DAS BARITO TAK SEJAYA DULU LAGI

 

barito
Oleh Hasan Zainuddin

Ekspedisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito telah usai dilaksanakan selama empat hari yang dilakukan oleh kelompok pecinta lingkungan Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) serta Balai Wilayah Sungai (BWS) II dan peneliti melakukan observasi terhadap kondisi sungai terpanjang di Kalimantan Selatan tersebut.
Selain melakukan pengamatan dan pengambilan sampel air dari DAS Barito bagian hilir hingga hulu, tim ekspedisi juga memantau daerah aliran sungai yang terkait langsung dengan sungai Barito. Anak–anak sungai, sumber mata air yang bermuara ke sungai Barito turut menjadi titik fokus dalam ekspedisi ini.
Perjalanan sejauh 500 km lebih dari Banjarmasin menuju Puruk Cahu telah dilakukan untuk melihat kondisi Sungai Barito yang berhulu di lembah Pegunungan Muller dan bermuara di Laut jawa ini.
Sungai dengan panjang 909 kilometer yang mempunyai enam anak sungai utama ini mempunyai lebar rata-rata sepanjang 600-800 meter. Sungai Barito memegang peranan besar dalam peradaban masyarakat banua, baik dari segi kebudayaan, keagamaan, hingga perekonomian. Perannya sebagai tol perairan tentu tidak dapat digerus oleh kamajuan zaman.
Namun sangat disayangkan, keadaan Sungai Barito sudah tidak sejaya masa lalunya. Deforestasi kawasan sempadan sungai, abrasi, pendangkalan, pencemaran hingga hilangnya kawasan penyangga dan penampung air Sungai Barito sudah mencapai ambang batasnya.
“Selain kondisi perairannya, tim kami juga melakukan observasi pada indikator-indikator lain yang turut mempengaruhi kondisi sungai itu sendiri. Kondisi hutan, kenanekaragaman hayatinya, hingga kehidupan masyarakat bataran sungai juga turut kami kaji” ujar Ketua Ekspedisi DAS Barito 2017, Mohammad ARY.
Hasil observasi menunjukkan bahwa keadaan sungai barito saat ini sedang kritis. Sampah, cemaran dari kegiatan industri dan pertambangan diduga menjadi penyebab memburuknya kondisi sungai barito.
Kondisi tersebut tidak hanya terjadi pada aliran utama sungai barito, melainkan sudah terjadi pada anak-anak sungai hingga sumber-sumber air yang mengairi Sungai Barito itu sendiri.
Titik pengambilan sampel pada sungai Martapura, Riam Kiwa, Riam Kanan, Hantakan, Sungai Mahe dan beberapa sungai lainnya sepanjang Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah yang menunjukkan hasil yang mencengangkan.
“Kondisi keadaan air sungai yang berwarna keruh pekat, berbau amis, hingga rasa yang telah berubah merupakan indikasi utama bahwa sungai-sungai tersebut sudah tercemar,” kata Mohammad ARY.
“Tentunya hal ini akan kami kuatkan dengan hasil laboratorium dari sampel-sampel air yang telah kami kumpulkan pada setiap titik pengamatan”, tandas Ferry Hoesain selaku penanggung jawab tim ekspedisi menjelaskan keadaan Sungai Barito yang telah memprihatinkan.
“Tak luput kami juga menghimpun berbagai data dari pemerintah daerah terkait mengenai hasil pemantauan rutin mereka terhadap kualitas air DAS barito, kami harap ini akan menjadi satu kesatuan data yang mendukung temuan kami di lapangan” tambahnya lagi.
Selain sampel air dan kondisi kawasan sempadan sungai, data mengenai indikator biologis lingkungan darat dan perairan juga merupakan data utama yang dikumpulkan oleh tim peneliti. Dalam penentuan standar baku mutu dan kualitas air yang diperoleh dari sungai, terdapat setidaknya tiga indikator utama yang harus dikumpulkan, yaitu kondisi fisik, kimiawi dan biologis.
Untuk indikator fisik dan kimiawi dapat diacu berdasarkan standar baku mutu yang telah ada, sedangkan pemantauan terhadap indikator biologis harus dilakukan dengan prosedur yang berbeda.
“Indikator biologis yang terkait dengan sungai tentu sangat banyak sehingga memerlukan fokus dan waktu yang cukup lama. Pemantauan keadaan lingkungan, seperti keadaan vegetasi, flora dan fauna yang ada disekitar kawasan DAS terlebih yang menjadi bioindikator pencemaran harus diamati sedetail mungkin” jelas Zainudin Peneliti Muda Biodiversitas Indonesia yang juga tergabung dalam tim ekpedisi.
“Spesies bioindikator inilah yang dapat memberikan penjelasan kepada kita mengenai hasil pengukuran indikator fisik dan kimiawi lingkungan perairan yang telah diperoleh sebelumnya” ujarnya menerangkan.
Sungai yang sehat tentunya tidak terlepas pengaruhnya dari lingkungan dan keadaan ekosistem disekitarnya. Sampai saat ini kondisi sungai yang tercemar tidak bisa dilepaskan oleh kegiatan manusia.
Bahkan dapat dikatakan kondisi cemaran akan bertambah tinggi seiring dengan dekatnya sungai tersebut dengan pemukiman. Sebagai pengguna nomer satu masyarakat tentunya harus sadar bahwa menurunnya kualitas air yang mereka gunakan tidak terlepas dari kebiasaan buruk mereka dalam mengolah lingkungan.
Masyarakat tentunya harus faham betul tentang betapa pentingnya peran sungai terhadap kehidupan. Dengan demikian pencemaran yang dapat memperburuk kondisi sungai dapat diminimalisir.
Peran masyarakat menjadi penentu utama dalam memperbaiki dan menjaga sungai. Sungai sebagai nadi kehidupan, jalur perkembangan peradaban, dan bukti kemajuan zaman harus menjadi nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam menumbuhkan kepeduliannya terhadap kelestarian sungai.

Usaha Ekonomi

Dalam perjalanan lima hari tim Melingai dan BWS yang tercatat 10 orang tersebut menyempatkan beraudensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Murung Raya (Mura) Kalimantan Tengah, Pujo Sarwono.
Dalam pengakuannya kepada tim bahwa Sungai Barito terutama bagian hulu sekarang sudah “sekarat” karena banyaknya digunakan oleh masyarakat untuk tempat usaha ekonomi, seperti pertambangan pasir serta pertambangan emas.
Jalur Sungai Barito Jarak antara Puruk Cahu-Sungai Kunyit dalam perjalanan sekitar tiga jam menggunakan spead boat ditemukan tak kurang dari seribu usaha ekonomi rakyat yang mengandalkan sungai tersebut.
Menurut Pujo Sarwono dengan adanya usaha ekonomi rakyat tersebut tentu telah merusak kondisi air Sungai Barito karena pasti terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia yang biasa digunakan dalam usaha pertambangan, seperti mercuri.
Kondisi itu terjadi lantaran masyarakat menilai lebih menguntungkan usaha di sungai ketimbang di darat dalam upaya mencari sesuap nasi.
Masalah usaha rakyat hanya peladang berpindah, sementara pemerintah melarang mereka membakar lahan, sementara menyadap karet belakangan hargta komoditi itu terus turun tak mencukupi kebutuhan.
Mencari kayu pun akan bermasalah dengan hukum, akibatnya mereka lari ke sungai dan “menguyak-nguyak” dasar sungai untuk mencari butiran emas.
Padahal solusinya, kata Pujo tumbuhkanlah usaha rakyat di darat, umpamanya saja jika mereka dilarang berladang berpindah, maka cetaklah persawahan lahan kering di kawasan tersebut, sepertin yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Karena di lokasi ini hanya ada lahan kering tak ada lahan basah yang bisa diolah pertanian, padahal perhitungannya takmahal hanya sekitar rp25 juta per hektare dalam upaya mencetak sawah lahan kering tersebut.
“Saya yakin jika usaha ekonomi rakyat di darat seperti bertani lahan kering ini berkembang mereka tidak akan terjun ke sungai untuk mencari sesuap nasi, akhirnya sungai bisa terpelihara,” kata Pujo Sarwono.
Dalam kegiatan yang bertajuk “Ekspedisi Susur Sungai 2017” tersebut sekaligus untuk melakukan pengukuran kualitas air terhadap beberapa sungai yanbg termasuk bagian dari aliran Sungai Barito.
Susur sungai itu sendiri berlangsung mulai Jumat (15/9) hingga Senin Malam (18/9) diikuti oleh sepuluh anggota tim yang bertugas melakukan pengukuran kualitas air dan pengamatan terhadap kondisi hutan, sungai secara ekonologi maupun morfologinya.
Hasil dari kegiatan ini sebagai bahan awal yang nantinya dibawa ke dalam forum diskusi saat Kongres Sungai Indonesia (KSI) III yang dijadwalkan berlangsung di Banjarmasin, 1-4 November 2017 nanti.
Dalam perjalanan malam dan siang tersebut dimulai dari kawasan Sungai Tapin di PipItak Jaya, sekaligus melihat kawasan pembangunan Bendungan Pipitak Jaya dan kawasan yang rencana ditenggelamkan, di wilayah Kabupaten Tapin ini.
Dalam kegiatan di kawasan ini anggota tim juga melakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air yang nantinya akan dibawa secara seksama ke laboratorium di Banjarmasin untuk mengetahui secara rinci kualitas sebenarnya.
Setelah di Pipitak Jaya tim ekspedisi melalui jalur hutan terus menuju Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan tim melakukan penjelajahan hutan di wilayah ini, selain melakukan pengukuran kualitas dan pengambilan sampel air untuk juga di bawa ke Banjarmasin.
Dalam penjelajahan di Hutan Loksado, banyak ditemukan aneka spicies tanaman khas hutan tropis basah, aneka tanaman bambu, aneka anggrek, aneka satwa termasuk beberapa katak yang terbilang langka, kata Zainuddin seorang peneliti reftil Universitas Lambung Mangkurat yang ikut dalam rombongan tersebut.
Saat di Loksado rombongan mengunjungi pemukiman Suku Dayak Loksado berbincang mengenei kehidupan mereka yang ternyata mereka cukup sejahtera dengan hasil budidaya kayu manis, kemiri, dan karet.
Setelah di Loksado tim terus meluncur tetap melalui jalan hutan ke kawasan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dalam perjalanan pun terlihat masih banyak lahan hutan yang lebat, perladangan berpindah, dan kebun-kebun rakyat.
Di Hantakan pun rombongan mnelakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air untuk diteliti lagi.
Setelah di Hantakan, tim terus ke Paringin mengambil contoh air sungai Balangan, dan terus ke Tanjung Tabalong, juga melakukan kegiatan yang sama kaitan dengan air.
Setelah ditanjung rombongan terus ke Sungai Barito Kota Muara Teweh juga mengambil samp;el air sungai setempat sekaligus menikmati wisata kampung pelangi.
Yakni kampung dengan rumah-rumah lanting di atas air yang bercat mencolok warna warni.
Selanjut ke Puruk Cahu, rombongan pun sempat beraudensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Murung raya (Mura) Kalteng pak Pujo dan memperoleh penjelasan mengenai kondisi air Sungai Barito yang menurutnya sudah mulai rusak akibat ribuan aktivitas penambangan pasir dan emas di hulu sungai tersebut.
Pak Pujo berharap pemerintah mengembangkan ekonomi rakyat di darat umpamanya mengembangkan pertanian gogo di dataran tinggi agar ekonomi rakyat meningkat sehingga mereka tidak lari untuk mencari rejeki ke sungai.
Dalam perjalanan tersebut menurut ketua tim Mohammad Ary cukup puas ada yang diperoleh sebagai gambaran di KSI nanti, dan dari itu akan ada deklarasi sungai menjadi beranda depan, dan akan memperjuangkan adanya lembaga khusus mengurusi sungai Badan Restorasi Sungai semacam Badan Restorasi Gambut.

video video bagian dari  Sungai Barito

 

 

MELINGAI DAN BWS EKSPEDISI SUNGAI

 

eksOleh Hasan Zainuddin

Banjarmasin ()- Sebuah organisasi lingkungan Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) bersama Balai Wilayah Sungai (BWS) II, melakukan penjelajahan hutan sekaligus susur sungai untuk mengetahui kondisi sebenarnya saat ini mengenai hutan dan air.

Dalam kegiatan yang bertajuk “Ekspedisi Susur Sungai 2017” tersebut sekaligus untuk melakukan pengukuran kualitas air terhadap beberapa sungai yanbg termasuk bagian dari aliran Sungai Barito, kata ketua tim kegiatan Mohammad Ary, Rabu.
Susur sungai itu sendiri berlangsung mulai Jumat (15/9) hingga Senin Malam (18/9) diikuti oleh delapan anggota tim yang bertugas melakukan pengukuran kualitas air dan pengamatan terhadap kondisi hutan, sungai secara ekonologi maupun morfologinya.
Hasil dari kegiatan ini sebagai bahan awal yang nantinya dibawa ke dalam forum diskusi saat Kongres Sungai Indonesia (KSI) III yang dijadwalkan berlangsung di Banjarmasin, 1-4 November 2017 nanti.
Dalam perjalanan malam dan siang tersebut dimulai dari kawasan Sungai Tapin di PipItak Jaya, sekaligus melihat kawasan pembangunan Bendungan Pipitak Jaya dan kawasan yang rencana ditenggelamkan, di wilayah Kabupaten Tapin ini.
Dalam kegiatan di kawasan ini anggota tim juga melakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air yang nantinya akan dibawa secara seksama ke laboratorium di Banjarmasin untuk mengetahui secara rinci kualitas sebenarnya.
Setelah di Pipitak Jaya tim ekspedisi melalui jalur hutan terus menuju Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan tim melakukan penjelajahan hutan di wilayah ini, selain melakukan pengukuran kualitas dan pengambilan sampel air untuk juga di bawa ke Banjarmasin.
Dalam penjelajahan di Hutan Loksado, banyak ditemukan aneka spicies tanaman khas hutan tropis basah, aneka tanaman bambu, aneka anggrek, aneka satwa termasuk beberapa katak yang terbilang langka, kata Zainuddin seorang peneliti reftil Universitas Lambung Mangkurat yang ikut dalam rombongan tersebut.
Saat di Loksado rombongan mengunjungi pemukiman Suku Dayak Loksado berbincang mengenei kehidupan mereka yang ternyata mereka cukup sejahtera dengan hasil budidaya kayu manis, kemiri, dan karet.
Setelah di Loksado tim terus meluncur tetap melalui jalan hutan ke kawasan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dalam perjalanan pun terlihat masih banyak lahan hutan yang lebat, perladangan berpindah, dan kebun-kebun rakyat.
Di Hantakan pun rombongan mnelakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air untuk diteliti lagi.
Setelah di Hantakan, tim terus ke Paringin mengambil contoh air sungai Balangan, dan terus ke Tanjung Tabalong, juga melakukan kegiatan yang sama kaitan dengan air.
Setelah ditanjung rombongan terus ke Sungai Barito Kota Muara Teweh juga mengambil samp;el air sungai setempat sekaligus menikmati wisata kampung pelangi.
Yakni kampung dengan rumah-rumah lanting di atas air yang bercat mencolok warna warni.
Selanjut ke Puruk Cahu, rombongan pun sempat beraudensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Murung raya (Mura) Kalteng pak Pujo dan memperoleh penjelasan mengenai kondisi air Sungai Barito yang menurutnya sudah mulai rusak akibat ribuan aktivitas penambangan pasir dan emas di hulu sungai tersebut.
Pak Pujo berharap pemerintah mengembangkan ekonomi rakyat di darat umpamanya mengembangkan pertanian gogo di dataran tinggi agar ekonomi rakyat meningkat sehingga mereka tidak lari untuk mencari rejeki ke sungai.
Dalam perjalanan tersebut menurut ketua tim Mohammad Ary cukup puas ada yang diperoleh sebagai gambaran di KSI nanti, dan dari itu akan ada deklarasi sungai menjadi beranda depan, dan akan memperjuangkan adanya lembaga khusus mengurusi sungai Badan Restorasi Sungai semacam Badan Restorasi Gambut.

WISATA KULINER TEPIAN SUNGAI MARTAPURA BANJARMASIN

Oleh Hasan Zainuddin

1

4
Tak terasa dua gelas kopi sudah habis terminum, dua bungkus kacang goreng ditambah beberapa iris kue tradisional khas Banjar “amparan tatak” pun telah habis, kini kembali lapar, ingin rasanya mengkonsumsi nasi kuning pula,kata Masran warga kota Banjarmasin saat ngobrol bersama penulis di sentra kuliner “Mandiri,” Jalan Pos Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Ngobrol di areal sentra kuliner tepian Sungai Martapura di ibukota provinsi paling selatan pulau terbesar tanah air itu, memang tak terasa waktu .
“Kita mulai ngob rol tadi dari jam 13:00 Wita, ini sudah jam 16: wita,” kata Masran lagi seraya memperlihatkan jarum jam di tangannya.
Suasana lokasi sentra kuliner “Mandiri” yang dibangun Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin melalui Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) setempat itu agaknya cocok bagi mereka yang ingin ngobrol lama.
Di bawah puluhan tenda-tenda warna warni tepian sungai dan dinaungi pepohonan yang rindang lokasi yang dulunya merupakan kawasan pasar burung tersebut merupakan ideal bagi wisatawan yang ingin berlama-lama menikmati semilirnya angin dan gemericik suara riak air sungai Martapura yang berhulu ke Pegunungan Meratus tersebut.
Apalagi lokasi itu dijual aneka makanan dan kue-kue tradisional sehingga bisa memanjakan selera makan pagi, makan siang , serta makan malam, atau sekedar mencicipi kue kecil atau aneka kue lainnya seraya menghirup panasnya kopi atau teh.
Sejauh mata memandang terlihat aneka pemandangan tepian sungai yang sudah dimodifikasi menjadi Water Front City (kota bantaran sungai) yang dibangun Pemkot Banjarmasin dengan dana ratusan miliar rupiah.
Apalagi aktivitas warga di sungai yang bermuara ke Sungai Barito tersebut menambah pemandangan yang mengusik diri untuk berlama-lama, lantaran di sungai tersebut terlihat hilir-mudiknya “klotok” semacam angkutan warga sejenis perahu bermesin, hilir-mudik di wilayah yang dikenal dengan sebutan “kota seribu sungai,” tersebut.
Klotok itu adadalah jenis angkutan kota yang ada di sungai seperti layaknya mobil angkot di daratan dengan jarak tempuh agak jauh, kemudian masih ada hilir-mudik jukung (sampan) juga angkutan untuk warga kota ke sana kemari dengan jarak pendek, ibabarat di daratan itu adalah becak.

2
Kemudian masih hilir-mudik kapal-kapal sungai yang mengangkut barang dagangan, barang pertanian, bahkan barang tambang yang menyusuri kawasan yang selama ini menjadi rute wisata susur sungai.
Wali Kota Banjarmasin Haji Muhidin saat melakukan pembukaan sentra kuliner tersebut pertengahan Juni 2014 lalu menyatakan kebanggaannya karena wilayah ini menambah perbendaharaan lokasi wisata kuliner setelah sebelumnya juga diresmikan Kota Kawasan Wisata Kuliner (KWK) Gang Pengkor Jalan Brigjen Hasan Basri.
Lokasi sentra kuliner tepian Sungai Martapura yang juga juga dikenal sebagai jalur Jalan Pos sepanjang sekitar 300 meter menghubungkan Jalan Hasanudin HM dengan jalan Sudirman dekat Jembatan Merdeka.
Menurut wali kota keberadaan sentra kuliner ini akan memperkuat posisi Kota Banjarmasin sebagai kota wisata, khususnya sebagai wilayah paiwisata perairan.
Dengan adanya lokasi tersebut akan memudahkan wisatawan yang datang ke kota berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa tersebut untuk menikmati kuliner khas setempat, seperti laksa, ketupat kandangan, nasi kuning, lupis, lontong, dan penganan 41 macam.
Selain itu juga tersedia makanan nasional, seperti nasi goreng, soto, masakan padang, masakan jawa, masakan Palembang, dan aneka makanan nusantara lainnya di sejumlah kios yang tercatat 52 buah tersebut.
“Bagi wisatawan makan di lokasi ini akan merasakan nikmatnya udara Sungai Martapura berada di pepohnan rindang, sambil menikmati pemandangan hilir mudiknya berbagai perahu dan angkutan air lainnya,” kata Muhidin.
Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata setempat, Subhan menuturkan lokasi tersebut akan dimeriahkan lagi dengan aneka atraksi wisata, seperti lomba perahu (jukung), yang akan diagendakan serta permainan jet ski.
Subhan juga merencanakan menambah atraksi wisata lainnya seperi benana boat, perahu karet, dan atraksi wisata disamping hiburan trasidional seperti musik panting atau madihin, di lokasi tersebut.
“Seberang sungai ini akan dibangun patung raksasa, berupa patung Bekantan (kera hidung panjang/ Nasalis larvatus) yang merupakan maskon fauna Kalsel, sehingga bagi yang berada di sentra kuliner ini akan bisa menikmati patung raksasa ini dari seberang sini,” kata Subhan seraya menunjuk rencana pembangunan patung bekantan itu persen seberang sungai yaitu Jalan Pire Tendean.
“Kita berharap lokasi ini menjadi ikon pariwisata, karena di seberang sungainya juga sudah ada pusat kuliner Taher Square yang akan dilengkapi dengan patung Bekantan tersebut,”kata Subhan.
Menurut Subhan sentra kuliner ini bagian rute perjalanan objek wisata air di Kota Banjarmasin , selain pasar terapung, wisata relegi masjid Raya Sabilah Muhtadin, makam habibb Basirih, masjid Sultan Suriansyah, museum Wasaka, pusat kuliner katupat, pusat pelelangan ikan, dan dermaga balaikota Banjarmasin.

klotok

klotok

Susur Sungai

Keberadaan beberapa lokasi sentra kuliner tepian sungai Martapura yang dibangun Pemkot Banjarmasin tersebut memperoleh respon positif dari Pemerintah Provinsi (Pemrov) Kalimantan Selatan.
Pemprov Kalimantan Selatan melalui instansi kepariwisataan setempat kian menggalakkan pariwisata sungai yang merupakan wisata andalan provinsi setempat yang terus dipromosikan ke dunia luar khsususnya ke manca negara.
wisata susur sungai Kota Banjarmasin dan sekitarnya merupakan yang ditonjolkan dalam memancing lebih banyak lagi kedatangan wisatawan, sekaligus memperluas posisi ibu kota provinsi tersebut sebagai wilayah kepariwisataan air.
Kepala Dinas Pariwisata Kalsel Mohandes kepada penulis menyebutkan wisata susur sungai tersebut selain menyusuri Sungai di Banjarmasin juga diarahkan ke sungai lainnya di luar Kota bahkan hingga ke Negara Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Wisata susur sungai tersebut dengan memanfaatkan kapal -kapal sungai yang dimodifikasi menjadi kapal wisata menyusuri Sungai Martapura dan Sungai Barito serta anak-anak sungai yang di wilayah Banjarmasin yang memiliki 105 buah sungai ini.
Hanya saja ia menyayangkan di Banjarmasin terdapat bangunan jembatan yang cukup rendah hingga menyulitkan lalu-lalang kapal wisata air tersebut.
“Lihat saja Jembatan Merdeka dan Jembatan Dewi, kondisinya cukup rendah hingga kalau air pasang dalam maka jembatan tersebut akan sulit dilalui kapal wisata,” kata Mohandes seraya menunjuk dua jembatan tersebut yang lokasinya tidak jauh dari peresmian pusat kuliner tersebut.
Oleh karena itu ia menyarankan bagaimana kondisi jembatan tersebut nantinya bisa ditinggikan dari kondisi sekarang agar memudahkan pengembangan wisata air tersebut.
Menurut Mohandes, kelebihan kota Banjarmasin adalah banyaknya sungai alam bukan sungai buatan yang relatif memiliki pemandangan indah di kalangan wisatawan untuk menyusurinya, Apalagi di kiri kanan sungai terdapat pemukiman penduduk dengan aneka budaya khas setempat, seperti rumah lanting, warung terapung, industri terapung, dan budaya lainnya.
Rute yang dijual dalam wisata susur sungai tersebut tentu merupakan objek andalan setempat, seperti pasar terapung, pusat perdagangan Banjarmasin, wisata kuliner soto Banjar, Pulau Kembang dengan ratusan ekor kera jinak, masjid Sultan Suriansyah, makam Ulama Basirih, masjid Raya Sabilah Muhtadin, Siring sungai, dan Museum Wasaka serta beberapa objek lagi.
Wisata susur sungai tersebut pun akan dikemas sedemikian rupa ke arah pusat cenderamata seperti kampung sasirangan yang akan diladeni oleh pemandu wisata yang berpengalaman yang bisa memberikan penjelasan mengenai kondisi kota serta aneka budayanya, kata Mohandes.
Dalam rute susur sungai itulah nantinya para wisatawan bisa singgah ke sentra-sentra kuliner dengan menikmati aneka makanan setempat, dengan demikian maka wilayah ini akan menjadi daya pikat tersendiri di mata wisatawan nusantara maupun manca negara.

5

6

JAMBAN KOMUNAL SOLUSI PENCEMARAN TINJA SUNGAI MARTAPURA

Oleh Hasan Zainuddin

jamban
Banjarmasin, 20/3 (Antara) – Kondisi air Sungai Martapura, baik di wilayah Kabupaten Banjar, maupun di wilayah Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan yang terlihat bersih tidak berarti bisa langsung dikonsumsi tanpa direbus terlebih sebab bisa-bisa terkena diare.

Masalahnya kandungan bakteri e-coli di sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus dan bermuara di Sungai Barito Kota Banjarmasin tersebut begitu tinggi setelah tercemar berat kotoran manusia (tinja).

Hal itu terjadi setelah sekian lamanya kebiasaan (budaya) masyarakat membuang air besar ke sungai, lalu bermunculanlah ratusan bahkan ribuan buah jamban terapung di sisi kanan dan kiri sungai yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat setempat itu.

Masyarakat sudah terbiasa masuk jamban lalu membuang air besar dengan mudah jatuh ke sungai, dengan mudah pula memanfaatkan air sungai untuk membersihkan badan setelah buang hajat tersebut.

“Lihat saja di tengah kota Martapura, hingga ke Desa Lok Baintan terdapat deretan jamban terapung di atas air, jumlahnya sudah mencapai 2800 buah,” kata Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Banjar, Boyke W Triestianto ST MT ketika berkunjung ke kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam, Sabtu (16/3).

Boyke mendampingi Bupati Banjar, Sultan KhairulSaleh bersama puluhan wartawan yang tergabung dalam komunitas “pena hijau” untuk melakukan penanaman bibit penghijauan di lokasi hutan lindung tersebut.

Menurut Boyke, dengan jumlah jamban terapung sebanyak itu bila satu jamban setiap harinya dipakai untuk buang air besar antara 10 hingga 15 penduduk maka kawasan tersebut setiap harinya tercemar antara 10 hingga 14 ton tinja manusia.

jamban

Itu hanya kawasan tersebut padahal jamban terapung juga terlihat dimana-mana di sungai Martapura itu, maka sudah bisa dibayangkan berapa besar pencemaran tinja terhadap lingkungan di kawasan itu, wajar bila kawasan tersebut begitu tinggi kandungan baktari e-koli.

Berdasarkan catatan, Escherichia coli, atau biasa disingkat E. coli, adalah salah satu jenis spesies utama bakteri gram negatif. Pada umumnya, bakteri yang ditemukan oleh Theodor Escherich ini dapat ditemukan dalam usus besar manusia.

Secara terpisah, Kepala Perusahaan Daerah (PD) Pengolahan Air Limbal (PAL) Banjarmasin, Muh Muhidin membenarkan kandungan baktari coli di sungai Martapura,khususnya di Banjarmasin sudah tercatat 16000 PPM, sementara batas baku mutu hanya 30 PPM, begitu tingginya pencemaran tinja di wilayah ini.

Hal itu karena kebiasaan masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Martapura membuang seenaknya tinja ke sungai, sehingga air yang mengalir ke Banjarmasin ini tercemar bakteri yang berasal tinja tersebut.

Kasus diakibatkan pencemaran e-coli, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalsel, menunjukan kasus diare terjadi pada 7,71/1000 penduduk dengan angka kematian 0,27/100.000 penduduk.

Kepala Bidang Pemantauan dan Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Daerah Pemerintah Provinsi Kalsel, Ninuk Murtini, pernah pula mengatakan mengatakan dari hasil pemeriksanaan kondisi air sungai beberapa titik hasilnya sebagian besar air sungai tercemar dengan rata-rata kandungannya di atas ambang batas.

Bukan hanya e-coli, pencemaran sungai tersebut antara lain, untuk kandungan mangan atau Mn seharusnya hanya 0,1 miligram tapi berdasarkan hasil penelitian di Sungai Barito mencapai 0,3135 miligram atau jauh di atas ambang batas.

Titik terparah berada di Sungai Barito di sekitar Pasar Gampa Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, selain itu di Hilir Pulau Kaget mencapai 0,2097 miligram dan Hulu Kuripan atau di sekitar kantor Bupati Barito Kuala mencapai 0.2029 miligram.

Menurut Ninuk pemeriksanaan tidak hanya dilakukan di Sungai Barito tetapi di sungai lainnya dengan total pengambilan sampel sebanyak 29 titik yaitu enam titik di sungai Barito, enam titik sungai Martapura dan tujuh titik di Sungai Negara.

Dengan kondisi tercemar itu,S maka bisa jadi salah satu pemicu timbulnya penyakit lainnya seperti autis, gangguan saraf, dan ginjal.
Seribu Jamban

jamban komunal

Jamban komunal
Melihat tingkat pencemaran tinja yang sudah mengancam kesehatan warga tersebut, telah melahirkan keinginan banyak pihak untuk mencarikan solusinya antara lain melalui program pembangunan jamban komunal.

Jamban komunal adalah jamban umum yang bisa digunakan secara bersama oleh warga membuang air besar, tetapi letaknya di daratan bukan di sungai, di lokasi pemukiman yang berpenduduk dengan kepadatan sedang sampai tinggi 300-500 orang per hektare.

Menurut, Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Kabupaten Banjar Boyke pihaknya sudah menganggar sejumlah dana untuk pembuatan jamban sekaligus MCK komunal di beberapa tempat.

Selain itu pihaknya juga memperoleh dana dari sumbangan pemerintah Australia sebesar Rp1,2 miliar dalam upaya penanggulangan jamban tersebut.

Pemerintah Provinsi Kalsel sendiri segera pula membangun seribu jamban di daratan untuk mengatasi masalah tingginya pencemaran bakteri e-coli yang berasal dari tinja manusia.

Wakil Gubernur Kalsel, Rudy Resnawan di Banjarmasin menyatakan selama ini pihaknya telah mengkampanyekan agar masyarakat tidak membuang air besar di sungai, tetapi kampanye tersebut belum bisa maksimal karena tidak dibarengi dengan aksi pembangunan jamban rumah tangga di daratan.

“Selama ini jamban keluarga dibangun dengan biaya masyarakat sendiri, sehingga banyak warga yang enggan untuk melaksanakan program tersebut,” katanya.

Banyaknya masyarakat yang memilih membangun jamban di atas sungai dengan biaya lebih murah tersebut, membuat pencemaran di sungai masih sulit diatasi.

Dengan demikian, tambah Wagub, pada 2013 ini Pemprov Kalsel mengalokasikan dana dari APBD sebesar Rp1,5 miliar untuk pembangunan jamban keluarga dengan harapan masyarakat tidak lagi membuang air besar di sungai.

Selain itu, jamban keluarga tersebut juga akan dilengkapi dengan pompa air, sehingga tidak ada alasan lagi bagi masyarakat tidak ada air sehingga jamban tidak bisa digunakan.

“Tidak jarang begitu dibangunkan jamban masyarakat tetap memilih ke sungai dengan alasan tidak ada air, saya harap alasan tersebut sudah tidak ada lagi,” katanya.

Program pembangunan seribu jamban ini, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjaga kesehatan masyarakat melalui minimalisasi pencemaran sungai dari bakteri yang disebabkan oleh sampah rumah tangga dan bakteri e-coli.

Sebagaimana diketahui, sungai merupakan tumpuan hidup masyarakat Banjarmasin sejak dulu hingga sekarang, hampir sebagian besar kegiatan warga Banjarmasin tidak terlepas dari sungai.

Kegiatan tersebut mulai dari mencuci, memasak, mandi, transportasi hingga kegiatan ekonomi dilakukan di sungai.

Dengan adanya program seribu jamban komunal ditambah berbagai kampanye lingkungan dan kebersihan sungai diharapkan budaya jamban yang melahirkan pencemaran bakteri e-coli di Sungai Martapura dan Barito Kalsel bisa teratasi.

MENYELAMATKAN TAHURA SULTAN ADAM SEBAGAI MENARA AIR

Oleh Hasan Zainuddin

1

penulis

riam kanan

riam kanan
Banjarmasin,18/3 (Antara)- Persoalan air minum kini menghantui warga Provinsi Kalimantan Selatan lantaran persediaan tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat wilayah tersebut.

Persoalan yang dihadapi beberapa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di wilayah Kalsel sulit mencari sumber bahan baku, andalan air baku selama ini masih terpaku pada air Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan Meratus atau wilayah Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam.

Padahal kondisi Tahura yang seluas 112 ribu hektare itu belakangan ini kian rusak saja, lantaran kebakaran hutan, dan ditengarai juga akibat adanya penebangan kayu secara liar dan usaha pertambangan ilegal, dan kegiatan pemukiman.

Bukti Tahura yang merupakan daerah resapan air tersebut sudah rusak adalah kian berkurangnya volume air yang turun dari wilayah tersebut, sehingga seringkali terjadi intrusi air laut ke Sungai Martapura sebab karena tekanan air dari atas berkurang maka air laut yang asin masuk hingga ke hulu sungai.

“Bila kadar garam air sungai Martapura di atas 200 ppm maka sulit dijadikan air bersih PDAM,” kata Direktur Utama PDAM Banjarmasin, Ir Muslih.

Bukan hanya peroalan keasinan sungai yang dihadapi perusahannya belakangan ini, karena juga tingkat kekeruhan air Sungai Martapura yang begitu tinggi lantaran partikel lumpur dalam air yang pekat menandakan air sudah tidak bersih lagi setelah adanya kerusakan kawasan di hulu sungainya.

Tingkat kekeruhan yang ideal untuk diolah menjadi air bersih hanya 50 hingga 100 per liter, tetapi hasil laboratorium ternyata air Sungai Martapura pernah mencapai 500 hingga 1000 mto, malah kasus tertinggi capai 5000 mto per liter,kata Muslih.

Akibat kerusakan hutan di hulu sungai, menyebabkan terjadi erosi dan bila terjadi hujan sedikit saja maka partikel tanah merah, pasir, dan debu dan lainnya ikut larut dan masuk ke dalam sungai terus mengalir kemuara hingga ke Banjarmasin.

Keluhan serupa bukan saja dirasakan PDAM Banjarmasin, tetapo juga PDAM di Kota Martapura Kabupaten Banjar, serta PDAM Kota Banjarbaru.

Bahkan menurut perkiraan, bila tidak ada upaya perbaikan kawasan Tahura yang dianggap sebagai wilayah menara air Kalsel itu, maka lima atau sepuluh tahun ke depan wilayah ini akan kesulitan memperoleh air bersih untuk air minum.

air

air di mandiangin Tahura

teman

bersama teman
Terjadi Kerusakan
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Sultan Adam, Akhmad Ridhani di lokasi Tahura Sabtu (16/3) mengakui lahan wilayahnya terjadi kerusakan.

Sekitar 30 persen lahan Tahura kini kritis, atau sekitar 40 ribu hektare dari luas keseluruhan 112 ribu hektare.
“Kondisi tersebut sungguh merisaukan karena itu diperlukan upaya rehabilitasi,mengingat kawasan tersebut merupakan kawasan resapan air,” katanya saat mendampingi Bupati Banjar, Sultan Khairul Saleh melakukan penanaman massal bibit penghijauan di lokasi tersebut.

Dalam penanaman bibit penghijauan Tahura tersebut selain di lakukan para pejabat lingkungan Pemkab Banjar juga melibatkan puluhan wartawan yang tergabung dalam komunitas “pena hijau.”
Menurut Ridhani jumlah lahan kritis di kawasan Tahura yang masuk wilayah Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar itu merupakan hasil pendataan yang dilakukan pada 2007.

“Hingga 2010 luasan lahan kritis yang sudah ditanami bibit pohon mencapai 100 hektare dan luasannya akan terus ditingkatkan untuk mengurangi banyaknya lahan kritis,” katanya seraya menyebutkan tanaman yang dikembangkan tersebut adalah jenis buah-buahan dan jenis kayu khas setempat, seperti ulin, kruing, sintuk dan lainnya.

Dijelaskan, terjadinya lahan kritis di kawasan Tahura bukan disebabkan penebangan liar tetapi lebih banyak akibat terjadinya kebakaran hutan sehingga membuat areal sekitarnya kritis karena tidak ditumbuhi pepohonan.

Selain akibat kebakaran hutan dan lahan, munculnya lahan kritis juga diduga pembukaan kawasan menjadi ladang dan kebun bagi sebagian masyarakat setempat untuk ditanami pohon-pohon produktif.

Dikatakannya, upaya yang dilakukan untuk mengurangi luasan lahan kritis adalah rehabilitasi lahan melalui program penanaman bibit pohon baik yang dibiayai APBD Provinsi Kalsel, APBN maupun bantuan pihak ketiga.

Pihak ketiga yang memberikan dana penghijauan di areal yang menjadi kawasan penelitian, pendidikan, dan wisata alam tersebut, selain dari donatur luar negeri juga dari berbagai perusahaan, termasuk dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Banjarmasin.

“Setiap tahun melalui APBD Kalsel dialokasi anggaran untuk rehabilitasi lahan termasuk memanfaatkan dana APBN serta menjaring bantuan dari pihak ketiga terutama kalangan swasta,” ujarnya.

Ditambahkan, penanaman bibit pohon yang dibiayai APBD Kalsel setiap tahun mencapai luasan 10 hektare dan melalui APBN berhasil ditanami bibit pohon dengan luasan mencapai 40 hektare hingga 50 hektare.

“Ke depan kami berupaya memfokuskan bantuan dari pihak ketiga sebagai bentuk partisipasi mereka terhadap upaya kepedulian lingkungan sehingga luasan lahan yang bisa ditanami lebih besar,” katanya.

Tahura Sultan Adam ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 52 Tahun 1989 seluas 112.000 Ha dan secara administratif meliputi wilayah Kabupaten Banjar dan wilayah Kabupaten Tanah Laut.

Sejak tahun 2008 telah dibentuk UPT Dinas kehutanan Provinsi Kalsel Taman Hutan Raya Sultan Adam dengan Dasar Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang SOTK Perangkat Daerah Provinsi Kalsel dan Pergub Kalsel Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Tahura Sultan Adam.

sultan 1

penanaman bibit

Tahura yang berekosistem hutan hujan tropika ini terdapat aneka flora dan fauna yang beberapa diantaranya spesifik Kalimantan, seperti meranti (Shorea spp), ulin (Eusideroxylon zwageri), kahingai (Santiria tomentosa), damar (Dipterocarpus spp.), pampahi (Ilexsimosa spp.), kuminjah laki (Memecylon leavigatum), keruing (Dipterocarpus grandiflorus), mawai (Caethocarpus grandiflorus), jambukan (Mesia sp.), kasai (Arthocarpus kemando), dan lain-lain.

Sedangkan faunanya terdapat bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates muelleri), lutung merah (Presbytis rubicunda), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang merah (Muntiacus muntjak), kijang mas (Muntiacus atherodes), dan pelanduk (Tragulus javanicus).

Kemudian juga ada hewan landak (Hystrix brachyura), musang air (Cynogale benetti), macan dahan (Neofelis nebulosa), kuau/harui (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang (Berenicornis comatus), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang bondol (Haliastur indus), raja udang sungai (Alcedo atthis), raja udang hutan (Halycon chloris), dan lain-lain
Ketika ditanya adanya pemukiman di tengah hutan lindung Tahura tersebut, Ridhani menyebutkan terdapat sekitar 7000 jiwa di 12 desa penduduk.

Menurutnya penduduk tersebut sulit direlokasi ke daerah di luar dari kawasan tersebut, masalahnya mereka sudah ada turun temurun sebelum ditetapkannnya kawasan Tahura sebagai hutan lindung.

Walau perkampungan tersebut sulit dipindahkan tetapi keberadaan penduduk dinilai tidak merusak lingkungan, bahkan dinilai masih melestarikan lingkungan dengan tidak merusak hutan.

“Agar penduduk tidak merusak lingkungan,mereka dirangkul untuk memperbaiki lingkungan, seperti mereka dibiarkan berkebun tetapi kebun yang baik untuk kawasan resapan air, seperti perkebunan buah-buahan, kebun karet, serta reboisasi hutan”, katanya.

Sudah banyak bibit pohon yang diserahkan kepada masyarakat setempat kemudian ditanam kembali ke areal kawasan tersebut yang mengalami kerusakan.

sultan Aku Bersama Sultan

Walau sebagian kecil mereka juga ada yang melakukan aktivitas pendulangan emas, tetapi skala kecil di bawah pepohonan hutan dengan lubang pendulangan hanya skala kecil pula seperti lubang hanya selebar satumeter lebih dan itu dianggap tak merusak hutan.

Di areal Tahura ini terdapat sebuah bendungan Riam Kanan seluas 5600 hektare yang sudah menjadi reservuar dan airnya menjadi tenaga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) , PLN setempat.

Melihat kondisi yang vital demikian maka tidak ada ijin untuk penebangan kayu, pertambangan, dan sejenis yang bisa merusak hutan lindung kecuali ijin wisata di sekitar Mandiangin dan itupun harus menjamin tak merusak lingkungan.

Dengan adanya upaya perbaikan di wilayah yang menjadi banyak tumpuan harapan persediaan air itu , diharapkan akan menghilangkan kekhawatiran akan kelangkaan air di masa-masa mendatang .

AIR SUNGAI KALSEL SUDAH ANCAM KESEHATAN

Oleh Hasan Zainuddin


Banjarmasin, 29/8 (ANTARA) – Air Sungai Barito dan Sungai Martapura Provinsi Kalimantan Selatan yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan warga, sekarang ini telah menjadi ancaman akibat limbah yang telah merusak kualitas air di kedua sungai tersebut.

Kondisi air tercemar logam berat dan sampah menjadi salah satu pemicu timbulnya penyakit autis, gangguan saraf, dan ginjal, kata Kepala Bidang Pemantauan dan Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Daearah (BLHD) Kalsel, Ninuk Murtini di Banjarmasin.

Hasil pemeriksanaan air di beberapa titik hasilnya sebagian besar air sungai tercemar rata-rata di atas ambang batas.

Pencemaran antara lain, kandungan mangan atau Mn seharusnya hanya 0,1 miligram tapi di Sungai Barito April 2012 mencapai 0,3135 miligram.

Titik terparah berada di Sungai Barito di sekitar Pasar Gampa Marabahan Kabupaten Barito Kuala, selain itu di Hilir Pulau Kaget mencapai 0,2097 miligram dan Hulu Kuripan atau di sekitar kantor Bupati Barito Kuala mencapai 0.2029 miligram.

Menurut Ninuk pemeriksanaan tidak hanya dilakukan di Sungai Barito tetapi di sungai lainnya dengan total pengambilan sampel sebanyak 29 titik yaitu enam titik di sungai Barito, enam titik sungai Martapura dan tujuh titik di Sungai Negara.

“Hasil dari 29 titk yang kita ambil Mn-nya berada di atas ambang batas,” katanya.

Tingginya kandungan mangan dalam air yang disebabkan aktivitas pertambangan dan alam tersebut, bila tidak dilakukan pengolahan dengan baik sebelum dikonsumsi bisa menimbulkan berbagai penyakit tersebut.

Ciri air yang mengandung mangan cukup tinggi antara lain rasanya anyir dan berbau, serta akan menimbulkan noda-noda kuning kecoklatan pada peralatan dan pakaian yang dicuci.

Meskipun ion kalsium, ion magnesium, ion besi dan ion mangan diperlukan oleh tubuh namun air yang banyak mengandung ion-ion tersebut tidak baik untuk dikonsumsi, karena dalam jangka panjang akan menimbulkan kerusakan pada ginjal, dan hati.

“Tubuh kita hanya memerlukan ion-ion tersebut dalam jumlah yang sangat sedikit sedikit sekali. Kalsium untuk pertumbuhan tulang dan gigi, mangan dan magnesium merupakan zat yang membantu kerja enzim, besi dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah,” katanya.

Bukan hanya Mangan, hampir semua ion dalam air sungai Kalsel termasuk ecoli atau coliform juga melampaui ambang batas sangat tinggi, seperti ecoli yang di antaranya berasal dari tinja manusia, seharusnya hanya 100 miligram kini mencapai maksimal 5.800 miligram.

Kondisi tersebut, menyebabkan penyakit diare, muntaber dan berbagai penyakit lainnya, yang biasanya akan terlihat dalam waktu cepat.

Sedangkan penyakit ginjal atau saraf baru bisa terdeteksi selama sepuluh tahun.

“Namun untuk air PDAM biasanya sudah dilakukan pengolahan jadi layak dikonsumsi, hanya saja biaya pengolahannya jauh lebih mahal,” katanya.

Beberapa waktu lalu Kepala Dinas Kesehatan Kalsel Drg.Rosihan Adhani,MS mengimbau warga agar tidak mengkonsumsi air begitu saja tanpa melalui proses pengolahan yang benar.

Contohnya bila air dikonsumsi tanpa proses yang baik bisa terjadi kecacatan terhadap bayi maupun warga, karena air sudah tercemar limbah pertambangan emas dan penambangan batubara skala besar di hulu-hulu sungai.

Dari hasil survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Kalsel penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat.

Hal tersebut tercermin dari masih tingginya kejadian seperti keracunan dan timbulnya penyakit yang berbasis lingkungan demikian.

Kondisi ini disebabkan masih buruknya kondisi sanitasi dasar terutama air bersih dan penggunaan jamban keluarga yang tidak memperhatikan ketentuan kesehatan.

Data survei dilakukan Dinkes, kematian bayi di Kalsel rata-rata disebabkan karena buruknya kondisi lingkungan.

Penyakit akibat faktor lingkungan tersebut diantaranya, Asma 2,5 persen, Pneumena 16,4 persen, Diare 11,4 persen, tetanus 4,7 persen, ISPA 3,9 persen, Ensefalitis 2,5 persen, Bronchitis 2,5 dan Emfisema 2,5 persen.

Sebaiknya sebelum air yang tercemar limbah tersebut di konsumsi maka terlebih dahulu di endapkan baru kemudian di rebus hingga mendidih 100 drajat celcius selama satu menit, dengan demikian diharapkan bakteri yang ada dalam air tercemar tersebut bisa mati.

Warga Banjarmasin dan warga lain di Kalsel terutama tinggal di pinggiran sungai masih sangat tergantung dengan keberadaan sungai untuk melakukan aktivitas sehari-hari baik itu, mandi, mencuci memasak dan membuang air besar.

Budaya warga yang masih banyak membuang air besar ke sungai melalui budaya jamban yang menyebabkan kandungan bakteri ecoli sangat tinggi.

Bila air yang tercemar bakteri ecoli dikonsumsi tanpa proses pemanasan yang sesuai maka bisa menimbulkan penyakit diare serta infeksi pencernaan.

Bukti demikian bisa dilihat dikala air PDAM macet pada musim kemarau dan banyak warga mengandalkan air sungai untuk makan dan minum maka akhirnya sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit diare di kota Banjarmasin.


Pencemaran Tinggi
Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Banjarmasin sendiri juga mengungkapkan akibat begitu tingginya tingkat pencemaran limbah di sungai maka kandungan oksigen dalam air Sungai Barito dan Martapura terus berkurang.

Akibat dari kandungan oksigen dalam air (DO) terus berkurang maka beberapa jenis ikan air Sungai Martapura kini menghilang.

Hasil penelitian ternyata kandungan oksigen dalam air tersebut di bawah ambang batas. Sebagai contoh saja, kandungan udara dalam air yang ideal 6 miligram (Mg) per liter, tetapi nyatanya di sepuluh titik lokasi yang diteliti kondisinya sudah memprihatinkan.

Akibatnya banyak ikan yang tidak bisa lagi bernapas lantaran oksigen yang kurang itu.

Berkurangnya oksigen tersebut tersebut karena begitu tingginya tingkat pencemaran di sungai, seperti pencemaran limbah rumah tangga, limbah industri, serta limbah alam lainnya.

Masyarakat Banjarmasin terbiasa membuang sampah ke sungai, sementara 23 industri kayu dan industri lainnya skala besar di pinggir sungai juga dinyatakan positip mencemari air dikedua sungai tersebut.

Pencemaran limbah demikian mengakibatkan limbah itu harus diproses oleh jasad organik dalam air. Jasad-jasad dalam air yang memproses limbah air tersebut ternyata memerlukan oksigen cukup besar pula akhirnya jumlah oksigen di dalam air terus berkurang.

Dampak kian berkurangnya jumlah oksigen tersebut adalah menghilangnya beberapa jenis ikan terutama ikan khas Sungai Martapura seperti kelabau, sanggang, lampam, jelawat, dan ikan puyau.

Berdasarkan penelitian tersebut kandungan oksigen di dalam air sungai yang diteliti seperti di Sungai Basirih kandungan udaranya mencapai 5,36 Mg/L, air Sungai Mantuil 5,8 Ml/L, air Sungai pelambuan 5,8 Mg/L, air Sungai Kuin Cerucuk 4,8 Mg/L, air Sungai Kayutangi 4,78,Ml/L, air Sungai Banua Anyar 4,79 Ml/L, air Sungai Bilu 5,03 Ml/L, air Sungai Baru 4,74 Ml/L, serta air Sungai Muara Kelayan 4,79 Ml/L.

Sungai-sungai kecil yang diteliti itu merupakan anak sungai Martapura, sedangkan Sungai Martapura sendiri adalah bagian dari Sungai Barito.

Selain kandungan udara yang terus berkurang ternyata kandungan besi juga ternyata terlalu tinggi, idealnya hanyalah 0,3 Ml/l.

Hasil penelitian kandungan besi yang ada seperti di sungai Basisih terdapat kandungan besi 1,1 Mg/L, air Sungai Mantuil 1,91 Mg/L, air Sungai Pelamuan 1,5 Mg/, air Sungai Suaka Insan 1,65 Mg/L, air Sungai Kuin Cerucok 2,08 Mg/L, di air Saungai Kayutangi 1,76 Mg/L, dan air Sungai banua Anyar 1,84 Mg/L.

Berdasarkan catatan lain bukan hanya kandungan besi, yang tinggi di sungai Banjamasin juga kandungan logam berat lainnya yang kalau tidak diantisipasi berbahaya bagi kesehatan, seperti kandungan tembaga, maupun kandungan timah hitam.

Melihat kondisi sungai yang demikian, maka berbagai kalangan menganjurkan agar pemerintah lebih serius menangani sungai dan membuat peraturan daerah (Perda) tentang sungai yang memberikan sanksi berat kepada warga maupun industri membuang limbah ke sungai.