima jam perjalanan dari Desa Haratai dengan berjalan kaki.
Warga setempat menganggap Kijang Mas sebagai kijang biasa, sehingga kepala Kijang Emas dibuang tidak disimpan seperti halnya kijang lainnya yang memiliki nilai seni tersendiri.
“Saya dapat Kijang ini sekitar tiga bulan yang lalu di Gunung Haung Haung, disana kami sering memasang Jipah (jerat tali), tapi kepalanya saya buang di Huma, karena tidak menarik untuk dipajang di rumah,” kata Uncau (46), salah satu warga di Desa Haratai seperti dikutip Komaruddin.
Dari tengkorak yang ditemukan, salah satu anggota Tim Peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Dr Ir Abdul Haris Mustari, M.Sc, yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian dan menemukan tengkorak tersebut mengatakan penemuan tengkorak kijang di Desa Haratai, dapat dikatakan sebagai Kijang Emas yang oleh warga sini disebut Kijang Hilalang.
Selanjutnya ia katakan, dari hasil perbandingan dengan tengkorak kijang biasa, terdapat perbedaan yang menyolok, Kijang Mas tidak terdapat sendi pada pangkal rangganya, masing-masing rangga memiliki satu cabang, ramping dan sedikit melengkung serta pedisel (tulang dibawah rangga) ramping dan melengkung.
Sedangkan kijang biasa mempunyai dua cabang pendek, lebih besar dan terdapat sendi pada pangkal rangga serta pedisel tebal dan lurus.
“Kijang Emas memiliki warna merah kekuningan dan terdapat garis gelap di sepanjang garis punggungnya, sementara kijang biasa berwarna kemerahan tua,” jelas Haris.
“Kijang Emas memang tergolong langka dan belum terdaftar, karena kekurangan dan sangat terbatasnya data-data tentang kijang tersebut, namun saat ini keberadaan Kijang Emas semakin langka dan hampir punah, daerah penyebarannya berada di hutan pegunungan yang sulit diakses manusia,” tambah Haris.
Sementara Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana mengatakan dengan diketemukannya tengkorak Kijang Emas oleh tim peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 yang bergerak di daerah Loksado HSS, mudah-mudahan akan menjadi masukan bagi semua pihak, terutama warga Kalimantan Selatan untuk meneliti lebih lanjut.

tanduk

tanduk kijang biasa

 

BERJUTA MISTERI MENYELIMUTI KEBERADAAN TAMAN NASIONAL SEBANGAU

 Oleh Hasan Zainuddin
     Terhitung 19 Oktober 2004 lalu, kawasan Sebangau, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) seluas 568.700 hektare telh ditunjuk pemerintah sebagai Taman Nasional (TN) melalui SK Menhut No. 423/Menhut-II/2004.
     Kawasan  berlokasi antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, Kota Palangka Raya, dan Kabupaten Katingan dijadikan TN upaya pelestarian agar berbagai kekayaan didalamnya khususnya flora dan fauna khususnya yang dilindungi bisa berkembang populasinya.
     Berdasarkan sebuah catatan, proses penunjukkan Sebangau sebagai Taman Nasional di wilayah Kalteng didasarkan atas usulan Pemerintah daerah dan didukung oleh masyarakat lokal yang bermukim di sekitar TN Sebangau.
     Penetapan Sebangau sebagai TN dilakukan melalui penetapan batas kawasan, dan proses ini dilaksanakan oleh Badan Planologi Hephut dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan TNS sebangau.
     Ditunjuknya kawasan di tengah Pulau Borneo ini sebagai taman nasional dinilai oleh berbagai kalangan sesuatu yang positifr mengingat kawasan ini memiliki kekhasan dan spisifikasi lahan yang unik dan menarik.
    Di TN Sebangau, memiliki keaneka ragaman hayati baik flora maupun fauna, tetapi yang unik lagi terdapat ekosistem air hitam.
     “Ekosistem yang unik yang khas itulah yang menyebabkan TN Sebangau Kalteng dijadikan kawasan ekowisata,” kata Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng, Aida Meyarti, Sabtu.
     Konsep ekowisata kawasan TN Sebangau tersebut sudah pula diusung oleh World Wide For Nature (WWF)Indonesia, yaitu bentuk pengembangan pariwisata berkelanjutan bertujuan untuk pelestarian lingkungan termasuk didalamnya alam dan budaya.
     Ketika dihubungi mantan Kabid Promosi Wisata Disbudpar Kalteng itu menyebutkan ekosistem air hitam yang terjadi akibat proses pelapukan bahan organik di lahan hutan bergambut kawasan itu dinilai unik dan menarik di pandangan wisatawan.
     Keunikan itulah yang ditonjolkan untuk memprosikan kawasan TN Sebangau sebagai kawasan objek wisata, dan ternyata memang direspon kalangan wisatawan khususnya dari mancanegara.
     Ekosistem ini memberikan manfaat kehidupan, baik tumbuhan maupun binatang.
     Tumbuhan ada yang bernilai ekonomis tinggi seperti pohon jelutung, damar, rotan, gemor, serta pohon bernilai industri seperti kayu ramin, blangeran, meranti.
     Bahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Idonesia (LIPI) tahun 2006 lalu telah melaukan penelitian di kawasan TN Sebangau, ternyata terdapat 808 jenis tumbuhan yang mengandung khasiat obat.
     Selain itu, TN Sebangau juga merupakan habitat sejumlah satwa seperti burung enggang, beruang madu, rusa, serta satwa lainnya dengan spicies induk orangutan.
     Hasil survei dan penelitian tahun 2006 itu terdapat 6000-9000 ekor populasi orangutan menghuni kawasan ini.
     Mengutip hasil penelitian atau studi hutan raya gambut, Universitas Palangkaraya (Unpar) terdapat sedikitnya 106 jenis tumbuh-tumbuhan yang ada di wilayah itu, diantaranya adalah tumbuhan khas Kalimantan.
     Selain itu terdapat 116 spicies burung diantaranya adalah burung khas Kalimantan, burung Enggang.
     Sementara 35 jenis mamalia, yang ada di kawasan itu selain orang utan juga ada Bekantan (nasalis larvatus) merupakan satwa kera hidung besar yang hanya ada di Pulau terbesar nusantara ini.
     Masih ada pula kera lain yaitu lutung, kera abu-abu dan beberapa jenis lainnya.
     Potensi wisata lain di taman nasional ini, keberadaan alamnya, terdapat jeram, lembah, serta danau-danau.
     Berdasarkan sebuah tulisan yang dirilis media yang diterbitkan WWF Indonesa Kalteng edisi Juni-Desember 2008 menyebutkan sebagai kawasan pelestarian alam maka TN sebangau merupakan salah satu kawasan rawa gambut yang mengandung berjuta misteri.
     Di TN Sebangau tumbuh beribu jenis flora dan habitat berbagai jenis satwa, dikelilingi dan diinteraksi oleh keragamanan budaya khas masyarakat Dayak dengan kehidupan tradisionalnya dalam memanfaatkan SDA di kawasan itu.
     Menurut tulisan itu, petunjukan Sebangau sebagan TN harus memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya, karenanya dengan segala kekayaan dan potensi yang dimiliki harus dikelola untuk kegiatan yang berkelanjutan oleh semua pihak dan ekowisata merupakan salah satu yang dapat dikembangkan.
     Melihat keunikan itulah, maka taman nasional Sebangau sering dikunjungi pihak turis asing termasuk delegasi asing seperti baru-baru ini kedatangan delegasi Perlemen Australia.
      Taman nasional Sebangau juga memperoleh perhatian khusus dari WWF sebuah organisasi konservasi mandiri dan terbesar di dunia.
      Baru-baru ini pula WWF Jepang Yumiko meninjau taman nasional Sebangau untuk melihat kegiatan konservasi yang dilakukan WWF World Wide For Nature (WWF).Indonesia.
     Kunjungan pejabat, tercatat Mantan Menteri Pariwisata I Gede Ardika dilanjutkan kunjungan perwakilan kedutaan besar Norwegia ke lokasi ini.
     Kunjungan lainnya dilakukan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Ditjen PHKA Dephut, Direktur Kehutanan dan Sumber Daya Air Bappenas.
     Peserta “Indonesian In Peat and Lowland Management” dari berbagai negara dan provinsi melakukan field trip ke TN Sebangau November 2008 lalu, kunjungan ke lapangan ini mengawali symposium yang diselanggarakan Cetral Kalimantan Petland Project, di Unpar.

 

 

air hitam Contoh air, yang berada di areal ekosistem air hitam Taman Nasional Sebangau

TRENGGILING SI SATWA “JELMAAN SETAN” ITU KINI JADI BARANG DAGANGAN

    Oleh Hasan Zainuddin
          Banjarmasin, 20/4 (ANTARA)- Jangankan memakan, menangkap binatang Trenggiling saja hampir dipastikan tidak ada yang berani, setidaknya bagi warga pedalaman Kalimantan Selatan (Kalsel) era tahun 60 hingga tahun 80-an.
         Pasalnya, binatang trenggiling bukanlah binatang seperti binatang lainnya, tetapi binatang yang memiliki nilai mistis, bahkan dianggap sebagai jelmaan setan atau hantu.
         Bahkan banyak yang percaya keberadaan trenggeling disuatu desa bertanda kurang baik, akhirnya binatang itu diburu jauh ke dalam hutan atau ditangkap untuk dimusnahkan dengan cara membakarnya, agar roh jahat yang ada di dalam tubuh binatang itu itu ikut musnah terbakar dan tidak menganggu manusia.

 saat pembakaran ratusan satwa trenggiling di Tahura Sultan Adam (foto bpost)
         Tetapi tak jarang, binatang sudah tertangkap dibuat ke dalam karung atau diikat dengan tali ternyata hilang begitu saja, akhirnya anggapan trenggiling sebagai jelmaan setan kian kuat.
         Dengan anggapan demikian di era tahun-tahun tersebut populasinya cukup terpelihara di hutan tidak ada yang berani memburunya, tetapi kemudian populasi itu terus menurun hingga sekarang ini, karena bukan saja ditangkap untuk dikonsumsi dan diperdagangkan tetapi juga akibat hutan yang kian rusak seperti gundul atau  terbakar.
         Apalagi belakangan daging binatang ini ternyata di lidah sebagian orang dinilai lezat bagaikan daging bebek dan dinilai memiliki berbagai khasiat akhirnya binatang ini kian diburu dan diperdagangkan bukan saja diperdagangkan di pasar lokal tetapi tak sedikit yang diantarpulaukan bahkan di ekspor ke luar negeri.
         Seperti yang terjadi di Banjarmasin Kalsel sebanyak 360 ekor trenggiling (Manis Javanica) disita Polsekta Banjarmasin Selatan dari rumah warga Banjarmasin, kemudian dimusnahkan aparat Dinas Kehutanan dan BKSDA Kalsel di Tahura Sultan Adam Mandiangin, Kabupaten Banjar, Kamis (17/4).
         Penemuan barang bukti perdagangan ilegal satwa tersebut merupakan yang kedua kalinya di rumah warga di bilangan Kampung Pekauman tersebut, karena sebelumnya petugas juga telah menemukan 10 ekor trenggiling dan 25 buah tanduk rusa untuk diperdagangkan.
         Menurut isteri tersangka kepada petugas bahwa suaminya hanya sebagai pengumpul dan pengolah.
         Trenggiling-trenggiling itu dipasok oleh beberapa orang dari Palangka Raya (Kalimantan Tengah), Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan/Kalimantan Selatan) serta daerah lainnya di wilayah Kalsel dan Kalteng ini. Biasanya, binatang tersebut dihargai Rp 50 ribu per ekor.
         Kemudian, trenggiling diolah dengan cara dibedah dan dikuliti, lalu dijual dagingnya itu kepada para pembeli yang datang ke rumah.
         “Untuk yang sudah dikuliti dijual dengan harga Rp 200 ribu, sedang jika ada yang masih hidup bisa laku sampai Rp 400 ribu. Biasanya yang datang orang Jakarta.” kata isteri tersangka seperti dikutip sebuah surat kabar di Banjarmasin.
         Trenggiling itu kemudian diolah jadi makanan. Langganan makanan daging trenggiling itu katanya orang China dan Jepang.
         Atau tambahnya, setelah dibedah, sisiknya dikelupas, dagingnya diawetkan kemudian bisa sudah terkumpul banyak, barulah dikirim ke China.
         Lakunya daging binatang untuk dijual lantaran diyakini dapat menyembuhkan penyakit jantung dan paru-paru. Bahkan ada yang percaya bisa menjadi obat kuat. Sedang kulitnya, bisa dimanfaatkan untuk kosmetik. Satu kilogram sisik, bisa laku sampai Rp 350 ribu.
         Usaha bisnis ilegal warga Banjarmasin itu akhirnya tercium petugas yang akhirnya digrebek petugas gabungan Polsekta Banjarmasin Selatan dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan yang hasilnya ditemukan 360 ekor trenggiling yang sudah dibedah dan dikuliti di dalam delapan lemari pendingin.
         Daging binatang yang ditemukan di rumah warga Banjarmasin seberat 1,5 ton itu dimasukkan ke dalam lubang besar di Tahura Sultan Adam Mandiangin Kabupaten Banjar, kemudian dibakar.
         Menurut seorang petugas, binatang ini tak boleh dijualbelikan karena ada peraturan yang menyatakan hal itu seperti Undang-undang RI No 5/1990, Peraturan Pemerintah RI No 17/1999.
         Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Banjarmasin, Nurani kepada wartawan mengatakan, mereka yang memperjualbelikan trenggiling diancam dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

 (foto Koran berani)
         Berdasarkan sebuah literatur bahwa binatang ini ditemukan oleh seorang bernama Desmarest pada 1822, binatang ini disebut juga ant eater (pemakan semut) wakil dari ordo Pholidota yang masih ditemukan di Asia Tenggara.
         Tubuh trenggiling lebih besar dari kucing. Berkaki pendek dengan ekor panjang dan berat. Yang unik adalah tubuhnya bersisik tersusun seperti genting rumah. Sisik pada bagian punggung dan bagian luar kaki berwarna cokelat terang. Binatang berambut sedikit ini tidak mempunyai gigi.
         Untuk memangsa makanannya yang berupa semut dan serangga, trenggiling menggunakan lidah yang terjulur dan bersaput lendir. Panjang juluran lidahnya dapat mencapai setengah panjang badan.
         Pada siang hari trenggiling tidur di dalam tanah. Sarang ini biasanya dibuat sendiri atau merupakan bekas sarang binatang lain yang tidak lagi ditinggali.
         Untuk melindungi diri dari serangan musuh, trenggiling menyebarkan bau busuk. Ia memiliki zat yang dihasilkan kelenjar di dekat anus yang mampu mengeluarkan bau busuk, sehingga musuhnya lari. Musuh trenggiling adalah anjing dan harimau.
         Binatang unik ini berkembang biak dengan melahirkan. Hanya ada satu anak yang dilahirkan seekor trenggiling betina. Lama buntingnya hanya dua sampai tiga bulan saja.
         Jika diganggu, trenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Ia dapat pula mengebatkan ekornya, sehingga “sisik”nya dapat melukai kulit pengganggunya.
         Trenggiling yang hidup di tanah mempunyai ekor berotot kuat. Panjangnya kira-kira sama dengan tubuhnya dan seluruhnya bersisik. Trenggiling yang hidup di pohon mempunyai ekor yang lebih panjang dari tubuhnya.
         Pada ujung ekor itu terdapat bagian yang gundul. Ekor digunakan sebagai lengan untuk berpegang waktu memanjat pohon.
         Ada tujuh jenis Trenggiling yang masih hidup yaitu Trenggiling India (Manis crassicaudata) terdapat di India dan Srilangka, Trenggiling Cina (M. pentadactyla) terdapat di Taiwan dan RRC Selatan, Trenggiling Pohon (M. tricuspis), Trenggiling Berekor Panjang (M. tetradactyla), Trenggiling Raksasa (M.gigantea) dan Trenggiling Temmick (M. Temmicki) terdapat di Afrika serta yang terakhir adalah Trenggiling Jawa (M. javanica) terdapat di Semenanjung Malaysia, Birma, Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja) dan pulau-pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
         Binatang ini memakan semut, telur semut, dan rayap. Untuk menggantikan fungsi gigi, lalu ia akan memakan kerikil untuk melumatkan makanannya.
         Apakah hal ini tidak berbahaya bagi lambungnya, menurut literatur tersebut tentu saja tidak, karena lambung trenggiling telah dilapisi oleh epitel pipih berlapis banyak dan mengalami keratinisasi cukup tebal.
         Epitel yang mengandung keratin ini akan melakukan adaptasi terhadap jenis makanan keras. Gesekan mekanik antara rangka semut atau rayap yang dimakan dapat diminimalisir dengan adanya keratin tersebut.

KERBAU RAWA JADI OBYEK AGROWISATA DI KALSEL

           Oleh Hasan Zainuddin 
          Banjarmasin, 18/4 (ANTARA)- Sekelompok pemuda bersorak sorai di hamparan ribuan hektare rawa monoton, Desa Bararawa, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
         Seorang pemuda bertindak sebagai joki, menunggang seekor kerbau besar di hamparan lahan berrawa-rawa tersebut, sementara yang lain juga melakukan hal serupa seraya memacu sekencangnya lari kerbau yang ditunggangnya saat perlombaan kerbau di lokasi desa sentra peternakan kerbau rawa tersebut.
         Perlombaan kerbau rawa itu persis seperti perlombaan atau atraksi karapan sapi di Madura, tetapi lomba karapan sapi di lahan kering atau lapangan luas sementara lomba kerbau rawa di hamparan berair yang penuh dengan tanaman rawa.
         Dalam lomba yang seringpula didatangi ribuan penonton tersebut tampaknya sebagai arena kompetisi antar desa di wilayah penghasil daging ternak terbesar Kalsel itu.
         Tak jarang dalam kegiatan lomba yang merupakan hiburan segar bagi masyarakat yang bermata pencariannya bertani, menangkap ikan, dan beternak itu dihadiri pejabat bukan sebatas camat, dan bupati, tetapi seringpula dihadiri gubernur Kalsel.

 
         “Lomba kerbau rawa merupakan objek wisata tahunan Kalsel yang terus dipopulerkan guna mendukung kunjungan wisata ke daerah ini,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalsel, Bihman Muliansyah.
          Lomba kerbau rawa tersebut, biasanya diselanggarakan pada setiap perayaan hari kemerdekaan RI, di lokasi yang sudah disediakan di kawasan tersebut, sehingga bagi turis mudah melihat atraksi lomba kerbau rawa itu.
          Tetapi, bukan hanya atraksi lomba kerbau rawa yang menjadi daya pikat wisatawan khususnya wisatawan mancanegara ke daerah itu, yang menarik mereka jusru menyaksikan usaha peternakan kerbau itu yang dinilai rada unik.
          Oleh karena itu, seringkali paket wisata kunjungan wisatawan selama di Kalsel selalu dikaitkan dengan lokasi peternakan kerbau rawa ini, seperti rute pendulangan intan tradisional, pasar permata, lalu Museum Lambung Mangkurat, Pasar Terapung Banjarmasin, Pulau kaget (pulau dihuni bekantan/nasalis larvatus).
          Setelah itu, wisatawan baru diajak ke lokasi kerbau rawa Danau Panggang yang lalu menuju ke Pegunungan Meratus menyaksikan komunitas suku Dayak Meratus, pulangnya berarung jeram menyusuri Sungai Amandit, dan terakhir kembali ke Banjarmasin.
          Berdasarkan catatan, kerbau rawa (Bubalus carabanensis) yang pula disebut sebagai kerbau (hadangan) kalang, karena kehidupan kerbau-kerbau ini berada di atas kalang di atas rawa.
          Kalang terbuat dari kayu-kayu besar yang disusun di tengah rawa untuk berteduhnya ternak besar ini, setelah berenang ke sana-kemari seharian di air dalam rawa untuk mencari makan.
          Sebuah kalang yang dibangun para peternak masyarakat Danau Panggang ini bisanya mampu menampung antara puluhan hingga ratusan ekor kerbau.
          Kerbau rawa merupakan aset asli atau plasma nutfah Kalsel, yang sudah beranak pinak atau berkembang biak di hamparan rawa seluas 2,6 juta hektare yang tersebar di lima kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Banjar, dan Kabupaten Barito Kuala (Batola).
          Tidak ada yang tahu persis asal usul kerbau rawa yang terbilang berbadan besar bila dibandingkan kerbau yang hidup di daratan ini, namun keberadaan kerbau itu sudah ada dari genereasi ke generasi.
          Menurut Kepala Dinas Peternakan Kalsel, Ir Maskamian Andjam kepada wartawan saat berada di kantor Gubernur Kalsel, Banjarmasin pada tahun 2000 lalu populasi hewan ini tercatat 11.605 ekor kemudian berkembang tahun 2004 lalu menjadi 38.488 ekor.
          Populasi kerbau rawa terbanyak berada di Kecamatan Danau Panggang HSU yang meliputi tujuh desa sentra peternakan, yakni desa Palbatu, Bararawa, Sapala, Peminggir, Ambahai, Tapus Dalam, dan Desa Danau Cermin dengan total populasi di kawasan itu sekitar 8000 ekor.
          Pada tahun 2002 dari 8000 ekor di tujuh desa  tersebut dimiliki oleh 215 orang peternak, dengan tingkat kepemilikan antara 50 hingga 100 ekor per orang dengan luas pengembalaan di kawasan rawa itu sekitar 61 ribu hektare dan 41 ribu diantara berupa rawa monoton berair dalam atau berupa danau.
          Kerbau rawa biasanya hidup secara berkelompok, satu kelompok biasanya terdapat antara satu atau dua penggembala (peternak) yang tindak tanduk peternak tersebut sangat di patuhi kerbau-kerbau besar ini.
          Jenis kerbau ini dengan spesifik tanduk yang melingkar panjang ke belakang, warna abu-abu coklat, dengan bentuk tubuh yang gempal, padat, dan berisi yang membuktikan bahwa kerbau rawa dengan mikroba rumen yang dimilikinya mampu mengubah makanan berkualitas rendah berupa rumput rawa menjadi daging.
          Berat kerbau ini berumur satu tahun sudah 195-200 kilogram, panjang badan 95,4-97,6 CM, dan lingkar dada 135,7-138,4 CM.
          Saat dewasa atau berusia tiga tahun kerbau itu memiliki 400-500 kilogram, dengan tinggi gumba 122,1-123,0 CM, panjang badan 128-138 CM, dan lingkar dada 174,6-177 CM.
          Bahkan ada kerbau rawa besar yang disebut atau berstatus “majir” pernah mencapai berat badan 600 kilogram, kata Maskaiman Andjam.
          Kerbau ini melahirkan anak setiap 400-500 hari (calving interval) dengan bobot lahir 28 kilogram. Kerbau rawa memasuki usia produktif saat berusia 15 tahun, dengan tingkat produksi susu cukup tinggi sehingga perkembangam anaknya begitu cepat.
          Akhmad Arifin yang seorang pemandu wisata Kalsel menuturkan untuk memancing wisatawan datang ke peternakan kerbau rawa tersebut setiap pemandu harus bisa menceritakan keunikan kerbau tersebut.
          Keunikan kerbau itu selain memang badannya besar, hidupnya berenang ke sana kemari di atas air rawa, hidup di atas kalangan jauh dari pemukiman penduduk, juga hanya ada di daerah rawa Kalsel dan sulit ditemui di daerah lain, biasanya setelah mendengar keunikan itu wisatawan khususnya yang memiliki perhatian terhadap binatang pasti minta di antarkan ke lokasi tersebut.
          Di lokasi peternakan. para wisatawan biasanya serius menyaksikan sistem peternakan yang dinilai benar-benar alamiah tanpa sentuhan tekhnologi itu
     “Wisatawan dengan menggunakan kamera biasanya membidik-bidik lokasi kalang sebagai tempat berteduh kerbau di malam hari, serta kelompok kerbau yang berenang di atas air  di kawasan tersebut.” kata Akhmad Arifin.
          Akhmad Arifin sendiri berharap dalam pengembangan peternakan kerbau ini bukan semata menambah pupulasi ternak, tetapi bagaimana lokasi peternakan ini menjadi daya pikat wisatawan dengan mempertahankan lomba kerbau rawanya, ditambah akses ke lokasi itu yang dipermudah.
          Bila semua itu lebih diperhatikan baik oleh Pemprop Kalsel maupun Pemkab HSU maka lokasi peternakan kerbau rawa kian dikenal sebagai objek agrowisata andalan Kalsel.

Imagekerbau rawa

 

 
KERBAU RAWA
—————
Kerbau rawa merupakan salah satu ternak ruminansia yang banyak diusahakan oleh petani ternak khususnya di daerah lahan rawa Kalimantan Selatan. Kerbau rawa mempunyai potensi dan peluang yang baik untuk dikembangkan, hal ini didukung dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan dan kesadaran akan pangan bergizi dari masyarakat, sehingga permintaan konsumen akan daging meningkat. Kontribusi produksi daging kerbau yang dihasilkan di Kalimantan Selatan sekitar 12,22% dari total produksi ternak ruminansia. Makalah ini merupakan review dan bertujuan untuk memaparkan pemikiran-pemikiran tentang strategi pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan khususnya di daerah rawa di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Batola dengan pertimbangan populasi kerbau rawa cukup tinggi. Pengembangan kerbau rawa dapat dilakukan di daerah rawa baik lebak maupun pasang surut dengan memperhatikan daya dukung lahan terhadap penyediaan hijauan pakan ternak. Masalah yang dihadapi petani ternak kerbau yaitu areal padang penggembalaan yang terbatas dan berkurang akibat bertambahnya jumlah penduduk, pergeseran penggunaan lahan menjadi lahan usahatani; ketersediaan hijauan sangat tergantung musim, dan adanya hama (ulat dan keong mas); rendahnya produktivitas akibat rendahnya kualitas pakan, penurunan mutu bibit, inbreeding dan manajemen pemeliharaan yang kurang optimal; lokasi pemeliharaan ternak kerbau yang cukup jauh menyebabkan sulitnya akses untuk mendapatkan penyuluhan dan pencegahan/pengobatan penyakit. Berdasarkan analisis SWOT terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk pengembangan kerbau rawa dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal. Dan untuk mendukung strategi pengembangan disarankan agar program pengembangan kerbau mendapat prioritas baik dari pemerintah pusat atau daerah; pengembangan ternak kerbau harus sesuai dengan potensi daerah yang didukung dengan perbaikan teknologi (bibit, manajemen dan pakan) dan dapat diarahkan sebagai obyek wisata; serta perlunya pembinaan dan penyuluhan yang lebih intensif.(SUMB:Puslitbangnak)