“BAGARAKAN” BUDAYA RAMADAN KIAN TERLUPAKAN

Oleh Hasan Zainuddin


Sekelompok remaja putra  berkeliling kampung seraya memukul aneka peralatan dapur, seperti panci, wajan, ember, cangkul,  jeregen, bahkan drum  hingga mengeluarkan bunyi berirama.

Sesekali mereka bersuara “sahuuuuur,” “sahuuuuur,” begitulah kebiasaan anak muda di beberapa desa provinsi Kalimantan Selatan saat bulan Ramadan.

Kegiatan yang disebut “bagarakan” (membangunkan orang tidur) tersebut sudah terbiasa dilakukan remaja putra saat membangunkan warga muslim yang ingin makan sahur.

Karenanya bagarakan hanya untuk membangunkan warga makan sahur, maka kegiatan itu dilakukan setelah waktu menunjukan pukul 02:00 dini hari hingga imzak.

“Bagarakan saat sahur ini merupakan hiburan tersendiri bagi anak muda di desa,karena itu tak pernah dilewatkan kegiatan tersebut saat Ramadan,”kata Mahlan (60 tahun) tokoh masyarakat Desa Inan Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan.

Menurut Mahlan, sewaktu ia masih remaja dulu tahun 60-an pernah membentuk sebuah grup bagarakan sahur di kampungnya.

Grup mereka tersebut hampir setiap malam melakukan kegiatan dari kampung yang satu ke kampung yang lain.

Saat itu, bukan hanya peralatan dapur yang menjadi media bunyi-bunyian tetapi ada yang memanfaatkan biola, babun, dan gong yang mengalunkan irama seni tradisi suku Banjar.

Kala itu hampir semua kampung di wilayah kaki Pegunungan Meratus tersebut membentuk grup bagarakan, mereka umumnya menyebutkan sebagai grup “pargum” (persatuan guring melandau).

Antara grup kampung yang satu dengan kampung yang lain selalu menampilkan grup yang terbaik, artinya dengan peralatan bunyi-bunyian yang lebih baik dan enak di didengar.

Bahkan antar grup menampilkan juga atraksi, seperti tari-tarian, seni “kuntau” (semacam pencak silat), kuda gepang, dan atraksi seni tradisi lainnya seperti lamut, madihin,atau kasidahan.

“Bahkan yang lebih seru lagi, bagarakan tidak hanya dilakukan satu grup di kampung itu saja, tetapi melibatkan juga orang tua di kampung itu, seperti dalam acara “bapangantinan” (kawin-kawinan tiruan),” kata Mahlan.

Sebab, katanya lagi, pada era tersebut acara bagarakan sahur dilakukan “bahaharatan” (semacam kontes) antara kampung yang satu dengan kampung yang lain yang dilakukan secara bergantian.

Artinya bila malam ini kampung yang satu melakukan pegelaran ke kampung yang lain, maka malam berikutnya kampung yang lain itu harus membalasnya dengan menampilkan atraksi bagarakan ke kampung yang melakukan pegelaran bagarakan terdahulu begitu seterusnya balas berbalas.

Akibat balas berbalas setiap malam itu maka grup yang satu berusaha menyajikan acara bagarakan lebih semarak, maka tak jarang bagarakan sahur tak sebatas membunyikan peralatan dapur tetapi sudah merupakan bentuk atraksi seni hiburan rakyat di saat Ramadan.

Bahkan pernah,katanya menceritakan masa lalunya, ada satu kampung membalas pertunjukan hiburan tersebut setelah lebaran,karena untuk membalas saat Ramadan keburu waktunya sudah habis, agar tidak merasa kalah mereka pun membalasnya saat hari idul fitri kedua.

Seperti atraksi seni “naga-naga-an” yang dilakukan oleh warga Pandam Kecamatan Awayan untuk membalas terhadap grup pemuda Inan Kecamatan Paringin, pada tahun sekitar tahun 65-an, tuturnya sambil tersenyum.

Menurut pengamatannya, bagarakan sahur ini masih terus berkembang hingga awal tahun 90-an, bahkan terakhir memanfaatkan peralatan bunyi-bunyian elekrtonik, seperti karaoke-an, atau pegelaran orkes dangdut.

Tetapi tambahnya, setelah waktu terus berlalu maka hiburan bagarakan sahur mulai awal tahun 90-an hingga tahun 2000-an kian terlupakan saja, walaupun masih terdengar hanya skala kecil.

Perkembangan itu setelah berbagai cara untuk memudahnya membangunkan warga untuk makan sahur, antara lain melalu pengeras suara di surau atau masjid, atau warga sudah terbiasa menggunakan bunyi alarm di handpone pribadi.

Untuk hiburan pun warga sekarang sudah kurang menyukai atraksi tradisi seperti itu lebih suka bermalas-malasan di rumah seraya menyaksikan aneka hiburan melalui layar televisi yang menyajikan atraksi seni saat sahur.

Apalagi sekarang, hampir semua jaringan televisi nasional dan televisi daerah sudah bisa direlay ke berbagai pelosok daerah melalui antena prabola yang kemudian dimodifikasi melalui jaringan kabel yang hingga sambung-menyambung ke rumah rumah penduduk.

Ditambah jaringan listrik masuk desa sudah mencapai 90 persen wilayah Kalsel, siasanya yang tak masuk listrik masuk desa bisa memasang listrik tenaga surya yang mampu menyalakan radio dan televisi di rumah penduduk terpencil sekalipun.

“Kalau dulu, jangan televisi, radio saja susah bisa didengar, maka bagarakan sahur merupakan sebuah hiburan rakyat yang sangat menyenangkan,” kata Mahlan yang merupakan pensiunan guru SDN tersebut.

 

Pelestarian
Setelah sekian lama kegiatan bagarakan sahur kurang terdengar lagi di masyarakat saat Ramadan membuat beberapa kalangan memandang perlu budaya tersebut dilestarikan agar tidak punah.

Salah satu upaya tersebut adalah dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjarbaru, yang selalu menggelar lomba bagarakan sahur yang dirangkaikan dengan lomba tanglung (lampu hias).

Lomba di Banjarbaru tersebut, biasanya berlangsung setelah malam salikuran atau malam memasuki malam ke-21 Ramadan, dan lomba yang digagas Pemkot dengan hadiah menarik dari walikota tersebut selalu memeproleh respon oleh pemuda setempat.

Oleh karena itu, setiap lomba selalu banyak grup yang terlibat dan selalu memperoleh dukungan penonton yang melimpah ruah pula.

Selain digelar di Banjarbaru lomba bagarakan sahur juga biasanya di gelar oleh KNPI di Kota Banjarmasin, atau oleh organisasi pemuda dan lomba itupun selalu memperoleh respon.

Tetapi karena hanya lomba maka meriah disaat lomba saja, setelah itu bagarakan sahur kembali hanya tinggal kenangan saja, dan kian terlupakan.

BAGARAKAN BUDAYA WARGA KALSEL MEMBANGUNKAN MAKAN SAHUR

Oleh Hasan Zainuddin

“Bagarakan sahur” merupakan aktivitas sekelompok pemuda Kalimantan Selatan yang bangun di tengah malam selama bulan puasa dengan tujuan membangunkan kaum muslim untuk makan sahur.

Tidak ada catatan yang menyebutkan awal bagarakan sahur dilakukan di daratan Kalimantan Selatan yang didominasi suku Melayu Banjar itu.

Tetapi di kalangan masyarakat tertanam pengertian bahwa budaya itu bagian dari kehidupan kaum Melayu Islam lainnya seiring masuknya Islam ke wilayah itu.

Sebenarnya budaya itu tidak jauh dengan banyak aktivitas pemuda lain di nusantara di malam bulan Ramadhan. Hanya saja, untuk wilayah Kalsel budaya bagarakan sahur lebih spesifik dengan kemampuannya menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan masyarakat dan potensi alam.

Makanya dalam acara bagarakan sahur sering kali orang memanfaatkan peralatan seadanya, seperti besi-besi tua, peralatan tani seperti pacul, bajak, parang, linggis, serta jenis besi lain yang mampu mengeluarkan suara nyaring, ditambah dengan kentungan terbuat dari bambu.

Pada era tahun 60-an hingga era tahun 70-an bagarakan sahur menjadi hiburan rakyat yang populer setiap Ramadhan. Saat itu, tak hanya besi tua yang menjadi alat yang dipukul tetapi ditambah dengan suara seruling, gendang, dan gong.

Suara dentingan besi tua diselengi dengan suara seruling, gendang, dan gong menghasilkan irama yang enak didengar. Akibatnya, warga selain mudah terbangun oleh suara bising besi tua juga merasa terhibur oleh suara suling dengan irama khas lagu-lagu Banjar.

 

 

Bagarakan Sahur

 

 

 

 

 

 

 

para pemuda sedang bagarakan sahura (mb)

 

Pada era tersebut setiap kampung memiliki kelompok sendiri, sehingga mereka sering saling berpapasan saat berkeliling kampung dan menimbulkan kesan sedang berlomba.

Tidak jarang kelompok bagarakan sahur dari sebuah kampung memasuki kampung lain, sehingga pemuda dari kampung yang dimasuki itu merasa berutang.

Pada malam berikutnya, pemuda kampung itu kemudian membalas mendatangi kampung yang pemudanya telah memasuki kampung mereka malam sebelumnya.

“Jadi ada kesan balas-membalas,” kata Haji Abdullah, seorang penduduk Kabupaten Balangan saat menceritakan pengalaman masa lalunya.

Akibat sering berbalas-balasan tersebut tak jarang dalam acara bagarakan sahur tersebut juga diwarnai atraksi lain, seperti wayang orang, bambarangon (semacam barongsai), hingga pergelaran sandiwara, agar mereka terlihat sebagai yang paling hebat.

“Pokoknya pada era tahun-tahun tersebut, bagarakan sahur merupakan hiburan rakyat saat Ramadhan yang menyenangkan,” katanya.

Tetapi seiring perkembangan zaman, yaitu ketika peralatan modern sudah tersedia maka bagarakan sahur dengan hanya memukul besi-besi tua pun mulai ditinggalkan dan digantikan alat-alat musik modern.

Pada 1980-1990-an, mulailah dipakai alat musik modern seperti seruling, biola, gitar, bahkan alat musik dengan sound sistem yang bagus, sehingga satu kelompok bagarakan sahur bisa dikatakan sebagai kelompok orkes kampung.

Lagu-lagu tradisional Banjar yang dulunya menjadi lagu-lagu seruling bambu bagarakan sahur kini sudah berubah menjadi lagu-lagu dangdut dan lagu kasidahan populer artis ibukota.

Sehingga acara bagarakan sahur yang sering diadakan di wilayah Kalsel Kuala, layaknya pergelaran orkes dangdut di malam hari.

Bahkan belakangan acara bagarakan sahur juga menggelar alat musik karaoke dengan hanya didampingi beberapa orang penyanyi. Itu makin meriah ketika rombongan bagarakan membawa satu gerobak berisi sistem penata suara.

 

Tetapi seiring perkembangan jaman pulalah, yaitu makin maraknya siaran radio dan televisi, lambat laun acara bagarakan sahurpun mulai ditinggalkan.

“Pemuda sekarang kayaknya sudah enggan keluar malam saat sahur, mereka lebih senang menyaksikan acara di televisi saat sahur seperti acara komide putar di TPI,” ucap seorang ibu rumah tangga di bilangan Kayutangi Banjarmasin.

Melihat kenyataan kian terlupakannya acara bagarakan sahur tersebut, suatu saat menimbulkan keprihatinan Walikota Kota Banjarbaru Drs.Rudy Restawan, yang kemudian membudayakan lomba bagarakan sahur setiap menjelang akhir bulan Ramadhan.

Lomba bagarakan sahur yang disponsori pemerintah kota Banjarmasin tersebut sudah terlaksana dalam beberapa tahun belakangan ini.

Kegiatan itu tak lain untuk menumbuhkan kembali minat pemuda Kalsel untuk menggelar budaya yang mulai terlupakan tersebut.

Untuk memancing minat masyarakat mengikuti lomba tersebut tak tanggung-tanggung, Pemko setempat mengeluarkan uang cukup besar.

Pengeluaran itu terutama untuk hadiah para pemenang, sehingga setiap tahun lomba bagarakan sahur Pemko Banjarbaru selalu dipadati peserta dan pengunjung.

Belakangan bukan hanya bagarakan sahur yang dilombakan tetapi juga sekaligus menggelar lomba arak-arakan tanglong sebagai simbol budaya Islam.

Kemeriahan setiap penyelanggaraan lomba bernuansa keislaman tersebut kemudian jadikan atraksi wisata oleh Pemko Banjarbaru.

Kegiatan itu dijadikan atraksi wisata yang dikalenderkan dan dipromosikan ke dunia luar sebagai atraksi budaya tahunan.

Acara itu dinilai mampu memancing kedatangan wisatawan ke daerah yang selama ini dikenal sebagai penghasil batu permata intan tersebut.(*)