TUPAI TERKECIL DUNIA ADA DI PEGUNUNGAN MERATUS

 

 

tupai

Oleh Hasan Zainuddin
Pegunungan Meratus wilayah Provinsi Kalimantan Selatan yang termasuk hutan tropis basah bukan saja sebagai wilayah yang memproduksi oksigen bagi dunia ternyata juga mengandung keanekaragaman hayati flora dan fauna.
“Salah satu yang mengejutkan ternyatan di Pegunungan Meratus Kalsel ini terdapat seekor satwa unik dan langka, yakni tupai terkecil di dunia,”jelas Zainudin Basriansyah Peneliti Muda Pusat Studi & Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversitas Indonesia) -Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Senin.
Disebutkannya, Kalimantan adalah pulau dengan kekayaan yang masih menjadi misteri hingga kini. Pasalnya hari demi hari terus saja ditemukan berbagai macam hal yang membuat kita tercengang.
Penemuan habitat baru bagi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang secara ilmiah tidak pernah dilaporkan terdistribusi di wilayah Kalimantan Selatan beberapa tahun belakangan adalah suatu hal menggembirakan sekaligus memprihatinkan. Pasalnya lokasi yang menjadi habitat penemuan telah beralih fungsi.
Kalimantan mempunyai nilai endemisitas tersendiri dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Hasil laporan ekoregion Kalimantan pada tahun 2011 menyatakan bahwa Kalimantan sangat kaya akan keberadaan mamalianya. Baik mamalia kecil hingga mamalia besar dapat ditemukan di Pulau ini.
Hingga kini tercatat sebanyak 222 jenis mamalia hidup disalah satu pulau terbesar ini, bahkan 44 jenis diantaranya endemik Kalimantan dan tidak dapat ditemui di daerah lain.
Ekspedisi Susur Sungai DAS Barito 2017 yang kolaborasi antara Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) dan Balai Wilayah Sungai (BWS) II pada hari kedua pada tgl 16 September 2017 lalu berhasil menemukan keberadaan tupai terkecil di dunia.
Tupai terkecil yang berhasil ditemukan tersebut adalah sepesies Bornean pigmy squirrel atau dalam bahasa latin disebut (Exilisciurus exilis).
“Tupai jenis ini tersebar diseluruh Kalimantan, khususnya pada habitat >1000 meter dari permukaan laut. Meski persebarannya luas, namun hingga kini jenis ini secara ekologi masih menjadi misteri bagi peneliti” jelas Zainudin Basriansyah yang turut dalam tim ekspedisi tersebut.
Menurutnya , hingga saat ini terdapat enam subspesies tupai kecil di Asia, tiga dari subspesies itu terdistribusi di Borneo bahkan dua di antaranya bersifat endemik atau hanya dapat ditemukan di wilayah Kalimantan saja.
Tupai kecil yang ditemukan adalah satu dari dua spesies endemik tersebut. Dengan banyaknya jumlah spesies tupai kecil yang ada di wilayah Kalimantan maka Kalimantan berhak menyandang gelar sebagai tempat yang menjadi pusat informasi biologis dan ekologis tupai kecil di dunia.
“Data biologis maupun ekologis spesies E exilis ini masih sangat minim, sehingga temuan ini bisa kita jadikan dasar untuk melakukan riset lebih lanjut untuk menguak misteri dari kehidupan tupai terkecil di dunia ini” Pungkas Zainudin gembira.
Panjang total tubuh spesies ini hanya 73 mm dengan berat mencapai 17 gr. Pantas kiranya dia menyabet gelar tupai terkecil di dunia. Tubuhnya yang kecil dan ramping membuatnya mempunyai manuver yang gesit dan cepat diantara pepohonan dan lantai hutan. Hal tersebut menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Tim peneliti untuk medokumentasikan temuan itu dengan baik.
Spesies ini adalah spesies dengan spesialisasi habitat di hutan dataran rendah. Temuan pada habitat lain bahwa ia mampu hidup hingga ketinggian 1.700 mdpl. Meski aktif di siang hari, jenis ini cukup sulit ditemukan pada habitat yang terusik.
“Jenis ini sebenarnya cenderung jinak dan bergerak mendekati kami, saat di temukan. Namun pergerakannya yang cepat menjadi hambatan tersendiri bagi kami mengingat kondisi tofografis lokasi temuan berada pada lembah berbatu besar dan licin” ungkap Zainudin.
Spesies ini banyak beraktivitas disiang menjelang sore hari, namun kami menemukan spesies ini pada pagi menjelang siang hari, kondisi saat itu lebih lembab karena hujan baru saja reda. Spesies ini diketemukan memakan sperpihan lumut kerak dan serangga kecil di bebatuan dan lantai hutan.
Spesies E. exilis ini adalah spesialis pemakan serpihan kulit dari batang pohon dan beberapa serangga kecil. Namun jenis ini bukanlah ancaman bagi kelestarian pohon dihutan pasalnya ia hanya mengkonsumsi permukaan bagian luar dari kulit pohon saja.
Hasil penelitian di Sumatera bahwa tupai-tupai pemakan serpihan kayu ini mengkonsumsi 17 jenis dari 41 keluarga pohon dari lokasi penelitian tersebut. Umumnya tumbuhan dari famili Euphobiaceae dan Fabaceae yang cenderung mempunyai getah.
“Kami mencoba menghubungkan temuan ini dengan masyarakat lokal sekitar, suku dayak meratus menyebut spesies E. exilis dengan istilah Kurahing dan mereka kerap melihat spesies ini mengkonsumsi getah yang keluar dari batang pohon. Ini adalah hal yang wajar dan bisa di tolelir “, kata Zainudin.
Pada dasarnya 3 bagian terluar suatu batang pohon terdiri atas lapisan selulosa, lignin dan suberin atau lilin yang menyelimuti permukaan batang suatu tanaman. Tiga bagian tersebut tidak dapat dikonsumsi begitu saja oleh suatu spesies jika mereka tidak mempunyai modifikasi atau cara khusus pada sistem pencernaanya.
“Temuan ini akan kami jadikan informasi awal mengenai habitat dan sebaran tupai terkecil di dunia tersebut, dan kami harap habitat yang menjadi temuan tetap terjaga kelestariannya mengingat spesies unik ini sangat mudah untuk terusik dengan bisingnya kehadiran manusia didaerah teritorinya”, jelas Ferry F. Hoesain penanggung jawab tim ekspedisi.
Meski spesies ini sangat mengagumkan, perlindungan terhadap tupai terkecil didunia ini masih belum jelas, bahkan status perlindungan yang dibuat oleh Lembaga Konservasi Internasional IUCN ( International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) cenderung turun. Pada tahun 1996 spesies ini berstatus Least concern ( kurang diperhatikan) dan pada tahun 2008 menurun statusnya menjadi Data deficient akibat kurangnya data mengenai spesies unik ini.
Di Indonesia juga tidak jauh berbeda, tidak ada UU yang mengatur perlindungan spesies ini. “Kita harus segera melengkapi data mengenai biologis maupun ekologis spesies eksotik ini, agar status perlindungannya dapat ditingkatkan”, kata Zainudin
Disisi lain Ferry berharaf Dalam upaya tersebut ia meminta kerjasama semua pemangku kepentingan didaerah ini, untuk terus turut menjaga kelestarian lingkungan yang menjadi habitat tupai terkecil tersebut. Ancaman utamanya adalah alih fungsi lahan baik dibidang perkebunan maupun pertambangan dan juga pembukaan lahan ladang berpindah serta kebakaran hutan.

MELINGAI DAN BWS EKSPEDISI SUNGAI

 

eksOleh Hasan Zainuddin

Banjarmasin ()- Sebuah organisasi lingkungan Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) bersama Balai Wilayah Sungai (BWS) II, melakukan penjelajahan hutan sekaligus susur sungai untuk mengetahui kondisi sebenarnya saat ini mengenai hutan dan air.

Dalam kegiatan yang bertajuk “Ekspedisi Susur Sungai 2017” tersebut sekaligus untuk melakukan pengukuran kualitas air terhadap beberapa sungai yanbg termasuk bagian dari aliran Sungai Barito, kata ketua tim kegiatan Mohammad Ary, Rabu.
Susur sungai itu sendiri berlangsung mulai Jumat (15/9) hingga Senin Malam (18/9) diikuti oleh delapan anggota tim yang bertugas melakukan pengukuran kualitas air dan pengamatan terhadap kondisi hutan, sungai secara ekonologi maupun morfologinya.
Hasil dari kegiatan ini sebagai bahan awal yang nantinya dibawa ke dalam forum diskusi saat Kongres Sungai Indonesia (KSI) III yang dijadwalkan berlangsung di Banjarmasin, 1-4 November 2017 nanti.
Dalam perjalanan malam dan siang tersebut dimulai dari kawasan Sungai Tapin di PipItak Jaya, sekaligus melihat kawasan pembangunan Bendungan Pipitak Jaya dan kawasan yang rencana ditenggelamkan, di wilayah Kabupaten Tapin ini.
Dalam kegiatan di kawasan ini anggota tim juga melakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air yang nantinya akan dibawa secara seksama ke laboratorium di Banjarmasin untuk mengetahui secara rinci kualitas sebenarnya.
Setelah di Pipitak Jaya tim ekspedisi melalui jalur hutan terus menuju Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan tim melakukan penjelajahan hutan di wilayah ini, selain melakukan pengukuran kualitas dan pengambilan sampel air untuk juga di bawa ke Banjarmasin.
Dalam penjelajahan di Hutan Loksado, banyak ditemukan aneka spicies tanaman khas hutan tropis basah, aneka tanaman bambu, aneka anggrek, aneka satwa termasuk beberapa katak yang terbilang langka, kata Zainuddin seorang peneliti reftil Universitas Lambung Mangkurat yang ikut dalam rombongan tersebut.
Saat di Loksado rombongan mengunjungi pemukiman Suku Dayak Loksado berbincang mengenei kehidupan mereka yang ternyata mereka cukup sejahtera dengan hasil budidaya kayu manis, kemiri, dan karet.
Setelah di Loksado tim terus meluncur tetap melalui jalan hutan ke kawasan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dalam perjalanan pun terlihat masih banyak lahan hutan yang lebat, perladangan berpindah, dan kebun-kebun rakyat.
Di Hantakan pun rombongan mnelakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air untuk diteliti lagi.
Setelah di Hantakan, tim terus ke Paringin mengambil contoh air sungai Balangan, dan terus ke Tanjung Tabalong, juga melakukan kegiatan yang sama kaitan dengan air.
Setelah ditanjung rombongan terus ke Sungai Barito Kota Muara Teweh juga mengambil samp;el air sungai setempat sekaligus menikmati wisata kampung pelangi.
Yakni kampung dengan rumah-rumah lanting di atas air yang bercat mencolok warna warni.
Selanjut ke Puruk Cahu, rombongan pun sempat beraudensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Murung raya (Mura) Kalteng pak Pujo dan memperoleh penjelasan mengenai kondisi air Sungai Barito yang menurutnya sudah mulai rusak akibat ribuan aktivitas penambangan pasir dan emas di hulu sungai tersebut.
Pak Pujo berharap pemerintah mengembangkan ekonomi rakyat di darat umpamanya mengembangkan pertanian gogo di dataran tinggi agar ekonomi rakyat meningkat sehingga mereka tidak lari untuk mencari rejeki ke sungai.
Dalam perjalanan tersebut menurut ketua tim Mohammad Ary cukup puas ada yang diperoleh sebagai gambaran di KSI nanti, dan dari itu akan ada deklarasi sungai menjadi beranda depan, dan akan memperjuangkan adanya lembaga khusus mengurusi sungai Badan Restorasi Sungai semacam Badan Restorasi Gambut.

MENCARI KEPUASAN JIWA DENGAN BUDI DAYA ANGGREK KALIMANTAN

Oleh Hasan Zainuddin

halaman2

halaman rumah

Anggrek Balangan


Setiap bangun tidur Haji Jainudin (50) langsung ke pekarangan rumahnya di bilangan Jalan Sultan Adam, Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, semata ingin menyaksikan sekuntum bunga anggrek mekar yang dibudidayakan di lahan kecil tempat tinggalnya.

Dalam hatinya bertanya-tanya, seperti apakah gerangan rupa mekar bunga anggrek yang baru saja diperolehnya di hutan Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan tersebut. Sebab, ia belum pernah melihatnya.

Setelah menyaksikan dengan saksama bunga yang sudah mekar itu hatinya begitu senang. Berulangkali ia amati. Walau kecil saja bunganya tetapi berbau harum, dan memberikan warna warni dan bintik-bintik merah.

“Indah sekali. Indah sekali,” kata Haji Jainudin sambil berjingkrak seraya mengambil sebuah kamera lalu membidikkan berulangkali ke arah sekuntum bunga anggrek yang baru mekar tersebut.

Kemudian hasil jepretannya dikoleksi, kemudian disusun rapi dalam sebuah album di komputer dan diberi judul “bunga-bunga anggrek alam Kalimantan.”

halaman
Lain lagi cerita pecinta anggrek lainnya, Khaidir (45) juga berada di bilangan Jalan Sultan Adam Banjarmasin, ia paling suka menghadapi tantangan dengan memelihara anggrek Kalimantan yang masih kecil-kecil. Karena masih kecil, riskan mati dan busuk, sehingga harus dirawat secara saksama agar bisa besar dan berbunga.

Bibit anggrek kalimantan ia peroleh dari para pedagang di pinggir jalan atau ada pula yang melalui pusat penjualan bibit anggrek yang ada di Banjarmasin.

“Saya itu sangat puas hati, jika anggrek bulan hutan Kalimantan yang kecil-kecil itu kemudian tumbuh subur menjadi sebuah untaian anggrek bulan yang besar dan melahirkan bunga-bunga yang indah pula,” kata Khaidir.

Bila beberapa anggrek bulan itu bermekaran di musim hujan seperti sekarang ini, waduuuh senang sekali rasanya, dan itulah pesona kegandrungan memelihara anggrek alam, tambahnya.

Anggrek alam Kalimantan yang dipelihara kedua pecinta anggrek tersebut memang asli berasal dari hutan belantara, bukan hasil rekayasa manusia seperti anggrek-anggrek hibrida yang banyak diperjual belikan di pasaran.

Bentuk anggrek Kalimantan ini beraneka ragam, baik bentuk bunga, bentuk barang, bentuk buah, bentuk daun dan cara hidupnya pula, ada yang hinggap di batang induk, ada yang tumbuh di tanah, ada pula yang hanya bergelantungan di di pohon.

halaman1

Seorang pencinta anggrek lainnya, Rusmin Argalewa yang sekarang menjadi Staf Ahli Wali Kota Banjarmasin yang juga mantan Kepala Dinas Pertanian, serta mantan Kepala Dinas Pertamanan Kota setempat menyatakan kesenangannya memelihara anggrek hutan Kalimantan sejak dulu.

Rusmin yang bermukim di kompleks perumahan Pemkot Banjarmasin di bilangan belakang Stadion Lambung Mangkurat, kilometer lima Banjarmasin memiliki puluhan bahkan ratusan spesies anggrek asal pulau terbesar Indonesia tersebut.

Rusmin sendiri selain mengoleksi anggrek juga tanaman khas Pulau Borneo ini seperti aneka jenis buah-buahan yang sudah tergolong langka.

“Berdasarkan hasil penelitian siapa yang suka memelihara anggrek dengan saksama dengan perasaan senang, maka akan selalu awet muda,” tuturnya.

Konon, katanya, saat perasaan hati senang itu terproduksi sebuah hormon dalam tubuh yang bisa melahirkan “antibody” hingga badan sehat wal’afiat jauh dari serangan penyakit.

Dengan alasan itulah ketiga pecinta anggrek asal Banjarmasin ini selalu berlomba menambah koleksi anggrek hutan.

Para pecinta anggrek alam mengoleksi dengan berbagai cara, selain memburu sendiri ke hutan, juga membelinya dari para penebang kayu, pembuka lahan, atau di pedagang pinggir jalan.

Lokasi yang paling banyak menjual anggrek hutan Kalimantan ini, adalah pada tiap hari Minggu di bilangan Jalan A Yani, Kertak Hanyar Banjarmasin.

Anggrek hutan ini bentuknya beraneka ragam, ada yang menempel di pohon induk, atau di pagar, di pakis, sabut kelapa, ada pula yang hanya bergelantungan di pohon dengan menghirup nutrisi di udara serta yang hidup di tanah.

Hutan Kalimantan, khususnya Kalsel memang memiliki kekayaan flora yang khas, khususnya anggrek.

Berdasarkan catatan anggrek hutan Kalimantan mencapai ratusan bahkan ribuan spesies, dan selalu menjadi pembicaraan kalangan pecinta anggrek karena jenis di pulau terbesar ini dinilai khas dan indah. Sebut saja yang dinamakan anggrek hitam (Coelogyne pandurata).

Lidah bunga hitam pekat dengan kelopak mahkota hijau mulus menjulur di batang tangkai. Itulah kekhasan anggrek hitam sang primadona Kalimantan itu.

Kemudian ada lagi anggrek yang disebut Grammatophyllum speciosum, atau anggrek harimau atau juga disebut sebagai anggrek tebu lantaran bentuk batang dan daun seperti tebu, adalah anggrek terbesar di dunia yang berkembang biak di sela-sela pohon besar, Satu rumpun tanaman ini pernah tercatat memiliki berat dua ton.

Berada di lingkungan panas, hutan tropis yang lembab di kawasan Pulau Kalimantan juga menjadi daya tarik kolektor anggrek.

Keistemewaan anggrek tebu sangat tahan lama dan dapat bertahan sampai dua bulan. Bunganya dapat mencapai 6 inchi, kuning krem dengan bintik cokelat atau merah tua. Stem bunga dapat mencapai 6-9 inchi dengan 60-100 kuntum per tangkai.

Kawasan anggrek yang cukup dikenal di Kalimantan Selatan adalah hutan Pegunungan Meratus, wilayah yang membujur dari selatan ke utara, mengandung kekayaan alam flora dan fauna. Hutan ini ternyata disebut juga dengan istana anggrek.

Wilayah hutan Pegunungan Meratus Kalsel itu meliputi Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong, Balangan dan Hulu Sungai Tengah (HST).

Bukan saja terdapat dua jenis anggrek yang dikenal itu, tetapi beberapa jenis anggrek lainnya seperti jenis Phalaenopsis bellina, Arachis breviscava, Paraphalaenopsis serpentilingua, Macodes petola, jewel orchids, Tainia pausipolia, anggrek tanah, Phalaenopsis cornucervi, Coelogyne asperata, anggrek berbau busuk.

Kemudian anggrek pandan Cymbidium finlaysonianum, Dorrotis pulcherrima, Chairani punya Plocoglotis lowii, Tainia pauspolia, Destario Metusala, Ceologyne espezata, Paphiopedilum lowii dan Paphiopedilum supardii (anggrek nanas).

Tetapi belakangan yang paling populer adalah anggrek bulan spesies Pleihari yang terbilang langka.

Menurut Rusmin Argalewa yang juga anggota Perkumpulan Anggrek Indonesia (PAI) Kalsel, anggrek langka tersebut kini banyak diburu kolektor.

Bahkan Ny Hj Jusuf Kalla beberapa waktu lalu terkesan dengan anggrek hutan khas Kalsel tersebut sehingga membeli untuk dibawa ke Jakarta.

Anggrek ini termasuk langka di dunia dan dijadikan puspa pesona nasional.

Menurutnya jenis anggrek langka yang disebut spesies “Phalaenoasis amabilis Pleihari”, tersebut hanya beberapa kolektor saja yang memilikinya, lantaran sulit berkembang biak.

Anggrek Pleihari sejenis anggrek bulan yang hanya ada di hutan kawasan Pleihari, tetapi uniknya beda lokasi maka akan berbeda pula bentuk bunganya.

Seperti anggrek Pleihari yang diperoleh dari hutan kawasan Gunung Bira maka bunganya akan beda dengan anggrek Pleihari yang diperoleh dari kawasan hutan Gunung Ranggang, begitu juga anggrek Pleihari dari kawasan hutan Gunung Pleihari berbeda pula dengan yang lainnya.
Sementara keterangan lain menyebutkan anggrek spesies Pleihari ini memang agak beda dibandingkan anggrek kebanyakan, masalahnya daunnya agak panjang dan memiliki bunga yang unik, warna putih di tengah ada warna kuning dan di tengah warna kuning itu ada bintik-bintik merah.

Kelebihan dan keunikan lain jenis anggrek ini, adalah tangkai bunga, bila anggrek lain tangkai bunga biasanya mati setelah mengeluarkan bunga, tetapi bagi anggrek khas Pleihari ini justru tangkai bunga ini terus memanjang hidup dan akhirnya di tangkai bunga itu pula keluar bibit-bibit baru tanaman itu.

Untuk menanamkan kecintaan terhadap anggrek khususnya dari Kalimantan beberapa kegiatan terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun dari PAI Kalsel, seperti beberapa kali kontes, pelatihan budidaya hingga kegiatan dialog mengenai anggrek menghadirkan pakar anggrek dari Jakarta, Franky Handoyo.

Berdasarkan sebuah tulisan pula upaya pengumpulan dan pendokumentasian tumbuhan dan termasuk anggrek alam Kalimantan dimulai sekitar tahun 1825 oleh George Muller asal Jerman.

Sementara antara tahun 1901-1902, ahli botani asal Jerman bernama Friederick Ricard Rudolf Schlechter melakukan ekspedisi di Kalimantan mengumpulkan sekitar 300 tanaman anggrek.

Pada tahun 1925, Eric P Mjoberg melakukan perjalan ke Kaltim dan mengumpulkan 15.000 tanaman.

Sebagian di antaranya diberikan ke Kebun Raya Bogor, yakni 127 jenis pakis dan anggrek.

Pada tahun yang sama, F Hendrik Endert, warga Belanda yang bekerja di Balai Penelitian Bogor juga melakukan ekspedisi ke Kaltim dan mengumpulkan 5.417 tanaman.

Melihat kekayaan alam Kalimantan dengan banyaknya spesies anggrek, sudah selayaknya habitat itu dijaga dan dilestarikan setidaknya melalui pembudidayaan dan pelestarian yang dilakukan kalangan kolektor agar jenis-jenis itu kian berkembang biak di kemudian hari.
anggrek1anggrek23456anggrek hitam78

KELANGKAAN AIR BERSIH SEBUAH ANCAMAN WARGA KALSEL

Oleh Hasan Zainuddin


Banjarmasin, 22/7 (ANTARA) – Pertengahan Juli 2012 tiba-tiba air Sungai Martapura membelah Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan berubah warna menjadi keruh pekat dan kuning kemerahan.

Setelah diteliti ternyata air sungai berhulu di Pegunungan Meratus tersebut sudah terkontaminasi kandungan partikel atau kandungan lumpur yang jumlahnya melimpah ruah.

“Kekeruhan tinggi karena partikel mencapai 5000 MTO, padahal idealnya hanya 100 MTO,” kata Direktur Perusahaan Daerah Air Minum(PDAM) Bandarmasih, Kota Banjarmasin, Muslih.

Akibat kekeruhan demikian mengganggu sistem pengolahan air bersih perusahaan air minum, antaranya limbah dihasilkan menjadi luar biasa.

Kekeruhan tinggi semacam itu sudah sering muncul bila terjadi hujan lebat di kawasan hulu, yaitu di kawasan hutan Riam Kanan, Kiam Kiwa atau Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam yang termasuk kawasan Pegunungan Meratus.

Dengan adanya kandungan partikel dalam air Sungai Martapura tersebut sudah menandakan kawasan resapan air di hulu mengalami kerusakan parah.

Kerusakan resapan air diduga penggundulan hutan, penebangan kayu, pertambangan emas, pertambangan biji besi, atau bahkan belakangan kian marak adalah pertambangan batu bara.

Hutan gundul penyebab erosi, bila hujan sedikit saja maka partikel tanah merah, pasir, dan debu dan limbah lainnya ikut larut dan masuk ke dalam sungai, terus mengalir hingga ke Kota Banjarmasin.

Menurut Muslih, kondisi kerusakan resapan air puncak Meratus merupakan sebuah ancaman kelangkaan air bersih, bukan saja warga Banjarmasin, tetapi juga warga Banjarbaru, Martapura Kabupaten Banjar, mengingat kawasan itu mengandalkan air sungai tersebut.

Bukan hanya itu, kata pengamat lingkungan yang juga Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Banjarmasin, Fajar Desira menambahkan, kerusakan puncak Pegunungan Meratus akan menyebabkan sungai-sungai di Kalsel, baik yang mengalir ke kawasan Tanah Bumbu, Tanah Laut, dan Banua Enam (enam kabupaten Utara) Kalsel akan terganggu.

Masalahnya semua sungai di Kalsel berhulu ke kawasan tersebut, dan bila kawasan puncak terganggu akhirnya seluruh wilayah Kalsel akan terganggu suplai air bersih tersebut.

Padahal sumber air bersih di Kalsel tak ada alternatif selain dari sungai.

Sebagai contoh Banjarmasin, kata Fajar Desira yang juga mantan Direktur Teknik PDAM Bandarmasih Kota Banjarmasin ini, air tanah di wilayah ini kurang baik untuk diolah air baku PDAM dengan kandungan besi dan kandungan keasaman yang sangat tinggi.

Sementara air sungai bagian hilir begitu mudah terintrusi air laut,sehingga mengandung kadar garam yang berlebihan dan tak bisa diolah air minum.

Mengandalkan air hujan, wilayah ini tak memiliki sebuah pun lokasi embung atau penampungan air hujan, dan kalau pun itu bisa dilakukan dipastikan pula tetap tidak akan mencukupi kebutuhan.

Pengambilan air Sungai Martapura selama ini dilakukan PDAM Bandarmasih dengan kapasitas 1700 liter per detik, dan mampu memproduksi air bersih terbesar di Kalsel yang melayani bukan saja warga Banjarmasin tetapi juga warga Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar.

Padahal suplai air Sungai Martapura seratus persen lagi mengandalkan air di kawasan resapan di Pegunungan Meratus tersebut, oleh karena itu bisa dibayangkan bila kondisi resapan air rusak lalu kemana lagi PDAM Bandarmasih harus mencari air baku, kata Fajar Desira.

Tak ada pilihan lain, bagaimana agar kawasan resapan air Pegunungan Meratus tersebut harus terpelihara dengan baik, untuk dijadikan sebagai penyangga air bersih di kawasan ini, tambahnya.

Bukti rusaknya kawasan tersebut terlihat dari kondisi bendungan Riam Kanan yang belakangan debit airnya tidak stabil lagi, bila hujan maka bendungan kebanjiran bila kemarau mudah kekeringan.

“Jika bendungan Riam Kanan dibiarkan seperti sekarang, maka debit air di lokasi itu akan terus menyusut, sehingga daerah ini akan kesulitan air,” kata Dirut PDAM Bandarmasih Kota Banjarmasin, Muslih.

Karena itu, Muslih menyarankan bendungan Riam Kanan sebaiknya dikelola semacam lembaga atau badan khusus yang fokus menjaga kelestarian lingkungan.

Lembaga tersebut misalnya menangani program penghijauan, aliran air, pembangkit listrik, dan aspek lain terkait dengan bendungan tersebut.

“Lembaga tersebut bisa saja semacam Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” katanya yang baru saja datang dari Korea Selatan mempelajari masalah air bersih.

Muslih mencontohkan Korea Selatan terdapat sebuah bendungan yang dikelola khusus oleh lembaga semacam BUMN yakni ‘Q-Water’ dan ternyata bendungan itu bermanfaat dalam penyediaan air di wilayah tersebut.

Penanaman Pohon
Guna mengembalikan kelestarian kawasan resapan air tersebut pihak PDAM Bandarmasih mencoba melakukan kegiatan menanam seribu pohon terdiri dari 800 pohon mahoni, 100 angsana, 100 pohon matoa.

Penanaman di kawasan resapan air di Tahura Sultan Adam, diharapkan memancing pihak lain juga melakukan hal serupa agar lingkungan wilayah ini terpelihara.

Tetapi bukan hanya rehabilitasi yang dilakukan, ia pun menghendaki adanya tindakan penyelamatan kawasan tersebut.

Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Rahmadi Kurdi ketika ditanya membenarkan kerusakan kawasan hutan lindung daerah tersebut setelah pencurian kayu dan pertambangan secara liar terus berlangsung di lokasi itu.

Pihaknya melakukan razia minimal satu bulan sekali untuk mengurangi kegiatan merusak hutan wilayah itu.

Disebutkannya 40 persen dari 112 ribu hektare (ha) kawasan Tahura kritis akibat pembalakan hutan, pembakaran, dan pertambangan, dan itu yang menyebabkan kawasan tersebut menjadi rusak.

Hanya saja untuk menjaga kawasan tersebut pihaknya menemui kendala kurangnya polisi hutan. Jumlah polisi hutan untuk menjaga wilayah se Kalsel 3,7 juta hektare hanya 70 orang, sehingga seorang polisi menjaga lahan sekitar 50 ribu hektare, idealnya polisi hutan di Kalsel paling sedikit 200 orang.

Melihat kenyataan tersebut berbagai pihak menyarankan ke seluruh instansi yang berkompeten untuk sama-sama berkomitmen menjaga kawasan resapan air untuk ketersediaan air berkelanjutan.

Gubernur Kalsel diharapkan bertindak tegas terhadap kegiatan penebangan dan pertambangan di lokasi tersebut.

Komitmen lain dari Gubernur Kalsel, adalah penyelamatan kawasan lindung dari aktivitas pembangunan, dan segala aktivitas lainnya seraya melakukan perbaikan sebagai penyematan sumber air.

ULAR GUA SATWA MELATA UNIK PENGHUNI MERATUS

Oleh Hasan Zainuddin


Pegunungan Meratus di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan menyimpan banyak misteri berkaitan dengan keberadaan flora maupun fauna, di antaranya sejenis ular yang habitatnya berada di dalam gua pegunungan tersebut.

Ular tersebut berhasil ditemukan oleh Tim Ekspedisi Khatulistiwa yang menjelajah kawasan Pegunungan Meratus, belum lama ini.

Tim penjelajah dan peneliti pertama kali menjumpai Ular Gua tersebut di Gua Liang Hadangan Hulu Sungai Tengah (HST) pada 16 April 2012, kata Mayor Sus Komaruddin Pajarah Sub Korwil 08/HST kepada Antara Banjarmasin, Kamis.

Penelitian kedua mreka lakukan di Gua Gunung Ranauan Loksado Hulu Sungai Selatan pada 23 Mei 2012.

Pada penjelajahan dan penelitian tahap ketiga, tim peneliti yang dipimpin Kapten Pasukan Efendi Hermawan kembali menemukan ular gua di Gua Liang Bantai Gunung Haliang Kampung Pasiratan Desa Marajai pada 13 Juni 2012. Serta di Gua Gunung Batu Laki di Kampung Sawang Desa Uren Kecamatan Halong Kabupaten Balangan pada 18 Juni 2012.

“Ketika memasuki Gua Haliang, Tim Penjelajahan dan Penelitian Sub Korwil 08/HST didampingi Damang Kecamatan Halong Pak Utan (50), karena menurut penduduk setempat Gua Haliang dianggap keramat sehingga seseorang yang masuk gua hendaknya ditemani oleh tetua adat atau orang tua yang cukup banyak pengalaman” katanya, mengutip keterangan Kapten Pasukan Efendi Hermawan.

“Setelah memasuki gua dan menjumpai ular ketiga, Pak Ujar mengatakan wah ular-ular itu adalah penjaga gua dan bukan sembarang ular, kita harus cepat keluar, karena akan datang ular yang lebih besar, sebesar naga,” ujar Kapten Pasukan Efendi Hermawan menirukan.

Sementara menurut Dr Abdul Haris Mustari, dosen pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, yang sejak awal sudah tergabung dalam tim Penjelajah dan Peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Sub Korwil 08/HST, panjang Ular Gua dapat mencapai 2,5 meter.

Namun yang ditemukan oleh Tim Eskpedisi Khatulistiwa di Gua Haliang panjangnya 1,8 meter, nama ilmiahnya adalah Elaphe taeniura ridleyi dan bukan endemik Kalimantan.

Penyebarannya satwa ini meliputi Thailand, Semenanjung Malaya dan Kalimantan.

Disebutkannya, ular penghuni gua karena ular ini habitatnya adalah gua, terutama pada bagian atas mulut gua, pada zona terang dan zone gelap. Makanan utamanya adalah berbagai jenis kelelawar penghuni gua seperti Kelelawar Ladam Kalimantan (Rhinolopus borneensis), dan jenis kelelawar lain yang juga merupakan penghuni gua.

Haris menjelaskan, gambaran morfologi ular yang ditemukan yaitu bagian depan bewarna coklat kekuningan, bagian tengah sampai ujung ekor bewarna hitam dengan garis vertebral (sepanjang tulang belakang) berwarna kuning.
Ular tersebut pertama kali ditemukan sekitar 20 meter dari mulut gua ke arah dalam pada bagian atas gua.
Namun karena merasa agak terusik, ular gua tersebut turun dan merayap di dinding gua. Pada awalnya hanya ditemukan dua ekor ular pasangan jantan dan betina, dan pasanga ular itu sedang birahi (estrus) dan melakukan perkawinan.
Sebenarnya ular gua bukan termasuk ular yang sangat mematikan, tetapi karena penampakannya yang cukup menyeramkan ditambah lagi ukuran tubuhnya yang cukup besar, bertemu dengannya tetaplah membuat merinding bulu roma, ujar Haris.
Haris menambahkan, secara ekologi, ular penghuni gua sangat penting karena merupakan pengendali populasi kelelawar gua sehingga tidak terjadi ledakan populasi.

Dengan populasi yang terkendali, populasi kelelawar penghuni gua tetap sehat karena jumlahnya yang senantiasa sesuai dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity).

Tambahan lagi individu kelelawar yang dimangsa oleh ular tersebut adalah individu yang lemah, sakit atau tua. Sehingga individu yang tersisa adalah yang sehat.

Dengan demikian, individu-individu kelelawar yang sehat itu akan dapat melangsungkan hidupnya karena ruang dan makan tersedia cukup banyak karena adanya pengendalian populasi yang dilakukan oleh ular penghuni gua tersebut.

Populasi kelelawar yang sehat diperlukan oleh umat manusia, terutama petani di sekitar hutan dan gunung, karena kelelawar penghuni gua adalah pemangsa serangga (insctivor), sehingga sangat membantu petani agar tidak terjadi ledakan hama serangga yang sangat merugikan petani.

Karena itu baik populasi ular gua maupun populasi kelelawar penghuni gua harus tetap dijaga kelestariannya agar senantiasa terjadi keseimbangan ekosistem, katanya.

Sementara di Poskotis Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012, Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana mengatakan, temuan tim penjelajah dan peneliti yang telah berhasil menjumpai jenis ular di beberapa gua sekitar kawasan Pegunungan Maratus akan dilaporkan ke komando atas untuk diadakan penelitian lebih lanjut.

“Mudah-mudahan akan menjadi temuan baru di Kalimantan Selatan, sehingga akan menambah perbendaharaan jenis hewan melata di Kalimantan Selatan,” kata Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana.

Dengan adanya temuan Ular Gua maka kian bertambah temuan dari Tim Ekspedisi Khatulistiwa konwil 08 ini.

Kawasan yang menjadi target penjelajahan dan penelitian personil tim beranggotakan 118 tentara dan sipil ini adalah Pegunungan Meratus yang merupakan kawasan pegunungan yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan yang membentang sepanjang sekitar 600 km persegi dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Timur.

Satu per satu tanaman dan satwa yang dinilai unik dalam kegiatan mulai Rabu, 11 April 2012 ini diperhatikan dan terakhir seperti diungkapkan Mayor (Sus) Komaruddin terdapat 193 temuan.

“Sebanyak 72 temuan penjelajahan dan penelitian tahap pertama dan 121 tahap kedua,” katanya.

Ia menyebutkan temuan tersebut antara lain bidang fauna seperti aneka jenis ular, aneka jenis kodok, aneka jenis kadal, aneka jenis tokek, aneka jenis burung, kera, tupai, bajing, musang, iguana dan satwa lainya.

Bidang flora antara lain aneka jenis anggrek, aneka jenis jamur, aneka jenis pohon meranti, kayu ulin, agathis, aneka jenis kantong semar, aneka jenis tanaman obat antara lain, Seluang Belum dan lain sebagainya.

Mayor Komaruddin mengatakan Pulau Kalimantan yang merupakan salah satu pulau besar di dunia dan merupakan paru-paru dunia menjadi sasaran tim ekspedisi yang memerlukan penanganan optimal.

“Kalimantan memiliki kekayaan alam dan mineral melimpah yang belum terjamah manusia, namun kondisi alamnya menurun dan beberapa satwanya hampir punah, sehingga perlu ditangani secara baik oleh kita semua” ujarnya.

MACAN DAHAN KALIMANTAN SATWA DENGAN BERJUTA CERITA

Oleh Hasan Zainuddin
Hampir semua warga di bilangan pedalaman Kalimantan Selatan, khususnya warga di kaki, lereng, atau di Pegunungan Meratus pernah mendengar keberadaan macan dahan.
Berbagai cerita berbau magis pun kerap kali muncul ditengah masyarakat berkenaan dengan keberadaan binatang yang termasuk jenis kucing besar tersebut.
Macan dahan disebut dan dipercaya sebagai satwa jelmaan setan, macan dahan disebut sebagai satwa yang bisa mengilang, dan berubah-rubah bentuk, bisa berubah menjadi seorang nenek tua, seorang kakek, bisa berubah menjadi kucing biasa, bahkan macan dahan dipercaya bisa berubah menjadi bahan makanan.
Oleh Karena itu jangan heran bila ada sesisir pisang di tengah hutan tak seorang pun berani menjamahnya, ada anggapan bila makanan yang tak jelas di tengah hutan bisa jelmaan seekor macan dahan.
Maka siapa yang berani memakannya diyakini bisa membinasakan yang makan makanan tersebut.
Warga di pedalaman Kalimantan Selatan seperti di kawasan Kabupaten Balangan yang termasuk kaki Pegunungan Meratus, percaya sekali keberadaan macan dahan dengan sejuta cerita tentang keanehan binatang tersebut.
Oleh karena itu, bila ada satu bunyi yang tak pernah didengar sebelumhya ke luar dari hutan atau di perkebunan karet setempat dipercaya pula itu suara macan dahan.
Walau begitu yakin keberadaan macan dahan tetapi hampir dipastikan sebagian besar penduduk setempat tak pernah melihat sosok  binatang tersebut.
Sehingga seringkali pula warga yang melihat seekor kucing hutan (kucing liar di hutan) disebut sebagai macan dahan, apalagi jenis kucing liar tersebut punya kulit juga berbelang dan suka di atas pohon pula sebagai layaknya macan dahan.
Sulitnya ditemukan sosok satwa ini lantaran populasinya yang terus berkurang bahkan mendekati kepunahan.
Hanya saja saat tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 melakukan penelitian dan penjelasan di kawasan Pegunungan Meratus dilapori warga adanya penemuan binatang tersebut.
Minggu (10/06) pukul 15.00 WITA, Aliudin (19) warga Kampung Juhu melaporkan keberadaan Macan Dahan kepada Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 di Poskotis Sub Korwil 08/HST Desa Murung B Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Keberadaan Macan Dahan dilaporkan Aliudin dengan menunjukan beberapa foto yang diambil menggunakan telepon seluler.
“Foto ini saya ambil Hari Minggu (10/6), pakai handpone kakak saya, saya sengaja datang kesini untuk menyampaikannya kepada bapak-bapak¿ kata Aliudin kepada para tentara dan para peneliti tim ekspedisi khatulistiwa tersebut.
Menurut Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc, dosen pada Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, yang tergabung dalam tim peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Sub Korwil 08/HST mengatakan, foto yang ditunjukan warga Juhu itu merupakan Macan Dahan (Neofelis nebulosa).
Macan dahan tersebut penyebaranya meliputi Pegunungan Himalaya, Cina bagian selatan dan Taiwan ke Selatan menuju semenanjung Malaysia, sedangkan di Indonesia sendiri ada di Sumatera dan Kalimantan,  yang ada di foto itu merupakan Macan Dahan sub spesies endemik Kalimantan yang sangat langka dan dilindungi pemerintah.
Macan dahan tersebutmenurut peneliti muda tersebut dengan nama latinnya adalah Neofelis nebulosa diardi.
Selanjutnya dijelaskan Haris,macan dahan adalah jenis kucing terbesar di Kalimantan, sehingga menjadi predator puncak (top predator) di pulau ketiga terbesar di dunia ini.
Karena itu peran ekologisnya sangat penting karena berperan menjaga keseimbangan populasi satwa mangsa seperti Babi Hutan Berjanggut (Sus barbatus), Kijang Muncak (Muntiacus muntjak), Sambar/Payau (Rusa unicolor).
Jenis mangsa lainnya yaitu berbagai jenis  primata seperti Lutung (Presbytis cristata), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Kelasi Merah (Presbytis rubicunda).
Macan dahan juga memangsa berbagai jenis satwa pengerat (Rodentia), seperti Landak, Tupai, dan Tikus hutan.
Macan dahan memiliki ukuran tubuh panjang dari ujung hidung sampai ujung ekor 1,5 meter atau lebih.
Warna macan dahan cukup bervariasi dari coklat pasir sangat pucat sampai sangat gelap dan memiliki pola bercak-bercak seperti awan pada sisi tubuh, sehingga disebut Clouded Leopard.
Macan dahan memiliki kharakteristik khas dibandingkan dengan jenis kucing lainnya (Famili Felidae), yaitu gigi-gigi taring atas relatif sangat besar dibandingkan dengan ukuran tengkoraknya.
Terdapat tiga ras macan dahan yaitu pola umum (foto di Juhu), dimana pola tubuh coklat pasir bercak-bercak seperti awan,  kedua  warna  agak pucak, dan ketiga  warna sangat gelap, meskipun dengan pola bercak/loreng yang sama dengan ras pertama dan kedua, jelas Haris.


Hidup soliter
Haris menambahkan, macan dahan aktif terutama malam hari (nocturna l) dan hidup di tajuk-tajuk pohon (arboreal), meskipun juga kadang dijumpai aktif siang hari dan mencari mangsa di lantai hutan.
Habitat utama macan tutul adalah hutan primer, yaitu hutan yang relatif belum terjamah manusia dan memiliki pohon-pohon yang tinggi sebagai tempat berlindungnya (cover).
Macan Dahan hidup soliter dan kadang dijumpai berpasangan, karena itu keberadaan macan dahan sangat tergantung akan adanya hutan primer yang masih sehat, seperti yang ada di Pegunungan Meratus.
Populasi satwa ini sangat langka karena kerusakan habitat, konversi hutan menjadi peruntukan lain (pemukiman, pertanian, pertambangan), serta perburuan liar untuk diambil taring, kulit dan menjadi koleksi/spesiemen.
Macan dahan dilindungi oleh Pemerintah RI berdasarkan PP 7 Tahun 1999, mengenai jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi oleh pemerintah.
Karena itu satwa ini harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Macan dahan termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Wild Flora and Fauna), dan termasuk dalam Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature).
Dengan status itu Macan Dahan tidak boleh diburu, diperdagangkan, baik hidup maupun mati, baik utuh maupun bagian-bagiannya, ujar Haris.
Menyikapi laporan warga tersebut, Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana membentuk tim khusus untuk mencari informasi tentang keberadaan Macan Dahan di Kampung Juhu.
Tim khusus yang dibentuk sebanyak 7 personel yaitu Mayor Sus Komaruddin, Kapten Ctp Sumbali, Kapten Chb Suryani, Sertu Agus Alwi, Serda Kusmayadi, Serda Anggi dan Prada Kasim W.
Bertepatan dengan persiapan tim khusus untuk menuju Kampung Juhu, pada Selasa (12/06/2012) pukul 15.00 WITA, Bapak Darmawi (35) warga Kampung Juhu yang telah menangkap Macan Dahan berkunjung ke Poskotis Sub Korwil 08/HST dengan didampingi Aliudin.
Di Poskotis, Darmawi menuturkan kepada tim tentang proses penangkapan macan dahan di Gunung Tabing Palawan.
“Saya dapat binatang itu di Gunung Tabing Palawan, gunung itu antara Batu Perahu dan Kampung Juhu, itu wilayah kami berburu, sekitar 3 (tiga) jam dari Juhu”, kata Darmawi.
Selanjutnya ia katakan “Saya ketemu binatang itu hari Minggu (27/05/2012) pagi sekitar jam 05.00 WITA, sewaktu saya mau pulang ke Juhu, setelah dua hari berburu di hutan Tabing Palawan, binatang buas itu saya tombak, saya ikuti sekitar satu pal (1 Km), saya tombak lagi di dalam lubang pohon sampai meninggal, beratnya sekitar 30 Kg, panjang ekornya 1 meter lebih”.
“Dari kecil, baru sekarang saya bisa ketemu, dari dulu saya hanya dengar suaranya saja, sekarang juga masih ada suaranya, kadang-kadang ada tiga, tapi pindah-pindah, saya tidak tahu kalau binatang itu tidak boleh ditangkap,” tambah Darmawi.
“Sekarang kulit, kepala dan ekor binatang itu saya simpan di rumah untuk kenang-kenangan anak cucu saya nanti”, jelas Darmawi.
Sedangkan Wadan Sub Korwil 08/HST berharap agar penduduk tidak menangkap kembali macan dahan yang sudah dilindungi pemerintah.
“Sekarang satwa ini sudah di lindungi pemerintah, kami dari Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 mengajak semua warga di Kawasan Pegunungan Maratus untuk sama-sama menjaga dan melindungi macan ini, sehingga kelestariannya tetap terjaga dan anak cucu kita nanti masih dapat mengetahui hewan-hewan yang ada disekitar kita,” kata Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana.

AIR TERJUN SUNGAI KARO BAGIAN EKOWISATA MERATUS

Oleh Hasan Zainuddin
Suasana hutan tropis basah yang masih asli di Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Provinsi Kalimantan Selatan begitu hening, hanya saja gemercik air terjun Sungai Karo di kawasan tersebut mampu membelah suasana keheningan.
Kicauan burung dan suara satwa lainnya turut menciptakan suasana yang menyenangkan, sehingga menjadikan kawasan tersebut bernilai jual, terutama bagi wisatawan petualangan, kata peneliti Dr Ir Abdul Haris Mustari.
Air terjun Sungai Karo dengan tinggi 80 meter terletak di kaki Gunung Halau Halau Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan.
Dr Ir Abdul Haris Mustari selalu anggota tim peneliti ekspedisi khatulistiwa HST, menuturkan, dinamakan Air Terjun Sungai Karo, karena air terjun itu merupakan salah satu segmen/ruas dari Sungai Karo.
Lokasi air terjun dapat dicapai dengan berjalan kaki dari Kampung Kiyo, Desa Batu Kembar, Kecamatan Batang Alai Timur, sekitar empat jam perjalanan mengikuti jalan setapak, kata dosen pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut.
Tim Ekspedisi Khatulistiwa dengan Dantim Peneliti Kapten Efendi, Dantim Penjelajah Lettu Catur WB, dan peneliti dari IPB Dr Ir Abdul Haris Mustari, beserta 25 orang melakukan kajian pada bidang kehutanan, flora dan fauna, potensi bencana dan kondisi geologi.
Selain itu mereka melakukan kajian adat istiadat Dayak Meratus pada periode 18 April sampai 6 Mei, melalui Jalur Kampung Kiyo-Datar Rampakan, Juhu-Juh Batu Sebiji-Juhu Batu Bincatan-Batu Perahu-Sumbai-dan kembali ke Kiyo.
Ekplorasi di sekitar air terjun Sungai Karo dan pendakian ke puncak Gunung Halau Halau dilakukan pada tanggal 3-4 Mei.
Kondisi vegetasi di sekitar air terjun itu termasuk hutan primer yang didominasi oleh jenis pohon Meranti Putih, Meranti Kuning, Meranti Merah, Seluang Ai dan Agathis, maka kualitas air terjun Sungai Karo sangat baik, jernih serta debitnya yang stabil sepanjang tahun.
Karena itu airnya dapat langsung diminum karena airnya jernih dan belum tercemar sama sekali.
Air Terjun Sungai Karo berpotensi dikembangkan sebagai salah satu objek wisata khususnya wisata minat khusus dan pencinta alam termasuk ‘wildlife photographers’.
Kualitas air yang sangat bagus, vegetasi hutan primer Pegunungan Meratus, kekayaan flora dan fauna serta adat istiadat Suku Dayak Meratus merupakan potensi wisata yang memiliki keunggulan komparatif.
Bagi pencinta alam atau pengunjung yang memiliki fisik yang cukup bagus, mengunjungi Air Terjun Sungai Karo dapat dirangkaikan dengan mendaki puncak Gunung Halau Halau di mana pemandangan eksotis khas Meratus dapat dijumpai di sepanjang jalan setapak menuju puncak gunung.
Jenis satwa yang dapat dijumpai di antaranya burung enggang dan undau atau owa kalawet, keduanya merupakan satwa endemik Kalimantan. Jenis tumbuhan berdiameter besar mencapai dua meter seperti berbagai jenis meranti serta tumbuhan berkhasiat obat seperti Saluang Belum, Ulur Ulur, dan Pasak Bumi, ikut memperkaya khasanah Air Terjun Sungai Karo dan Gunung Halau Halau.
Meskipun kedua lokasi itu dianggap keramat oleh penduduk lokal karena terkait dengan nenek moyang dan para Datok Dayak Meratus, namun terlebih dahulu meminta izin dan memberitahukan maksud kedatangan kepada ketua adat, sesepuh kampung, serta dengan menyertakan penduduk lokal sebagai pemandu jalan, dan dengan niat yang baik, kedua lokasi yang menarik itu dapat dikunjungi.
Selama ini hanya pencinta alam yang mengunjungi Air Terjun Sungai Karo dan Gunung Halau Halau serta beberapa turis asing yang menyukai petualangan alam Pegunungan Meratus.
Di kampung Kiyo ada lima orang penduduk asli yang dapat menjadi pemandu wisata (guide) ketika mengunjungi air terjun Sungai Karo dan Gunung Halau Halau.

Objek Petualangan
Kawasan Pegunungan Meratus baik yang berada di Kabupaten HST maupun Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) selama ini sudah menjadi primadona wisata petulangan di provinsi paling Selatan Pulau Kalimantan ini.
Karena kekhasan kawasan tersebut maka lokasi itu telah dipublikasikan secara luas ke mancanegara, kata Drs. Ahmad Arifin yang dikenal sebagai pemandu wisata senior di wilayah ini.
Ahmad Arifin yang juga mantan Staf Dinas Pariwisata Kalsel itu menuturkan hutan primer Pegunungan Meratus menyimpan banyak misteri kehidupan flora dan fauna.
Di sana terdapat ratusan spesis tanaman obat, rotan, kayu ekonomi, bahkan sekian banyak spesis anggrek.
Belum lagi begitu banyak satwa seperti owa-owa, kijang, enggang, kera hitam atau lotung, beruk, kancil dan masih banyak lagi satwa yang sulit disebutkan satu per satu.
Bukan saja flora dan faunanya, di sana juga terdapat air terjun, gua, lembah, bahkan sungai yang bisa dijadikan arung jeram.
“Dulu ada kolektor kupu-kupu dari Jepang berpetualang ke kawasan Batu Tangga HST, hanya sekedar menyaksikan begitu banyaknya spesis kupu-kupu,” kata Ahmad Arifin.
Menurut Arifin, kedatangan wisatawan ke Pegunungan Meratus biasanya melalui sistem grup yang dibawa oleh agen wisata, dan mereka memanfaatkan musim liburan di negara mereka, biasanya pada bulan Juli dan Agustus.
Wisatawan mancanegara itu, selain berpetualang berjalan kaki juga tak sedikit ingin merasakan hidup berbaur dengan warga Dayak setempat, tinggal di balai (rumah besar yang dihuni beberapa kepala keluarga).
Mereka juga ada yang suka berkemah di dalam hutan atau di lembah, gua, dan lereng gunung.
Setelah puas menjelajah hutan biasanya wisatawan menikmati arung jeram, menggunakan rakit bambu di Sungai Amandit Loksado sekaligus kembali ke kota yang seterus pulang ke negara mereka.
Walau sudah banyak wilayah hutan tropis basah Pegunungan Meratus yang dijejalahi, tetapi ditaksir masih banyak hutan primer yang belum tersentuh manusia yang mengandung misteri bagi kehidupan flora dan faunanya.
Melihat kekhasan dan aneka ragaman hayati tersebut maka wajar bila Meratus perlu dilestarikan dan hanya dikelola sebagai objek wisata petualangan.