Oleh Hasan Zainuddin
Mengendarai sepeda motor bersama keluarga, istri dan dua anak serta beberapa buah tas berisi pakaian dengan jarak tempuh 210 kilometer dari Banjarmasin ke kampung halaman sudah terbiasa di saat pulang mudik Lebaran.
Padahal saat balik mudik tentu sepeda motor bertambah beban, selain keluarga dan tas pakaian masih ada setandan pisang, kelapa, dan sayuran yang ikut bergelantungan.
“Kalau dipikir-pikir sebelumnya tak akan mampu mengendarai sepeda motor dengan beban seperti itu, tetapi setelah dijalani kok enteng-enteng saja,” kata Abu Mansyur penduduk Kota Banjarmasin yang pulang kampung ke Desa Panggung, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Bahkan berkendaraan sepeda motor saat-saat seperti itu, merupakan sebuah tantangan, dan keasyikan tersendiri yang menyenangkan hati, kata Abu Mansur yang mengaku setiap tahun pulang kampung tersebut.
Kebiasaan mudik lebaran menggunakan sepeda motor belakangan ini seakan menjadi trend baru, sehingga seminggu sebelum dan sesudah lebaran terlihat jalan trans Kalimantan, khususnya antara Kota Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) ke arah kawasan Banua Enam (enam kabupaten Utara Kalsel) atau yang sering disebut kawasan hulu sungai dipenuhi konvoi sepeda motor.
Apalagi jarak tempuh antara dua wilayah tersebut relatif tak jauh, paling jauh hanyalah ke Kabupaten Tabalong sekitar 250 kilometer Banjarmasin, ditambah dengan kondisi jalan yang mulus beraspal maka naik sepeda motor menjadi pilihan, dan waktu tempuh hanya beberapa jam saja.
“Ketimbang harus naik angkutan darat roda empat yang tarifnya kian mahal, dan harus berjubel pula mendingan naik sepeda motor sendiri, selain murah meriah, santai, bahkan ada rekreasinya,” kata Abu Mansyur.
Bayangkan saja bila seorang pemudik yang harus menggunakan angkutan kendaraan roda empat harus beberapa tempat dilalui, mulai dari rumah ke terminal angkutan kota dulu, dari terminal angkutan kota baru ke terminal induk.
Dari terminal induk di Banjarmasin itu bisa jadi akan beberapa kali singgah di terminal lainnya, baru sampai ke terminal tujuan di kota yang dituju.
Sampai di terminal di kota yang dituju harus mencari angkutan lagi baru sampai ke rumah, paling tidak mencari ojek, akibatnya selain menelan waktu lama biaya yang dikeluarkan sangat mahal.
Ambil contoh saja, kalau naik angkutan umum dari Banjarmasin ke desanya Panggung Kecamatan Paringin, mungkin satu orang bisa mengeluarkan dana minimal Rp75 ribu, bayangkan kalau satu keluarga empat orang berarti uang harus keluar Rp300 ribu, kalau pulang pergi berarti harus tersedia uang Rp600 ribu.
Dibandingkan kalau hanya menggunakan sepeda motor, tinggal mengisi bensin sepuluh liter Rp45 ribu itu sudah bisa pulang pergi berarti biaya yang harus dikeluarkan sangat murah, biaya lainnya bisa dipergunakan untuk bersedekah ke sanak famili di kampung, kata Abu Mansyur lagi.
Mengingat pertimbangan itulah maka berkendaraan mudik Lebaran sekarang menjadi banyak pilihan pemudik di Kalsel.
Apalagi, kata pemudik yang lain Aliansyan yang tujuannya ke Tanjung Kabupaten tabalong sejak beberapa tahun belakangan ini mentradisikan pulang lebaran berkonvoi ria.
Naik sepeda motor mudik banyak kelebihannya, antara lain pemudik tak mesti harus menjadwalkan waktu keberangkatan, bila sudah siap maka sudah bisa berangkat, baik pagi, siang, bahkan malam hari sekalipun.
Sementara kalau ingin naik angkutan darat atau angkutan sungai maka untuk jurusan tertentu biasanya ada jam tertentu pula keberangkatannya, makanya harus menyesuaikan jam keberangkatan tersebut.
Kelebihan lain kalau naik sepeda motor perjalanan bisa diatur sedemikian rupa, kalau sudah lelah bisa beristirahat dulu di kawasan tertentu yang nyaman, seperti singgah di perkebunan karet cukup beralaskan tikar seadanya maka bisa tiduran sekeluarga, setelah merasa segar lagi baru perjalanan dilanjutkan.
Kesetiakawanan
Biasanya dalam mudik Lebaran, banyak sekali yang menggunakan sepeda motor seperti muatan satu keluarga tersebut, sehingga ada perasaan kesetiakawanan antar pemudik.
Saling janjian berangkat, saling janjian lokasi istirahat, bahkan saling janjian bantu membantu bila ada persoalan di jalan menjadi sebuah ikatan antar pemudik.
“Dalam perjalanan mudik lebaran itu, biasanya ada sepeda motor pemudik yang ngadat atau mogok, maka secara bersama-sama pemudik untuk memperbaikinya, yang satu biasanya membawa peralatan kunci, yang lain membawa peralatan tambal ban, bahkan ada yang membawa pompa angin dan sebagainya,” kata Aliansyah.
Sementara Abdul Fatah seorang bujangan yang sudah membudayakan pulang kampung naik sepeda motor menyatakan rasa senangnya kalau mudik lebaran tersebut, masalahnya tambahnya biasanya ia bersama-sama teman satu kelompok tiga sampai lima orang janjian berangkat ke kampung halaman.
Tetapi dalam perjalanan mereka tak semata tancap gas menuju kampung, tetapi justru menyinggahi lokasi-lokasi objek-objek wisata yang dilalui.
“Kami biasanya sebelum sampai ke kampung di Paringin, Kabupaten Balangan menyempatkan dulu singgah ke sungai Batu Benawa untuk rekreasi, atau ke beberapa objek wisata lain,” kata Abdul Fatah.
“Biasanya dalam perjalanan singgah di hamparan pepohonan rindang sekitar Binuang, dan satu kelompok menggelar kemah dan sempat beberapa jam istirahat di sana bahkan biasanya kalau pulang lagi ke Banjarmasin singgah lagi di sana sempat saja menggelar acara masak-masak sehingga sungguh menyenangkan,” katanya.
Kalau cerita pemudik yang lain bersepeda motor karena mudah singgah dimana saja apalagi ia suka sekali dalam perjalanan melakukan ziarah ke kubur para ulama.
Makanya dalam perjalanan biasanya ia bersama keluarga mampir ziarah di beberapa kuburan yang dinilai kramat, seperti makam Datuk Kelampaian, atau yang lebih dikenal makam Syekh Muhamad Arsyad Al Banjari, atau maka ke makam guru sekumpul yang dikenal dengan makam KH Zainie Ganie.
Setelah itu, menyinggahi makam Datu Sanggul di Kabupaten Tapin, dan lokasi-lokasi ziarah lainnya, disamping singgah di masjid-masjid tua dinilai kramat untuk shalat, sehingga dalam kegiatan mudik lebaran ini tak sekedar pulang kampung tetapi ada nilai keagamaan yang diperoleh dalam tradisi tersebut, tambahnya.
Setibanya di kampung halaman lalu ingin kemana-mana lagi mengunjungi sanak famili mengucapkan selamat Lebaran menjadi mudah dengan kendaraan sendiri, tak perlu harus cari angkutan lagi.
Kian ramainya konvoi kendaraan bermotor mudik lebaran sekarang ini selain memang jalan sudah tersambung kemana-mana juga tingkat kesejahteraan masyarakat kian membaik.
Dengan tingkat kesejahteraan yang membaik sehingga sebagian besar keluarga di Kalsel belakangan ini memiliki sarana sepeda motor.
Apalagi belakangan ini berbagai dealer sepeda motor begitu kian gencarnya mempromosikan dagangannya serta mempermudah penjualan kendaraan roda dua itu dengan cara sistem kredit, tanpa uang muka pula, akhirnya jumlah kepemilikan sepeda motor warga Kalsel kian tak terbendung.
Hanya saja kendaraan yang dimiliki oleh warga Kalsel sebagian besar jenis bebek, sedikit sekali sepeda motor jenis lainnya.
Pihak Dinas Perhubungan Kalsel mengakui bahwa jumlah pemudik lebaran di wilayah Kalsel ini baik yang meninggalkan Kalsel maupun antar daerah di propinsi ini terus meningkat.
Jumlah pemudik lebaran di Kalsel per tahun diperkirakan 1,85 juta orang dan dari jumlah itu sebanyak 1,3 juta orang memanfaatkan mudik lebaran melalui jalur darat.
Dari 1,3 juta pemudik lebaran di Kalsel itu ditaksir 80 ribu orang pemudik menggunakan trend baru dengan memanfaatkan sepeda motor.
Filed under: budaya, budaya banjar, Sosial, Uncategorized | Tagged: konvoi motor mudik, lebaran kampung, mudik, mudik motor, sepeda motor untuk mudik | 1 Comment »