PROYEK “SIRING” JADIKAN BANJARMASIN METROPOLIS

Osiring21leh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 25/9 (Antara) – Dulu era tahun 80-an hingga 90-an orang dengar Kota Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, pasti bayangannya penuh dengan kekumuhan, khususnya di bantaran sungai, terutama di Sungai Martapura yang terlihat jelas di pusat kota ini.
Kesan kumuh itu bukan saja banyaknya tumpukan sampah di bantaran sungai, tetapi begitu banyak bangunan rumah pemukiman penduduk yang terbuat dari kayu beratapkan daun rumbia tak beraturan tempatnya bahkan bangunannya agak ke tengah hingga menyita kawasan sungai.
Belum lagi di sana ini terlihat rumah-rumah lanting untuk home industri dan pemukiman , jugaterdapat jamban-jamban (wc terapung), bahkan tumpukan kayu galam dan kayu gergajian di beberapa lokasi.
Tetapi sejak sepuluh tahun terakhir ini kondisi bantaran sungai tersebut berbalik 190 derajat, dimana terlihat asri,penuh dengan taman-taman dengan aneka bunga, taman bermain, pohon-pohon penghijauan, lampu-lampu hias, toilet wisata, serta aneka fasilitas wisata lainnya termasuk dermaga wisatanya.
Di lokasi itupun terdapat panggung hiburan, lokasi pasar terapung, pusat kuliner aneka khas makanan lokal seperti nasi kuning, pusat jajanan jagung bakar, dan banyak lagi kegiatan yang menggambarkan lokasi itu sebagai objek wisata di kota “seribu sungai” Banjarmasin ini.
Bahkan di lokasi bantaran sungai juga terdapat fasilitas bangunan menara pandang sehingga jika orang nasik ke menara ini akan melihat Kota Banjarmasin berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa ini dari atas.
Pemkot pun melengkapi kawasan bantaran sungai ini dengan monumen kera besar berwarna kuning kemerahan dan berbadan besar yakni monumen Bekantan (Nasalis larvatus).
Semua tersebut tercipta berkat gencarnya Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin, melalui kantor Dinas Sumber Daya Air dan Drainase (SDA) membangun proyek siring yang menjadikan kawasan tersebut menjadi wilayah “waterfront city.”
Walau kantor SDA sekarang berdasarkan aturan pemerintah hanya bidang di bawah Dinas PU, tetapi tak menurunkan semangat Pemkot untuk terus membenahi bantaran sungai melalui proyek siring.
Seperti diakui Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina saat dialog dengan penulis pada acara panderan gardu BanjarTV, pembangunan proyek siring merupakan prioritas untuk menciptakan Banjarmasin sebagai kota metpropolis.
Masalahnya, Banjarmasin tak miliki apa-apa seperti hutan, tambang, atau lahan pertanian, tapi hanya memiliki sungai, agar kota ini maju bagaimana sungai diolah untuk mendukung ekonomi masyarakat.
Dengan dasar pemikiran tersebut Pemkot Banjarmasin didukung Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Balai Besar Wilayah Sungai Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bertekad membenahi bantaran sungai menjadi wilayah waterfron city.

siring-sudirman
Waterfront city adalah konsep pengembangan kota di tepian air baik itu tepi pantai, sungai ataupun danau.
Pengertian “waterfront” dalam Bahasa Indonesia secara harfiah adalah daerah tepi laut, bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan.
Konsep waterfront city dikembangkan mengingat Kota Banjarmasin tergolong kota yang unik dibandingkan kota dimanapun, karena terdapat sungai yang membelah kota ini dengan posisi meliuk-liuk.
Berdasartkan catatan, tak kurang dari 102 sungai membelah kota seluas sekitar 98 km persegi ini, sungai-sungai tersebut merupakan anak dari dua sungai besar yakni Sungai Barito dan Sungai Martapura.
Pak Sutjiono warga Jakarta yang pernah ke Banjarmasin dalam kaitan pertemuan dengan direksi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih, Kota Banjarmasin pernah berkomentar keberadaan sungai di Banjarmasin merupakan berkah.
Menurutnya, sungai di Banjarmasin jika dipelihara selain bisa menjadi sumber air baku untuk air bersih juga menjadi lokasi wisata.
Lihat juga kota Bangkok Thailand, Hongkong, Nederland Belanda, Vinessia Italia, atau Singapura dimana sungai ditata sedemikian rupa hingga menjadi sebuah objek wisata yang menarik telah berhasil menciptakan kota tersebut sebagai kota tujuan wisata dunia.
Melihat kenyataan tersebut sebenarnya Kota Banjarmasin bisa mengejar kemajuan kota kota ternama di dunia tersebut, tentu dengan memanfaatkan sungai dengan sebaik-baiknya.
Apalagi Banjarmasin memiliki jumlah sungai yang melebihi dari kota-kota yang disebut di atas, sebenarnya memiliki kelebihan tersendiri, tinggal bagaimana pemerintah kota ini menciptakannya lebih menarik lagi.

Mulai 2008
Pembangunan proyek siring untuk mengubah bantaran sungai yang kumuh menjadi asri dan indah tersebut, menuru pak Muryanta mantan Kepala Dinas SDA yang sekarang menjadi kepala kantor perijinan Kota Banjarmasin itu, dimulai sejak jauh-jauh hari. Banjarmasin sudah memikirkan bagaimana kota ini menjadi metropolis dengan mengandalkan sungai tersebut.
Karena itu bertahap membenahi sungai,mulai dengan pembebasan beberapa lokasi bantaran sungai yang kumuh menjadi sebuah kawasan pertamanan yang indah.
“Lihat saja tepian Sungai Martapura, baik yang di Jalan Sudirman, Jalan Piere Tendean, setelah dibebaskan dari pemukiman kumuh, sekarang sudah menjadi kawasan wisata yang menarik dan menjadi ikon kota,”tuturnya.
Kawasan yang akan dijadikan proyek siring di Banjarmasin tersebut sepanjang lima kilometer, kawasan tersebut akan menjadi Water Front City.
Karena di lokasi tersebut akan ditambah dengan fasiltas perkotaan, berupa pusat kuliner, pusat cendramata, pusat informasi wisata, pusat hiburan dan kedai-kedai atau cafe kecil yang menyemakan kota ini.
Kemudian Pemkot Banjarmasin juga bertahap pembebasan tepian Sungai Kerokan, Sungai Teluk Dalam, Sungai Kuripan, Sungai Jalan Veteran dan beberapa lokasi lain yang sudah menghabiskan dana tak sedikit.
Belum lagi pembangunan fasilitas berkaitan dengan kepariwisataan sungai tersebut, seperti penataan bantaran sungai dalam upaya menciptakan keindahan itu.
Pembenahan sungai tersebut karena arah pembangunan berkelanjutan kota ini yang dicanangkan sejak tahun 2009 lalu adalah berbasis sungai.
Menurutnya karena arah pembangunan berkelanjutan berbasis sungai maka tak ada pilihan lain selain bagaimana agar sungai-sungai yang banyak membelah kota ini bisa menjadi daya tarik ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat ke depannya.
Kemudian Pemkot juga membangun sejumlah dermaga pada titik strategis menghidupkan kepariwisataan sungai tersebut.
Dermaga dimaksud juga mengembalikan kejayaan angkutan sungai Kota Banjarmasin, seperti lokasi siring sungai Jalan Tendean dan Ujung Murung.
“Kalau di Banjarmasin ini terdapat 15 jembatan berarti yang kita bangun dermaga nantinya sebanyak 15 buah,” tutur Muryanta.
Maksudnya dengan adanya dermaga dekat jembatan itu maka akan memudahkan masyarakat bepergian kemana-mana, baik melalui angkutan sungai maupun angkutan darat.
Mereka yang melalui angkutan sungai bisa singgah di dermaga dekat jembatan kemudian bepergian lagi lewat angkutan darat kemana mereka mau, dengan demikian maka menghidupkan angkutan sungai maupun angkutan darat, tambahnya.
Berkat dari upaya tersebut ternyata Banjarmasin sekarang ini sudah menjadi destinasi wisata yang diminati, bahkan tak kurang dari lima ribu pengunjung setiap minggunya mendatangi kawasan bantaran sungai yang dulu kumuh yang menjadi menjadi kawasan wisata sungai dan Pemkot Banjarmasin pun bertekad menjadi kota ini sebagai kota terindah di Indonesia.

DAS BARITO TAK SEJAYA DULU LAGI

 

barito
Oleh Hasan Zainuddin

Ekspedisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito telah usai dilaksanakan selama empat hari yang dilakukan oleh kelompok pecinta lingkungan Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) serta Balai Wilayah Sungai (BWS) II dan peneliti melakukan observasi terhadap kondisi sungai terpanjang di Kalimantan Selatan tersebut.
Selain melakukan pengamatan dan pengambilan sampel air dari DAS Barito bagian hilir hingga hulu, tim ekspedisi juga memantau daerah aliran sungai yang terkait langsung dengan sungai Barito. Anak–anak sungai, sumber mata air yang bermuara ke sungai Barito turut menjadi titik fokus dalam ekspedisi ini.
Perjalanan sejauh 500 km lebih dari Banjarmasin menuju Puruk Cahu telah dilakukan untuk melihat kondisi Sungai Barito yang berhulu di lembah Pegunungan Muller dan bermuara di Laut jawa ini.
Sungai dengan panjang 909 kilometer yang mempunyai enam anak sungai utama ini mempunyai lebar rata-rata sepanjang 600-800 meter. Sungai Barito memegang peranan besar dalam peradaban masyarakat banua, baik dari segi kebudayaan, keagamaan, hingga perekonomian. Perannya sebagai tol perairan tentu tidak dapat digerus oleh kamajuan zaman.
Namun sangat disayangkan, keadaan Sungai Barito sudah tidak sejaya masa lalunya. Deforestasi kawasan sempadan sungai, abrasi, pendangkalan, pencemaran hingga hilangnya kawasan penyangga dan penampung air Sungai Barito sudah mencapai ambang batasnya.
“Selain kondisi perairannya, tim kami juga melakukan observasi pada indikator-indikator lain yang turut mempengaruhi kondisi sungai itu sendiri. Kondisi hutan, kenanekaragaman hayatinya, hingga kehidupan masyarakat bataran sungai juga turut kami kaji” ujar Ketua Ekspedisi DAS Barito 2017, Mohammad ARY.
Hasil observasi menunjukkan bahwa keadaan sungai barito saat ini sedang kritis. Sampah, cemaran dari kegiatan industri dan pertambangan diduga menjadi penyebab memburuknya kondisi sungai barito.
Kondisi tersebut tidak hanya terjadi pada aliran utama sungai barito, melainkan sudah terjadi pada anak-anak sungai hingga sumber-sumber air yang mengairi Sungai Barito itu sendiri.
Titik pengambilan sampel pada sungai Martapura, Riam Kiwa, Riam Kanan, Hantakan, Sungai Mahe dan beberapa sungai lainnya sepanjang Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah yang menunjukkan hasil yang mencengangkan.
“Kondisi keadaan air sungai yang berwarna keruh pekat, berbau amis, hingga rasa yang telah berubah merupakan indikasi utama bahwa sungai-sungai tersebut sudah tercemar,” kata Mohammad ARY.
“Tentunya hal ini akan kami kuatkan dengan hasil laboratorium dari sampel-sampel air yang telah kami kumpulkan pada setiap titik pengamatan”, tandas Ferry Hoesain selaku penanggung jawab tim ekspedisi menjelaskan keadaan Sungai Barito yang telah memprihatinkan.
“Tak luput kami juga menghimpun berbagai data dari pemerintah daerah terkait mengenai hasil pemantauan rutin mereka terhadap kualitas air DAS barito, kami harap ini akan menjadi satu kesatuan data yang mendukung temuan kami di lapangan” tambahnya lagi.
Selain sampel air dan kondisi kawasan sempadan sungai, data mengenai indikator biologis lingkungan darat dan perairan juga merupakan data utama yang dikumpulkan oleh tim peneliti. Dalam penentuan standar baku mutu dan kualitas air yang diperoleh dari sungai, terdapat setidaknya tiga indikator utama yang harus dikumpulkan, yaitu kondisi fisik, kimiawi dan biologis.
Untuk indikator fisik dan kimiawi dapat diacu berdasarkan standar baku mutu yang telah ada, sedangkan pemantauan terhadap indikator biologis harus dilakukan dengan prosedur yang berbeda.
“Indikator biologis yang terkait dengan sungai tentu sangat banyak sehingga memerlukan fokus dan waktu yang cukup lama. Pemantauan keadaan lingkungan, seperti keadaan vegetasi, flora dan fauna yang ada disekitar kawasan DAS terlebih yang menjadi bioindikator pencemaran harus diamati sedetail mungkin” jelas Zainudin Peneliti Muda Biodiversitas Indonesia yang juga tergabung dalam tim ekpedisi.
“Spesies bioindikator inilah yang dapat memberikan penjelasan kepada kita mengenai hasil pengukuran indikator fisik dan kimiawi lingkungan perairan yang telah diperoleh sebelumnya” ujarnya menerangkan.
Sungai yang sehat tentunya tidak terlepas pengaruhnya dari lingkungan dan keadaan ekosistem disekitarnya. Sampai saat ini kondisi sungai yang tercemar tidak bisa dilepaskan oleh kegiatan manusia.
Bahkan dapat dikatakan kondisi cemaran akan bertambah tinggi seiring dengan dekatnya sungai tersebut dengan pemukiman. Sebagai pengguna nomer satu masyarakat tentunya harus sadar bahwa menurunnya kualitas air yang mereka gunakan tidak terlepas dari kebiasaan buruk mereka dalam mengolah lingkungan.
Masyarakat tentunya harus faham betul tentang betapa pentingnya peran sungai terhadap kehidupan. Dengan demikian pencemaran yang dapat memperburuk kondisi sungai dapat diminimalisir.
Peran masyarakat menjadi penentu utama dalam memperbaiki dan menjaga sungai. Sungai sebagai nadi kehidupan, jalur perkembangan peradaban, dan bukti kemajuan zaman harus menjadi nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam menumbuhkan kepeduliannya terhadap kelestarian sungai.

Usaha Ekonomi

Dalam perjalanan lima hari tim Melingai dan BWS yang tercatat 10 orang tersebut menyempatkan beraudensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Murung Raya (Mura) Kalimantan Tengah, Pujo Sarwono.
Dalam pengakuannya kepada tim bahwa Sungai Barito terutama bagian hulu sekarang sudah “sekarat” karena banyaknya digunakan oleh masyarakat untuk tempat usaha ekonomi, seperti pertambangan pasir serta pertambangan emas.
Jalur Sungai Barito Jarak antara Puruk Cahu-Sungai Kunyit dalam perjalanan sekitar tiga jam menggunakan spead boat ditemukan tak kurang dari seribu usaha ekonomi rakyat yang mengandalkan sungai tersebut.
Menurut Pujo Sarwono dengan adanya usaha ekonomi rakyat tersebut tentu telah merusak kondisi air Sungai Barito karena pasti terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia yang biasa digunakan dalam usaha pertambangan, seperti mercuri.
Kondisi itu terjadi lantaran masyarakat menilai lebih menguntungkan usaha di sungai ketimbang di darat dalam upaya mencari sesuap nasi.
Masalah usaha rakyat hanya peladang berpindah, sementara pemerintah melarang mereka membakar lahan, sementara menyadap karet belakangan hargta komoditi itu terus turun tak mencukupi kebutuhan.
Mencari kayu pun akan bermasalah dengan hukum, akibatnya mereka lari ke sungai dan “menguyak-nguyak” dasar sungai untuk mencari butiran emas.
Padahal solusinya, kata Pujo tumbuhkanlah usaha rakyat di darat, umpamanya saja jika mereka dilarang berladang berpindah, maka cetaklah persawahan lahan kering di kawasan tersebut, sepertin yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Karena di lokasi ini hanya ada lahan kering tak ada lahan basah yang bisa diolah pertanian, padahal perhitungannya takmahal hanya sekitar rp25 juta per hektare dalam upaya mencetak sawah lahan kering tersebut.
“Saya yakin jika usaha ekonomi rakyat di darat seperti bertani lahan kering ini berkembang mereka tidak akan terjun ke sungai untuk mencari sesuap nasi, akhirnya sungai bisa terpelihara,” kata Pujo Sarwono.
Dalam kegiatan yang bertajuk “Ekspedisi Susur Sungai 2017” tersebut sekaligus untuk melakukan pengukuran kualitas air terhadap beberapa sungai yanbg termasuk bagian dari aliran Sungai Barito.
Susur sungai itu sendiri berlangsung mulai Jumat (15/9) hingga Senin Malam (18/9) diikuti oleh sepuluh anggota tim yang bertugas melakukan pengukuran kualitas air dan pengamatan terhadap kondisi hutan, sungai secara ekonologi maupun morfologinya.
Hasil dari kegiatan ini sebagai bahan awal yang nantinya dibawa ke dalam forum diskusi saat Kongres Sungai Indonesia (KSI) III yang dijadwalkan berlangsung di Banjarmasin, 1-4 November 2017 nanti.
Dalam perjalanan malam dan siang tersebut dimulai dari kawasan Sungai Tapin di PipItak Jaya, sekaligus melihat kawasan pembangunan Bendungan Pipitak Jaya dan kawasan yang rencana ditenggelamkan, di wilayah Kabupaten Tapin ini.
Dalam kegiatan di kawasan ini anggota tim juga melakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air yang nantinya akan dibawa secara seksama ke laboratorium di Banjarmasin untuk mengetahui secara rinci kualitas sebenarnya.
Setelah di Pipitak Jaya tim ekspedisi melalui jalur hutan terus menuju Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan tim melakukan penjelajahan hutan di wilayah ini, selain melakukan pengukuran kualitas dan pengambilan sampel air untuk juga di bawa ke Banjarmasin.
Dalam penjelajahan di Hutan Loksado, banyak ditemukan aneka spicies tanaman khas hutan tropis basah, aneka tanaman bambu, aneka anggrek, aneka satwa termasuk beberapa katak yang terbilang langka, kata Zainuddin seorang peneliti reftil Universitas Lambung Mangkurat yang ikut dalam rombongan tersebut.
Saat di Loksado rombongan mengunjungi pemukiman Suku Dayak Loksado berbincang mengenei kehidupan mereka yang ternyata mereka cukup sejahtera dengan hasil budidaya kayu manis, kemiri, dan karet.
Setelah di Loksado tim terus meluncur tetap melalui jalan hutan ke kawasan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dalam perjalanan pun terlihat masih banyak lahan hutan yang lebat, perladangan berpindah, dan kebun-kebun rakyat.
Di Hantakan pun rombongan mnelakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air untuk diteliti lagi.
Setelah di Hantakan, tim terus ke Paringin mengambil contoh air sungai Balangan, dan terus ke Tanjung Tabalong, juga melakukan kegiatan yang sama kaitan dengan air.
Setelah ditanjung rombongan terus ke Sungai Barito Kota Muara Teweh juga mengambil samp;el air sungai setempat sekaligus menikmati wisata kampung pelangi.
Yakni kampung dengan rumah-rumah lanting di atas air yang bercat mencolok warna warni.
Selanjut ke Puruk Cahu, rombongan pun sempat beraudensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Murung raya (Mura) Kalteng pak Pujo dan memperoleh penjelasan mengenai kondisi air Sungai Barito yang menurutnya sudah mulai rusak akibat ribuan aktivitas penambangan pasir dan emas di hulu sungai tersebut.
Pak Pujo berharap pemerintah mengembangkan ekonomi rakyat di darat umpamanya mengembangkan pertanian gogo di dataran tinggi agar ekonomi rakyat meningkat sehingga mereka tidak lari untuk mencari rejeki ke sungai.
Dalam perjalanan tersebut menurut ketua tim Mohammad Ary cukup puas ada yang diperoleh sebagai gambaran di KSI nanti, dan dari itu akan ada deklarasi sungai menjadi beranda depan, dan akan memperjuangkan adanya lembaga khusus mengurusi sungai Badan Restorasi Sungai semacam Badan Restorasi Gambut.

video video bagian dari  Sungai Barito

 

 

MELINGAI DAN BWS EKSPEDISI SUNGAI

 

eksOleh Hasan Zainuddin

Banjarmasin ()- Sebuah organisasi lingkungan Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) bersama Balai Wilayah Sungai (BWS) II, melakukan penjelajahan hutan sekaligus susur sungai untuk mengetahui kondisi sebenarnya saat ini mengenai hutan dan air.

Dalam kegiatan yang bertajuk “Ekspedisi Susur Sungai 2017” tersebut sekaligus untuk melakukan pengukuran kualitas air terhadap beberapa sungai yanbg termasuk bagian dari aliran Sungai Barito, kata ketua tim kegiatan Mohammad Ary, Rabu.
Susur sungai itu sendiri berlangsung mulai Jumat (15/9) hingga Senin Malam (18/9) diikuti oleh delapan anggota tim yang bertugas melakukan pengukuran kualitas air dan pengamatan terhadap kondisi hutan, sungai secara ekonologi maupun morfologinya.
Hasil dari kegiatan ini sebagai bahan awal yang nantinya dibawa ke dalam forum diskusi saat Kongres Sungai Indonesia (KSI) III yang dijadwalkan berlangsung di Banjarmasin, 1-4 November 2017 nanti.
Dalam perjalanan malam dan siang tersebut dimulai dari kawasan Sungai Tapin di PipItak Jaya, sekaligus melihat kawasan pembangunan Bendungan Pipitak Jaya dan kawasan yang rencana ditenggelamkan, di wilayah Kabupaten Tapin ini.
Dalam kegiatan di kawasan ini anggota tim juga melakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air yang nantinya akan dibawa secara seksama ke laboratorium di Banjarmasin untuk mengetahui secara rinci kualitas sebenarnya.
Setelah di Pipitak Jaya tim ekspedisi melalui jalur hutan terus menuju Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan tim melakukan penjelajahan hutan di wilayah ini, selain melakukan pengukuran kualitas dan pengambilan sampel air untuk juga di bawa ke Banjarmasin.
Dalam penjelajahan di Hutan Loksado, banyak ditemukan aneka spicies tanaman khas hutan tropis basah, aneka tanaman bambu, aneka anggrek, aneka satwa termasuk beberapa katak yang terbilang langka, kata Zainuddin seorang peneliti reftil Universitas Lambung Mangkurat yang ikut dalam rombongan tersebut.
Saat di Loksado rombongan mengunjungi pemukiman Suku Dayak Loksado berbincang mengenei kehidupan mereka yang ternyata mereka cukup sejahtera dengan hasil budidaya kayu manis, kemiri, dan karet.
Setelah di Loksado tim terus meluncur tetap melalui jalan hutan ke kawasan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dalam perjalanan pun terlihat masih banyak lahan hutan yang lebat, perladangan berpindah, dan kebun-kebun rakyat.
Di Hantakan pun rombongan mnelakukan pengukuran kualitas air sekaligus mengambil sampel air untuk diteliti lagi.
Setelah di Hantakan, tim terus ke Paringin mengambil contoh air sungai Balangan, dan terus ke Tanjung Tabalong, juga melakukan kegiatan yang sama kaitan dengan air.
Setelah ditanjung rombongan terus ke Sungai Barito Kota Muara Teweh juga mengambil samp;el air sungai setempat sekaligus menikmati wisata kampung pelangi.
Yakni kampung dengan rumah-rumah lanting di atas air yang bercat mencolok warna warni.
Selanjut ke Puruk Cahu, rombongan pun sempat beraudensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Murung raya (Mura) Kalteng pak Pujo dan memperoleh penjelasan mengenai kondisi air Sungai Barito yang menurutnya sudah mulai rusak akibat ribuan aktivitas penambangan pasir dan emas di hulu sungai tersebut.
Pak Pujo berharap pemerintah mengembangkan ekonomi rakyat di darat umpamanya mengembangkan pertanian gogo di dataran tinggi agar ekonomi rakyat meningkat sehingga mereka tidak lari untuk mencari rejeki ke sungai.
Dalam perjalanan tersebut menurut ketua tim Mohammad Ary cukup puas ada yang diperoleh sebagai gambaran di KSI nanti, dan dari itu akan ada deklarasi sungai menjadi beranda depan, dan akan memperjuangkan adanya lembaga khusus mengurusi sungai Badan Restorasi Sungai semacam Badan Restorasi Gambut.

“MELINGAI” IKUT SELAMATKAN AIR MUKA BUMI

bumi

Oleh Hasan Zainuddin
Dengan bermandikan lumpur delapan anak muda yang tergabung dalam kelompok pencinta lingkungan, Masyarakat Peduli Sungai (Melingai), terus bekerja mengangkat sampah dan lumpur saat lomba angkat lumpur diselanggarakan Balai Wilayah Sungai (BWS) II.
Kelompok ini bergabung dengan 40 kelompok lainnya dalam kegiatan yang berlangsung di Sungai Teluk Dalam Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu, 22 Maret lalu.
“Kami tak terlalu butuh jembatan layang. Kami tidak terlalu butuh hotel mewah dan mal atau pusat perbelanjaan yang gemerlapan. Yang kami butuhkan justru sungai yang baik dengan persediaan air bersih yang cukup. Oleh karena itulah pembangunan untuk kehidupan yang sesungguhnya,” kata Zany Thalux, anggota kelompok Melingai.
“Buat apa bangunan fisik mewah kalau air bersih tidak ada sama saja dengan bunuh diri. Makanya, kami bertekad menyelamatkan persediaan air di muka bumi ini,” katanya saat diwawancarai beberapa kru televisi dari TVRI, Antaranews TV, dan BanjarTV usai lomba angkat lumpur yang dibuka Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina.
Dalam lomba angkat lumpur yang diselanggarakan BWS bekerja sama dengan Pemkot Banjarmasin, Korem 101 Antasari, dan Kodam Mulawarman itu diikuiti 400 peserta atau 40 kelompok kaitan Hari Air Sedunia ke-25. Peserta lomba terdiri atas kalangan berbagai komunitas, kelompok pencinta lingkungan, masyarakat cinta sungai, regu pemadam kebakaran, pelajar, mahasiswa, dan kelompok masyarakat lainnya.
Semangat dari pencinta lingkungan “Melingai” tersebut agaknya berasalasan karena Banjarmasin yang dikenal sebagai “kota seribu sungai” tersebut kini kondisi sungainya sudah memprihatinkan, dari 150 sungai yang ada sebelumnya tinggal 102 sungai, karena selebihnya sudah mati lantaran simentasi, terkena pengembangangan perkotaan, gulma, serta sampah rumah tangga dan limbah.
Kandungan bakteri e-coli sungai Banjarmasin yang berhulu di Pegunungan Meratus tersebut sudah sangat memprihatinkan lantaran mencapai belasan ribu PPM, idealnya kandungan bakteri tersebut di air sungai hanya 250 PPM saja.
Itu lantaran air sungai tercemar berat tinjua manusia setelah penanganan sanitasi di kota berpenduduk sekitar 800.000 jiwa itu tidak tertangani dengan baik, sementara Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah (PD Pal) hanya mampu merekrut 5 persen pelanggan dari jumlah penduduk.
Rusaknya sungai di Banjarmasin juga ditandai dengan intrusi air laut yang begitu jauh ke hulu sungai yang menandakan areal resapan air atau kesmen area di Pegunungan Meratus sudah rusak akibat penebangan kayu secara liar dan penambangan, akhirnya debet air berkurang sehingga tekanan ke hilir melemah dan tekanan air laut ke hulu sungai kian kuat.
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih Kota Banjarmasin sering kali mengeluarkan keluhan menyusul kian menyusutnya persediaan air baku untuk diolah menjadi air bersih di perusahaan tersebut.
“Dalam sejarah tak pernah air laut intrusi jauh ke hulu di Sungai Martapura yang selama ini menjadi sumber bahan baku air PDAM kami, sekarang sudah sampai ke Sungai Tabuk, padahal Sungai Tabuk adalah lokasi terbesar pengambilan air baku perusahaan kami,” kata Direktur PDAM Bandarmasih, Ir Muslih.
Kerisauan akan minimnya persediaan air tersebut terus mengemuka di kalangan masyarakat karena berdasarkan catatan jumlah air tawar di dunia ini hanya 3 persen dibandingkan air laut, dan dari 3 persen air tawar tersebut hanya 3 persen saja yang bisa dimanfaatkan untuk air minum, yakni air permukaan seperti air sungai itu.
Oleh karena itu, jika air permukaan yang berada di aliran sungai tersebut rusak, air bersih akan menjadi rebutan. Dikhawatirkan air bersih akan lebih mahal ketimbang dengan bahan bakar minyak (BBM). Dikhawatirkan pula ke depan peperangan antarnegara atau bangsa boleh jadi karena merebutkan persediaan air bersih.
Pencinta lingkungan, seperti “Melingai”, berkeinginan mempertahankan persediaan air sungai sebagai air minum itu lebih penting dari segala-galanya karena kehidupan apa pun di dunia ini ada ketergantungan pada air.
Melingai yang dibentuk oleh kalangan pencinta lingkungan di kota sungai ini tadinya hanya beberapa orang saja. Namun, sekarang makin banyak yang terlibat dalam kelompok ini yang selalu melakukan kegiatan atau aksi lingkungan setiap Sabtu atau Minggu.
Kegiatannya, antara lain, membersihkan sampah yang mengapung di sungai, membersihkan selokan dan drainase, serta penanaman pohon penghijauan di bantaran sungai, membersihkan gulma sungai, tidak kurang dari 7.000 pohon sudah ditanam, termasuk memperindah sungai-sungai kecil dengan tanaman teratai.
Dengan komitmen demikianlah, Melingai pun tak ingin ketertinggalan dalam lomba angkat lumpur yang tujuannya selain merehabilitasi sungai, juga sebagai kegiatan edukasi kepada masyarakat untuk sama-sama memelihara sungai.

Air Limbah
Pada peringatan Hari Air Sedunia kali ini bertema “Air dan Air Limbah” yang keinginannya mengajak semua pihak mempertahankan ketersediaan air dan pengelolaan air limbah secara baik sebagai investasi kehidupan ke depan.
Berdasarkan catatan, salah satu dari 17 target Sustainable Development Goals (SDG 20130) memastikan akses air bersih dan sanitasi untuk semua. Sekarang ini kelangkaan air berdampak pada 40 persen orang di seluruh dunia, lebih dari 663 juta orang hidup tanpa pasokan air bersih dekat dengan rumahnya.
Angka itu diperkirakan kian mengkhawatirkan seiring dengan kian bertambahnya penduduk bumi ini. Pada tahun 2050, penduduk bumi ditaksir sembilan miliar orang. Diperkirakan pula satu di antara empat orang akan terdampak oleh kekurangan air.
Indonesia banyak tantangan penyediaan air baku untuk air bersih dan pengelolaan air limbah, cakupan pelayanan baru sekitar 70 persen. Maka, diperlukan daya dukung air baku yang besar.
Pelayanan air minum jaringan perpiaan masih 20 persen. Itu pun sebagian besar berada di perkotaan. Kondisi ini disebabkan insfrastruktur yang ada belum dimanfaatkan secara optimal dan kurang maksimalnya pemasangan pipa distribusi dan sambungan rumah.
Kondisi diperparah adanya pencemaran air, pengelolaan daerah tangkapan air yang kurang baik, dan fenomena perubahan iklim. Perubahan iklim terbukti memengaruhi siklus air sehingga memperpanjang kemarau, meningkatnya intensitas hujan, dan menaikkan permukaan alur sehingga meningkatkan kawasan banjir dan kekeringan.
Dari sisi suplai air baku, dihadapkan tantangan degradasi DAS di daerah hulu, menurunnya debit pada sumber-sumber air, dan tingginya laju sidimentasi pada tumpungan-tumpungan air, seperti bendungan, embung, danau, dan situ.
Selain itu, kualitas air makin rendah akibat tingginya tingkat pencemaran pada sungai dan sumber-sumber air lainnya.
Melihat kenyataan tersebut sudah selayaknya seluruh masyarakat memelihara sumber-sumber air yang ada di muka bumi ini dan membentuk kelompok-kelompok kepedulian terhadap lingkungan hidup, seperti memelihara hutan sebagai kawasan resapan air, menjaga sungai sebagai tempat penyimpanan air, dan melakukan rehabiltasi melalui gerakan penanaman pohon, pembersihan sungai, hingga setidaknya ke depan mengurangi keluhan mengenai ketersediaan air bersih ini.
Melingai Kota Banjarmasin yang kini sudah beranggotakan ratusan orang selalu melakukan aksi-aksi untuk menyentuh perasaan masyarakat agar ikut berkiprah memelihara lingkungan, khususnya menjaga sungai agar tidak dikotori oleh limbah-limbah, tak membuang sampah sembarangan, jangan pula menebang pohon kawasan resapan air karena ketersediaan air bersih sebenarnya itulah pembangunan dan kehidupan yang sesungguhnya.

BERKEMAH SAMBIL NIKMATI INDAHNYA EMBUN PAGI TAHURA

Oleh Hasan Zainuddin
Tatkala membuka mata saat bangun pagi di lokasi perkemahan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam kawasan Riam Kanan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, terlihat cahaya sang surya mengintip di balik pepohonan di hutan yang memiliki “segudang” spicies tanaman ini.

Sementara gumpalan embun pagi di dedaunan pohon kawasan yang memiliki aneka spicies satwa itupun terlihat seakan “bergelinjang manja” saat tersentuh sinaran mentari pagi yang cerah.

Suara “orkestra” aneka burung dan binatang lain di kawasan seluas 112 ribu hektare kawasan Pegunungan Meratus tersebut seakan melenyapkan perasaan lelah waktu menempuh perjalanan ke kawasan itu.

“Cuaca masih terasa sangat dingin, selimut tebal masih membalut tubuhku, yang membuat ku seakan enggan beranjak dari tempat tidur di perkemahan kawasan hutan lindung tersebut,” kata Abdul Kadir seorang mahasiswa FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin jurusan sejarah ini.

Abdul Kadir yang juga bergelar Utuh Tawing ini bersama penulis dan 12 orang rombongan melakukan perkemahan di wilayah tersebut, Sabtu malam (16/7) lalu, selain menikmati suasana alam sekaligus melakukan penghijauan dengan menanam 200 bibit pohon penghijauan.

Abdul Kadir melakukan aksi hijau tersebut bersama anggota komunitas Sepeda Antik (Saban) Banjarmasin yang sekaligus pula anggota Forum Komunitas Hijau (FKH) setempat.

Rombongan datang ke lokasi yang termasuk kawasan hutan pendidikan ini hanya mengayuh sepeda tua (ontel) dengan jarak tempuh sekitar 60 kilometer dari Kota Banjarmasin, guna menunjukkan komunitas ini cinta lingkungan dengan menggunakan sarana angkutan ramah alam, untuk mengurangi produksi emisi karbon di udara dan menekan pemakaian energi yang tak bisa terbarukan.

Dalam perkemahan kelompok yang mengaku “sahabat alam” ini sempat berdikusi kecil tentang berbagai hal menyangkut kelestarian lingkungan ternasuk Tahura Sultan adam yang sebenarnya adalah kawasan “Menara Air” atau wilayah resapan air untuk sungai-sungai di wilayah paling selatan pulau trerbesar nusantara ini.

“Hutan ini terjaga, maka kehidupan kita di Banjarmasin dan sekitarnya akan terjada, tetapi jika hutan ini rusak maka tamatlah riwayat kita, karena tak akan ada lagi suplai air bersih bagi kita,” kata Zany Thaluk dalam diskusi tersebut.

Mohammad Ary yang merupakan pimpinan kelompok ini berbicara panjang lebar mengenai kelestarian lingkungan sebagai kehidupan yang berkelanjutan.

“Saat ini alam sudah rusak ditandai dengan asap, kering, kebakaran hutan saat kemarau banjir dan tanah longsor saat musim hujan, musibah itu bisa jadi akibat olah manusia-manusia sebelumnya, kita harus merehabilitasi, jika tidak maka anak cucu kita kemudian hari kian menderita,”katanya memberi wejangan.

Oleh karena, tambah Mohammad Ary, saatnya kelompok ini berkiprah walau sedikit tetapi ikut mengembalikan kerusakan alam ini, dan semoga ini menjadi motivasi bagi masyarakat luas untuk berbuat serupa.

Saban dan FKH ini sudah menanam sekitar 7000 pohon pinang, 4000 pohon trambesi, ribuan lagi kumpulan pohon aren, palam putri, palam, asam jawa, petai, jengkol pohon buah-buahan di berbagai lokasi baik di Banjarmasin dan sekitarnya sejak tujuh tahun keberadaan organisasi kecil dari kelompok pecinta liungkungan ini.

Usai diskusi di kemah dekat bibir sungai kecil di wilayah perkemahan tersebut, kelompok ini kemudian berpetulang ke tengah hutan.

“Coba kita masuk hutan, kita nikmati suasana alam di tengah kegelapan yang suasananya terdengar nyanyian suara binatang malam jangkrik dan belalang,”kata Muhammad Ari seraya mempipin perjalanan jelajah hutan tersebut.

Bermodalkan lampu sinter dan penerangan kecil di telpon genggam satu persatu lokasi hutan dan sungai dilalui, dan rombongan ingin sekali ketemu binang seperti landak, kancil, atau rusa.

Tetapi perjalanan ke hutan dimulai sekitar pukul 01:00 Wita tersebut tak berlangsung lama, karena takut ke sasar akhirnya balik ke kemah dan perasaan ingin ketemu binatang di tengah malam tak kesampaian kecuali hanya beberapa burung ditemui bertengger di dahan.
Alami Kerusakan

Tahura Sultan Adam berdasarkan catatan termasuk hutan lindung Riam Kanan, kawasan Suaka Margasatwa, dan hutan pendidikan.

Penulis sendiri beberapa waktu lalu sempat bertanya kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Sultan Adam, masih dijabat Akhmad Ridhani mengakui lahan wilayahnya terjadi kerusakan.

Sekitar 30 persen lahan Tahura kini kritis, atau sekitar 40 ribu hektare dari luas keseluruhan 112 ribu hektare.

¿Kondisi tersebut sungguh merisaukan karena itu diperlukan upaya rehabilitasi,mengingat kawasan tersebut merupakan kawasan resapan air,¿ katanya saat mendampingi Bupati Banjar, Sultan Khairul Saleh kala melakukan penanaman massal bibit penghijauan di lokasi tersebut.

¿Hingga 2010 luasan lahan kritis yang sudah ditanami bibit pohon mencapai 100 hektare dan luasannya akan terus ditingkatkan untuk mengurangi banyaknya lahan kritis,¿ katanya seraya menyebutkan tanaman yang dikembangkan tersebut adalah jenis buah-buahan dan jenis kayu khas setempat, seperti ulin, kruing, sintuk dan lainnya.

Dijelaskan, terjadinya lahan kritis di kawasan Tahura bukan disebabkan penebangan liar tetapi lebih banyak akibat terjadinya kebakaran hutan sehingga membuat areal sekitarnya kritis karena tidak ditumbuhi pepohonan.

Selain akibat kebakaran hutan dan lahan, munculnya lahan kritis juga diduga pembukaan kawasan menjadi ladang dan kebun bagi sebagian masyarakat setempat untuk ditanami pohon-pohon produktif.

Dikatakannya, upaya yang dilakukan untuk mengurangi luasan lahan kritis adalah rehabilitasi lahan melalui program penanaman bibit pohon baik yang dibiayai APBD Provinsi Kalsel, APBN maupun bantuan pihak ketiga.

Pihak ketiga yang memberikan dana penghijauan di areal yang menjadi kawasan penelitian, pendidikan, dan wisata alam tersebut, selain dari donatur luar negeri juga dari berbagai perusahaan, termasuk dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Banjarmasin.

¿Setiap tahun melalui APBD Kalsel dialokasi anggaran untuk rehabilitasi lahan termasuk memanfaatkan dana APBN serta menjaring bantuan dari pihak ketiga terutama kalangan swasta,¿ ujarnya.

Ditambahkan, penanaman bibit pohon yang dibiayai APBD Kalsel setiap tahun mencapai luasan 10 hektare dan melalui APBN berhasil ditanami bibit pohon dengan luasan mencapai 40 hektare hingga 50 hektare.

¿Ke depan kami berupaya memfokuskan bantuan dari pihak ketiga sebagai bentuk partisipasi mereka terhadap upaya kepedulian lingkungan sehingga luasan lahan yang bisa ditanami lebih besar,¿ katanya.

Tahura Sultan Adam ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 52 Tahun 1989 secara administratif meliputi wilayah Kabupaten Banjar dan wilayah Kabupaten Tanah Laut.

Sejak tahun 2008 telah dibentuk UPT Dinas kehutanan Provinsi Kalsel Taman Hutan Raya Sultan Adam dengan Dasar Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang SOTK Perangkat Daerah Provinsi Kalsel dan Pergub Kalsel Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Tahura Sultan Adam.
Kawasan Wisata

Tahura termasuk kawasan wisata dan kawasan pendidikan karena di dalamnya terdapat hutan yang mengandung aneka jenis tanaman.

Tahura yang berekosistem hutan hujan tropika ini terdapat aneka flora dan fauna yang beberapa diantaranya spesifik Kalimantan, seperti meranti (Shorea spp), ulin (Eusideroxylon zwageri), kahingai (Santiria tomentosa).

Tanaman lain damar (Dipterocarpus spp.), pampahi (Ilexsimosa spp.), kuminjah laki (Memecylon leavigatum), keruing (Dipterocarpus grandiflorus), mawai (Caethocarpus grandiflorus), jambukan (Mesia sp.), kasai (Arthocarpus kemando), dan lain-lain.

Sedangkan faunanya terdapat bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates muelleri), lutung merah (Presbytis rubicunda), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang merah (Muntiacus muntjak), kijang mas (Muntiacus atherodes), dan pelanduk (Tragulus javanicus).

Kemudian juga ada hewan landak (Hystrix brachyura), musang air (Cynogale benetti), macan dahan (Neofelis nebulosa), kuau/harui (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang (Berenicornis comatus), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang bondol (Haliastur indus), raja udang sungai (Alcedo atthis), raja udang hutan (Halycon chloris), dan lain-lain.

Wilayah ini terdapat Waduk seluas lebih kurang 8.000 Ha dengan fungsi utama sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air satu-satunya di Provinsi Kalimantan Selatan. Berperan penting sebagai pengatur tata air, mencegah erosi dan banjir, sebagai objek wisata alam, danau/waduk ini memiliki bentang alam yang menarik dengan panorama danau, lembah dan bukit disekelilingnya serta untuk kegiatan olahraga air.

Objek wisata yang ada kawasan ini antara lain Pulau Pinus
Berupa pulau seluas lebih kurang tiga hektare terletak di tengah danau dapat ditempuh lebih kurang 15 menit dari Pelabuhan Tiwingan. Pulau ini didominasi oleh tanaman Pinus Merkussi.

Kemudian juga ada objek wisata Pulau Bukit Batas kurang lebih satu hektare berdekatan letaknya dengan pulau pinus, dapat ditempuh lebih kurang 30 menit dari pelabuhan Tiwingan. Seperti halnya dengan pulau pinus, kawasan ini cocok untuk rekreasi santai dan olahraga.

Lalu ada pula air terjun Surian, air terjun Batu Kumbang, dan air terjun Mandin Sawa yang sangat menunjang kegiatan Bina Cinta Alam. Dari sungai Hanaru dapat dicapai lebih kurang dua jam dengan menelusuri sungai Hanaru atau lebih kurang tiga jam melalui jalan patroli yang sudah ada.

Air Terjun Bagugur terletak di hulu sungai Tabatan. Dari desa Kalaan dapat ditempuh lebih kurang dua jam melalui jalan reboisasi dan areal bekas perladangan berpindah.

Bumi Perkemahan Awang Bangkal seluas enam hektare terletak di daerah Awang Bangkal. Tidak jauh dari jalan raya Banjarbaru ¿ Pelabuhan Tiwingan, berada didekat sungai Tambang Baru, sehingga mudah mendapatkan air. Bentang alam dari bukit disekelilingnya serta tepian sungai Tambang Baru merupakan daya tarik tersendiri.

Pusat Pengelola/Informasi di Mandiangin di daerah Mandiangin merupakan suatu komplek bangunan yaitu kantor pusat pengelola, kantor pusat informasi sumber daya alam, plaza dan bumi perkemahan. Di areal ini terdapat prasasti peresmian berdirinya Tahura Sultan Adam dan Puncak Penghijauan Nasional (PPN) ke 29 yang ditandatangani oleh Presiden RI Bapak Soeharto.

Di lokasi ini pula pusat pengelolaan hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Unlam. Pada pengembangan selanjutnya kawasan ini dikembangkan menjadi arboretum, penangkaran satwa, taman safari, kolam renang, taman burung, bumi perkemahan dilengkapi dengan souvenir shop dan lain-lain.

 

“MELINGAI” HARAPAN BARU BAGI PELESTARIAN SUNGAI

20150901melingaigambar

 

 

 

 

Oleh Hasan Zainuddin

 

“Sangat Elok,” demikian komantar Mdnoh Rahidin, wisatawan Malaysia ketika mengunjungi Kota Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan, belum lama.

Ketika ditanya apa yang membuat wisatawan “susur galur” (mencari juriat) tersebut terpesona terhadap kota berpenduduk sekitar 800.000 jiwa dengan luas hanya sekitar 92 kilometer persegi tersebut.

Ia mengaku melihat begitu banyak sungai yang melingkar-lingkar yang membelah kota paling selatan pulau terbesar di Indonesia itu.

“Tidak ada daerah lain memiliki sebanyak sungai seperti di Banjarmasin ini. Jika sungai-sungai ini lebih ditata, kota Banjarmasin akan mengalahkan kota wisata sungai Malaysia, Malaka,” kata wisatawan yang membawa empat saudaranya mencari keluarga yang terpisah, puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun tersebut.

Pernyataan wisatawan keturunan Suku Banjar yang sejak datuk (atok) berada di Malaysia tersebut, satu di antara pernyataan “kagum” dari puluhan, bahkan ratusan pengunjung ke kota berjuluk “kota seribu sungai” (City of Thousand Rivers) Banjarmasin ini atas keberadaan sungai-sungai di kota tersebut.

Kepala Badan Perencanaan Kota (Bappeko) Banjarmasin Ir. Fajar Desira mengakui wilayah ini dialiri banyak sungai, baik sungai besar seperti Sungai Barito dan Sungai Martapura maupun sungai kecil, ditambah anak-anak sungai dan kanal.

Hanya saja keberadaan sungai-sungai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat setempat itu kini mulai rusak, tercemar gulma, tercemar sampah, pendangkalan yang hebat, bahkan penyembitan akibat perkembangan kota dan permukiman.

“Dahulu sungai di Banjarmasin jumlahnya mencapai 150 buah. Namun, hasil inventarisasi belakangan tinggal 102 buah. Sungai itu mati akibat pendangkalan dan berubah fungsi menjadi permukiman dan perkembangan kota lainnya,” kata perencana yang dikenal sebagai perancang Kota Banjarmasin tersebut.

Menurut dia, panjang sungai yang membelah dan mengaliri kota yang dikenal dengan wisata sungai “pasar terapung” tersebut mencapai 185.000 meter.

Melihat kenyataan tersebut, kata mantan Kepala Dinas PU Kota Banjarmasin itu, wajar jika arah pembangunan kota wisata sungai ini berorientasi bagaimana sungai-sungai tersebut menjadi penggerak perekonomian masyarakat.

Selain itu, sungai dikembalikan fungsinya sebagai drainase, sebagai alat transportasi, dan sarana komunikasi, terutama sebagai sarana kepariwisataan pada masa mendatang.

Untuk menjurus sebagai kota wisata tersebut, sejak 10 tahun terakhir ini sudah banyak yang dilakukan pemerintah setempat, di antaranya pembangunan siring sebagai lokai “water front City” (kota bantaran sungai), ratusan miliar rupiah sudah dikeluarkan guna mewujudkan sarana tersebut.

Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Drainase (SDA) Banjarmasin Ir. Muryanta mengatakan bahwa kota ini tidak memiliki sumber daya alam, seperti hutan dan tambang, maka pilihan penggerak ekonomi masyarakat adalah sungai-sungai tersebut.

Oleh karena itu, dibangun siring sekitar 3 kilometer dari 5 kilometer yang direncanakan di lokasi tersebut akan tersedia fasilitas taman, tempat bermain, wisata kuliner, patung bekantan, pasar terapung, kedai terapung, menara pandang (pantau), dan pusat cendera mata.

“Siring yang sedang diselesaikan menjadi 5 kilometer itu, ada wisata kuliner di kampung ketupat, ada wisata cendera mata di kampung sasirangan, ada wisata ikan di tempat pelelangan ikan,” katanya.

Muryanta menjelaskan pembangunan siring tersebut memperoleh dukungan pemerintah provinsi dan pusat seperti dari Balai Sungai Kementerian PU.

Untuk mendukung wisata sungai tersebut, kini sudah dibangun sejumlah dermaga angkutan sungai, seperti kelotok (perahu bermotor), spead boat, dan sampan (jukung), untuk memudahkan perjalanan wisata susur sungai.

Bahkan, kata Muryanta, ratusan jembatan dibuat melengkung agar di bawahnya bisa dilalui oleh perahu-perahu wisata tersebut.

Ia menilai keinginan kuat pemerintah untuk mewujudkan Kota Banjarmnasin sebagai kota wisata itu akan terwujud jika adanya dukungan seluruh masyarakat, apalagi adanya keinginan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang didukung Kementerian Pekerjaan Umum, yakni “Kemitraan Habitat,” untuk menjadikan kota ini bagaikan kota air yang terkenal, seperti di Venesia Italia.

Melingai

Untuk mewujudkan keinginan kuat pemerintah mewujudkan Kota Banjarmasin sebagai kota air, dengan segala persoalan tersebut di atas, maka diperlukan partisipasi yang nyata pula di tengah masyarakat. Pasalnya, jika keinginan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara luas, keinginan tersebut tak bakalan tercapai.

Oleh karena itulah, sejumlah organisasi masyarakat yang berorientasi lingkungan mencoba berhimpun dalam satu wadah yang mengkhususkan diri terhadap pelestarian sungai yang disebut “Melingai”.

Dinamakan “Melingai” karena itu sebuah singkatan Masyarakat Peduli Sungai. Akan tetapi, arti harfiah dari melingai itu sendiri dalam bahasa lokal (Banjar) artinya membersihkan.

Pendirian organisasi masyarakat tersebut kumpulan dari banyak organisasi masyarakat, seperti Masyarakat Pencinta Pohon, Forum Komunitas Hijau, Pena Hijau, Sahabat Bekantan Indonesia, dan organisasi lainnya, termasuk Satuan Polisi Air (Sapol Air) Banjarmasin yang pada tanggal 19 Agustus 2015 mengadakan pertemuan pertama sekaligus pembentukan pengurus yang diketuai Ferry Husain, kemudian dibantu tiga wakil ketua serta bidang-bidang.

Setelah pembentukan organisasi tersebut, langsung membuka jejaring sosial atau melalui, seperti Facebook, Twitter, dan wibe site, untuk mengimpun sukarelawan yang ingin berpartisipasi dalam pelestarian sungai tersebut.

Ternyata organisasi ini memperoleh respons positif masyarakat sehingga banyak yang menyatakan bersedia bergabung menjadi sukarelawan, yang tugasnya nanti antaranya memberikan edukasi kepada masyarakat dengan menanam pohon penghijauan di pinggir sungai, pembersihan sampah di sungai, pelepasliaran bibit ikan, penghapusan budaya jamban, dan memberikan pengertian dampak negatif perumahan yang mengancam keberadaan sungai.

Tugas lainnya Melingai adalah memberikan pengertian begitu vitalnya daerah resapan air di Pegunungan Meratus yang selama ini menjadi “Tandon Air Tawar Raksasa” yang merupakan hulu dari sungai-sungai di Banjarmasin yang harus diselamatkan dan direhabilitasi.

Aksi lapangan pertama yang dilakukan puluhan anggota Melingai pada tanggal 30 Agustus, yakni melakukan pembersihan sungai dari tumpukan sampah yang mengapung di air, sampah yang berada di daratan kawasan Pasar Terapung kompleks wisata Siring Jalan Pire Tendean.

Berdasarkan pemantauan aksi tersebut ternyata memberikan dampak positif di lokasi yang selalu memperoleh ribuan pengunjung setiap hari libur tersebut karena lokasi tersebut menjadi bersih dari sampah.

“Biasanya di lokasi ini bertaburan sampah. Akan tetapi, setelah aksi Melingai, alhamdulillah lokasi sini menjadi bersih karena para pedagang dan pengunjung dengan merasa malu sendiri tak membuang sampah secara sembarangan setelah melihat aksi Melingai,” kata Ruslan, pengunjung.
Ruslan berharap pengelola lokasi siring itu untuk menempatkan lebih banyak bak-bak sampah penampungan agar masyarakat dan pedagang tidak susah mencari bak sampah. Apalagi, bak sampah yang ada sekarang ini tidak memadai jika dibandingkan dengan luasnya lokasi tersebut.

Menurut Ferry Husain, melihat respons positif tersebut maka aksi akan terus dijadwalkan secara berkala ke berbagai sasaran dengan melibatkan lebih banyak sukarelawan. Jadwal terdekat pada tanggal 27 September 2015, pusat tetap di Siring Tendean, tetapi untuk pembersihan sampah sungai dan tempat lain untuk penanaman penghijauan pinggir sungai dan pelepasliaran bibit ikan.

Ia berharap dengan kian banyak sukarelawan, kian banyak yang akan termotivasi melestarikan sungai sehingga ke depan kota ini benar-benar menjadi kota wisata, kota budaya, dan kota perdagangan yang berbasis sungai untuk memperkuat julukan “Kota dengan Seribu Sungai.”

 

 

TAMBANG ADARO KALSEL SUGUHKAN “RACUN” ATAU “MADU”

guekolam adaro

 

 

 

 

 

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 2/3 (Antara) – Munculnya air berwarna susu di Sungai Balangan beberapa waktu lalu melahirkan aneka kecemasan di kalangan masyarakat di sekitar operasi tambang batu bara PT Adaro Indonesia di Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan.

Perubahan lingkungan air sungai yang menjadi tumpuan kehidupan ribuan masyarakat di wilayah utara Provinsi Kalimantan itu konon pertama kali dalam sejarah. Dengan serta-merta tudingan ditujukan ke perusahaan tambang pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Generasi I Nomor J2/J.I.DU/52/82 tanggal 16 November 1982 itu.

Menurut informasi keruhnya air Sungai Balangan akibat limbah tambang yang ada di tandon penampungan meluber lantaran hujan, lalu masuk masuk sungai.

Hal itu hanya salah satu tudingan miring keberadaan perusahaan emas hitam yang merupakan kontraktor dari pemerintah Indonesia. Masih ada “sejuta” persoalan lingkungan yang dilontarkan berbagai kalangan yang mengaku pencinta lingkungan terhadap perusahaan besar yang menandatangani kontrak selama 30 tahun itu.

Tudingan lain, merebaknya air limbah ke persawahan, berhamburannya debu ke udara yang konon membawa perubahan keasaman tanah lingkungan sekitar, bahkan rusaknya biota sungai serta habitat flora fauna lainnya di daratan sekitar tambang.

“Dahulu di wilayah tambang ini ada beberapa buah bukit atau gunung, menjadi lokasi bagi warga berburu rusa, kancil, atau mencari beberapa burung. Akan tetapi, sekarang sudah tidak ada lagi karena menjadi lahan tambang,” kata seorang warga.

Keluhan demi keluhan terus muncul di kalangan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan penyuplai produk tambang batu bara terbanyak di Tanah Air itu yang diyakini bakal menyuguhkan bencana besar.

Selain persoalan di atas masih ada keluhan berupa adanya peledakan-peledakan tanah oleh petugas tambang yang konon pula dipercayai akan mengubah struktur tanah yang bisa menyebabkan gempa.

Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran puluhan tandon raksasa bak “bumi menganga” di beberapa lokasi tambang perusahaan yang sudah beroperasi sejak 1992 dan pada tahun 2014 memproduksi 55.321.427 ton ini.

Belakangan tersiar kabar atau isu yang cukup “mengerutkan kening”, yakni persoalann ganti rugi lahan penduduk setempat yang dicadangkan untuk lahan tambang yang konon pula ditunggangi oleh kegiatan para “mafia” yang kesemuanya perlu penanganan dan kearifan karena hal itu bisa melahirkan konflik sosial.

Walau keluhan bertubi-tubi terus dimunculkan, tidak ada yang bisa menahan terus beroperasinya perusahaan yang dahulunya milik pemodal asing yang kini beralih ke modal nasional itu.

Buktinya setelah selesai penambangan di Kabupaten Balangan perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta ini terus merambah operasinya ke Tutupan dan Wara ke Kabupaten Tabalong, bahkan ke Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.

Terus beroperasinya pertambangan skala besar itu karena tak terbukti melahirkan apa yang dikhawatirkan tersebut.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami melakukan penambangan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan pemerintah, terutama untuk menjaga lingkungan,” kata Kepala Teknik Tambang PT Adaro Iswan Sujarwo.

Seperti dijelaskan Iswan Sujarwo yang didampingi Humas PT Adaro Kadarisman saat menerima 20 orang peserta kegiatan Jurnalistik Tambang 2015 di Kantor PT Adaro Dahai Paringin, 17–19 Februari 2015.

Tak adanya persoalan lingkungan itu setelah pihak manajemen perusahaan terus mengupayakan rehabilitasi bekas tambang, seperti reklamasi, penghijauan, dan pengolahan air limbah yang sistimatis.

Menurut dia, setiap usaha tambang yang dilakukan selalu dibarengi dengan pemikiran pengembalian lingkungan yang persis seperti asal. Maka, setiap penggalian lubang tambang, akan ada reklamasi dengan menyelamatkan tanah pucuk (top soil)
Usai penambangan, material tanah (disposal) dikembalikan, termasuk tanah pucuk (humus), sehingga areal tersebut bisa ditanami aneka tanaman penghijauan hingga alam kembali seperti sediakala (semula jadi).

“Lihat saja alam ini, ini bekas tambang,” kata Kadarismnan, Humas PT Adaro, tatkala mengajak wartawan yang tergabung dalam jurnalistik tambang tersebut ke lokasi penghijauan lokasi tambang Paringin.

Dalam pemantauan penulis lokasi bekas tambang Paringin tampak asri dengan pohon-pohon menjulang, sementara terdapat beberapa danau yang begitu jernih dan riak-riak air akibat ikan-ikan yang hidup di dalamnya.

Sementara itu, tanaman air seperti genjer, kangkung, teratai, dan keladi masih hidup dan subur di pinggiran danau yang menandakan alam itu sudah kembali seperti semula.

Beberapa wartawan yang tergabung dalam kegiatan tersebut mengaku betah berlama-lama berada di kawasan hutan hasil reklamasi tersebut sebab udaranya terasa dingin di bawah pehononan yang rindang, apalagi di lokasi itu ada sebuah bangunan pendopo konstruksi beton sebagai tempat istirahat atau pertemuan.

“Wah, asyik juga juga bertamsaya ke lokasi ini, bisa bermalam dan berkemah,” kata Fahruraji, wartawan Radio Smart FM.

Sementara itu, wartawan LPP RRI mempertanyakan kepada petugas soal kepemilikan lahan setelah usainya operasi tambang ini.

“Lahan ini kan tidak ada bertuan kan, berarti boleh dong kita minta barang sedikit,” katanya sambil bercanda.
Seorang petugas bernama Pristo Janu menuturkan bahwa lahan bekas usaha pertambangan yang sudah dikembalikan layaknya sebagai alam asal seluas 260 hektare di lokasi tambang Paringin ini.

Setelah ada pohon pelindung kini diusahakan menanam jenis tanaman hutan yang lokal.

Ia menjelaskan bahwa penghijauan kawasan itu bekerja sama dengan Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

“Kalau di areal baru reklamasi seperti di Tutupan atau di Wara Kabupaten Tabalong masih tidak mungkin langsung ditanami tanaman asal karena belum tersedia tanaman pelindung, sudah banyak dicoba di sana tetapi mati. Namun, jika sudah hijau seperti ini, tanaman asal akan hidup,” tuturnya.

Selain itu, di dua lokasi Kabupaten Tabalong itu sebagian besar masih beraktivitas tambang karena pengambilan batu bara masih berlangsung sehingga hanya sedikit yang direklamasi.

Tanaman asal tersebut seperti tanaman ulin (Eusideroxylon zwageri), meranti merah (Shorea leprosula), balangeran (Shorea balangeran), gaharu (Aquilaria malaccensis), hopea (Hopea adorata), mersawa (Anisoptera marginata), Pulai (Alstonia scholaris), Jabon (Anthoecephalus cadamba), dan Kemiri Sunan (Aleurites trisperma).

Selain sudah berkembang biaknya jenis tumbuhan juga sudah pula berdatangan aneka satwa karena tersedianya air untuk minum dan makanan bagi satwa-satwa tersebut.

“Berdasarkan penelitian kini sudah hidup 76 spesies burung. Mereka mengonsumsi buah-buahan dan nektar dari bunga-bunga pohon sehingga suasana alam ditandai alunan simponi burung-burung tersebut,” tutur Pristo Janu.

Semua kegiatan pengembalian alam lingkungan ini sejak Juni 2009 sampai dengan sekarang, seperti vegetasi, pola perlakuan vegetasi, pembuatan desain penelitian uji jenis dan penanaman pengayaan, penanaman pada plot uji jenis, pengamatan uji jenis, dan penyulaman tanaman.

Untuk melakukan penghijauan ini, PT Adaro juga memiliki lahan pembibitan di kawasan tambang Tutupan dengan luas sekitar 2 hektare dengan kapasitas sekitar70.000–130.000 bibit dengan produksi rata-rata sekitar 10.000–30.000 bibit per bulan.

Dipembibitan ini aneka jenis tanaman dibibitkan, seperti tanaman akasia, durian, pinus, cempedak, angsana, nyamplung, albazia/sengon, ramania, pioner, jambu air, mahang, flamboyan, bambu, kasturi, sungkai (lurus), kemiri, halaban, spatudea, cemara, daun salam, kayu manis, dan lamtoro.

Kemudian, kayu galam, eukalyptus, jeruk, kaliandra, nangka, gulinggang, cery, gamal, asam jawa, turi, pinang, johar, sunan, jati putih/gmelina, kopi, jarak, rambutan, kayu hutan, kepu, kelapa sawit, kupang, meranti, sirsak , ketapang, eboni, terembesi, pongamia gaharu, sukun , mahoni, kesambi, waru, kayu putih, pulai, mangga, dan paku-pakuan.

Air Limbah

Seorang karyawati berseragamkan pakaian perusahaan tampak tidak canggung menenggak segelas air putih yang ngocor di keran sebuah penampungan air hasil olahan dari air bekas tambang untuk mengobati dahaganya.

“Silakan minum,” kata karyawati tersebut ketika menyambut kedatangan wartawan yang berkunjung ke lokasi ini.

“Ini aman dan sehat,” katanya lagi seraya mengambilkan beberapa gelas kepada wartawan yang ikut dalam kegiatan jurnalistik tambang.

Berdasarkan pemberitaan sebelumnya pengolahan air bersih di lokasi tambang ini dinamakan Water Treatment Plant (WTP) T-300 ini diresmikan Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Selasa, 2 Juni 2013.

Berdasarkan pemberitaan tersebut, Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin menghadiri peresmian pemakaian WTP ini. Waktu itu Gubernur mengungkapkan bahwa ini adalah langkah yang baik dari Adaro, yang memanfaatkan lahan bekas tambang untuk menampung air hujan dan air limbah sebelum diolah agar sesuai baku mutu untuk dialirkan ke sungai.

“Volume airnya amat besar dan ini menjadi sumber yang baik untuk masyarakat,” katanya waktu itu.

Pada acara tersebut, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya mengungkapkan bahwa hal itu memang menjadi kewajiban perseroan untuk memastikan tersedianya air bersih untuk warganya.

“Jadi, perusahaan tidak melulu memikirkan soal untung, tetapi juga soal sosial dan kelestarian alam,” ujarnya.

Menurut seorang petugas WTP Norvie Yudi kepada wartawan tim jurnalistik tambang bahwa keberadaan WTP sangat membantu karyawan dan masyarakat untuk kebutuhan air bersih yang kapasitasnya mencapai 20 liter per detik.

Air bersih tersebut, kata dia, disuplai ke berbagai warga lingkungan tambang yang kesulitan air bersih sehingga warga benar-benar terbantu. Sebanyak 650 kepala keluarga (KK) telah memperoleh suplai air bersih secara cuma-cuma selama 24 jam dengan sistem jaringan pipanisasi.

Hal tersebut dibenarkan Kepala Desa Dahai Muhamad Yusuf yang diakuinya warga selalu memperoleh air bersih dari PT Adaro. Bagi mereka, hal itu merupakan berkah yang bisa dirasakan keberadaan perusahaan.

“Wilayah kami memang sulit air bersih karena jauh dari sungai, sementara air tanah selain sulit dicari. Seandainya ada, kualitasnya juga takbersih. Oleh karena itu, sumbangan perusahaan kepada warga sangat disyukuri,” katanya kepada para wartawan jurnalistik tambang yang datang bukan saja dari Banjarmasin, melainkan juga dari Kalimantan Tengah.

Ia mengatakan bahwa air dari perusahaan tersebut tidak saja untuk mandi dan cuci, tetapi juga menjadi air minum.

“Selama ini, tidak ada masalah, berarti air tersebut sehat saja,” kata Muhamad Yusuf.

Dalam upaya mengolah air limbah bekas tambang itu, bukan saja langsung dibuat air bersih, melainkan juga tidak sedikit diolah lagi dengan sistematis sesuai dengan teknik pengendalian limbah oleh manajemen perusahaan anak usaha PT Adaro Energy Tbk., yakni PT Adaro Indonesia.

Hal itu dengan membuatkan beberapa tandon raksasa sebagai penampungan air limbah, seperti tandon pertama, tandon kedua, dan tandon seterusnya hingga tandon terakhir.

“Pada tandon terakhir inilah air diolah hingga jika air dilepas ke sungai sudah tak memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Misalnya, menurunkan tingkat keasaman air ke titik normal,” kata Humas Adaro Kadarisman yang didampingi anggota Humas lainnya Iksan.

Untuk memastikan air limbah tersebut tak berbahaya, di beberapa tandon diujicobakan budi daya udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan ikan nila BEST (Bogor Enhanced Strain Tilapia).

Upaya budi daya air bekas galian tambang itu hasil kerja sama dengan LIPI Limnologi Cibinong Bogor. Upaya ini adalah untuk memberikan sesuatu yang terbaik kepada masyarakat sekitar tambang sebagai salah satu program pascatambang melalui usaha perikanan.

Berdasarkan hasil analisis daging udang dan ikan nila, BEST dinyatakan layak dan aman untuk dikonsumsi berdasarkan baku mutu yang mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan.

Melihat kenyataan tersebut, sulit dikatakan jika operasi pertambangan yang memperkerjakan 23.212 orang ini tidak memperhatikan lingkungan, apalagi semuanya bebas diawasi oleh siapa pun, termasuk wartawan. Tampaknya tidak ada yang ditutup-tutupi.

Usaha tambang dengan subkontraktor lebih dari 170 perusahaan didukung 70 persen perusahaan yang berasal dari sekitar wilayah operasi ini juga sudah pula memberikan berkah bagi masyarakat sekitar tambang melalui dana CSR untuk konservasi hutan, budi daya perikanan
ekonomi, irigasi perikanan, pertanian, sosial, pendidikan, wisata, olahraga, budaya–seperti pengembangan kesenian daerah–, dan keagamaan, serta aneka kegiatan masyarakat.

Memang cukup sulit menghitung berapa banyak dana yang dikeluarkan perusahaan penyuplai batu bara PLTU Pulau Jawa dan Bali ini untuk kebutuhan CSR.

“Wah, cukup banyak, kan sudah lama perusahaan ini beroperasi,” kata Manager Corporate Social Responsibility (CSR) Idham.

Ia meminta jangan dilihat berapa nilai yang dikeluarkan perusahaan untuk CSR. Akan tetapi, seberapa jauh dampak CSR teradap kemajuan masyarakat.

Berdasarkan informasi sudah ribuan pelajar dan mahasiswa yang memperoleh beasiswa perusahaan, sudah begitu banyak sarana olahraga, tempat ibadah, dan sarana lainnya memperoleh perbaikan melalui CSR, termasuk bantuan bibit tanaman karet dan tanaman kebun buah-buahan lainnya.

Memang sulit untuk menghitung keuntungan masyarakat terkait dengan kehadiran perusahaan yang menghasilkan batu bara jenis Envirocoal yang dipasarkan ke 18 negara ini sebab selain SCR, juga ada kontribusi pajak, kemudian berupa royalti yang dikelola pemerintah pusat, kemudian setelah dibagi sebagian kembali ke daerah ini. Anggaran itu tentu jumlahnya sangat besar.

Bukti lain yang bisa menggambarkan keuntungan daerah terkait dengan kehadiran perusahaan ini adalah kemajuan pembangunan wilayah Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tabalong, khususnya Kota Paringin dan Kota Tanjung, yang melebihi kemajuan kota lainnya di 13 kabupaten dan kota lain di wilayah ini.

Kemajuan itu tak dipungkiri pula oleh siapa pun bahwa semuanya berkat kehadiran perusahaan ini.

Walau kontribusi perusahaan terhadap daerah tak dipungkiri begitu besar, sebagian warga masih merasa belum puas. Pasalnya, kalau melihat Undang-Undang Dasar Pasal 33 sumber daya alam dikelola negara untuk kesejahteraan masyarakat, menurut mereka, rasanya belum seimbang dengan berapa banyak produksi batu bara yang sudah keluar dari perut bumi daerah ini.

“Susah membayangkan berapa banyak uang hasil tambang sejak operasi 1992 hingga 2015. Produksinya sudah mencapai 55 juta per tahun yang 2015 ini ditargetkan 65 juta ton. Kalau itu untuk kesejahteraan, tentu masyarakat sudah sejahtera. Akan tetapi, kenyataannya masih banyak warga sekitar tambang yang miskin,” kata seorang warga.

Oleh karena itu, disarankan agar perusahaan tidak sekadar menghadiahkan royalti, pajak, dan CSR, tetapi hendaknya ada ketentuan lagi yang mewajibkan sebagian keuntungan perusahaan harus dikembalikan kepada masyarakat wilayah ini.

Bila kehadiran perusahaan sudah benar-benar memberikan kesejahraan kepada masyarakat, anggapan PT Adaro hanyalah menghadirkan “racun” akan berubah pandangannya hingga memunculkan anggapan kehadirannya menyuguhkan “madu”.

 

HARGA KARET ANJLOK DAN PETANI KALSEL PUN MENJERIT

KARET

 

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 28/9 (Antara)- Anjloknya harga karet belakangan ini melahirkan kerisauan di kalangan petani Kalimantan Selatan, termasuk di Kabupaten Kabupaten Balangan.

Muhamad (25) petani karet desa Maradap, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan, mengakui akibat turunnya harga komoditas tersebut pendapatan petani juga anjlok.

Bayangkan saja harga karet jenis lum, saat normal antara Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per kilogram, sementara harga berlaku sekarang yang dibeli kalangan pedagang pengumpul yang datang ke kampung-kampung hanya antara Rp4 ribu-Rp5 ribu saja per kilogram.

Rendahnya harga karet tersebut melemahkan semangat kalangan petani setempat untuk mengembangkan lahan kebun karet lebih luas lagi, padahal belakangan kegairahan berkebun karet telah hidup di wilayah kaki Pegunungan Meratus tersebut.

“Kita berharap harga karet kembali membaik, seperti sedia kala agar petani kembali bergairah,” katanya.

Ia mengkhawatirkan turunnya harga karet tersebut lantaran permainan spekulan atau para pedagang pengumpul yang bersekongkol dengan para pengusaha pabrikan. Sebab, kabar yang ia peroleh harga karet tersebut ternyata cukup baik di daerah lain, seperti di Kalimantan Tengah atau bagian Indonesia lain.

Menurut dia, bila harga turun tersebut berlangsung lama dikhawatirkan akan menambah kemiskinan di kalangan penduduk Kabupaten Balangan yang merupakan wilayah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) tersebut.

Sebab, katanya, harga berbagai kebutuhan pokok di kawasan tersebut begitu mahal, harga gula pasir saja tercatat Rp15 ribu per kilogram, sehingga harga karet yang anjlok tak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari.

Belum lagi harga beras, ikan, dan kebutuhan lainnya terus melambung yang semua itu terus memberatkan petani setempat.

Kerisauan tentang anjloknya harga karet tersebut hampir merata di kalangan penduduk yang meyoritas berkebun karet itu.

Oleh karena itu berbagai saran dan pendapatpun bermunculkan menanggapi turunnya harga barang dagangan ekspor andalan Indonesia tersebut.

Seperti diutarakan Kadir (40) penduduk Desa Panggung, Paringin Selatan ini yang berharap adanya semacam badan atau lembaga yang bisa menjadi penyangga produksi karet alam.

Harga yang berfluktuasi yang begitu tajam belakangan ini sangat merugikan petani karet, dan karena itu diperlukan badan atau lembaga penyangga agar harga bisa stabil, kata Kadir, tokoh masyarakat yang sering disebut Bapak Anum ini.

Ia sendiri mengaku sangat sedih melihat kondisi petani karet belakangan ini yang selalu terombang-ambing oleh fluktuasinya harga karet.

Dengan harga yang turun naik begitu tajam membuat petani menjadi bingung, dan bahkan tidak sedikit ingin berpaling ke usaha lain.

Alasan mereka karet yang tadinya sebuah usaha menjanjikan kini dinilai sebuah usaha yang mengancam kehidupan, karena dengan harga semurah itu maka hasil yang diperoleh petani tidak akan sebanding dengan harga kebutuhan yang lain.

“Bayangkan saja harga satu kilogram gula pasir Rp15 ribu poer kilogram, bila harga karet hanya Rp5 ribu per kilogram berarti untuk memperoleh satu kilogram gula pasir harus menghasilkan tiga kilogram karet,” kata Kadir.

Oleh karena itu, Kadir berharap pemerintah turun tangan mengatasi harga karet tersebut, dengan membentuk sebuah badan atau lembaga semacam Depot Logistik (Dolog) yang mampu menyangga produksi beras petani.

Sebab, katanya, bila harga karet membaik maka usaha lain seperti industri rumah, bertani sawah, petambak ikan, dan usaha lainnya juga ikut bergairah karena warga punya uang dan mampu membeli produksi usaha lainnya tersebut.

Melalui badan atau lembaga, baik yang didirikan tersendiri oleh pemerintah, atau melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau di bawah departemen Perdagangan akan mempu menjaga harga karet.

Melalui badan atau lembaga tersebut, bila membeli karet petani dengan harga wajar, kemudian badan atau lembaga tersebut bisa mendirikan pabrik karet di lokasi sentra perkebunan.

Dengan demikian maka karet alam petani tidak lagi dikuasai oleh sekelompok pengusaha yang memiliki “kaki-tangan” seperti para pedagang pengumpul yang datang ke kampung-kampung.

Kelompok pengusaha dan kaki tangan serta para tengkulak itu yang selama ini mempermainkan harga karet petani, sehingga petani benar-benar tak berkutik dan pasrah menghadapi keadaan dengan anjloknya harga karet tersebut.

Menurut Kadir melalui badan yang dikelola pemerintah tersebut pula kalau perlu merubah kebiasaan hanya mengekspor karet mentah keluar negeri, tetapi menciptakan industri yang berbahan baku karet seperti ban kendaraan di dalam negeri.

Kemudian ban kendaraan tersebut yang diekspor sehingga memiliki nilai tambah yang berlipat ganga dibandingkan hanya ekspor karet mentah.

Apalagi luasan kebun Kalsel begitu memadai untuk menciptakan industri berbahan baku karet di wilayah ini.

Produsen baru

Seorang pemerhati perkaretan Indonesia Asril Sutan Amir menilai munculnya beberapa negara produsen baru di dunia menyebabkan harga karet dunia belakangan ini menjadi anjlok.

Dengan munculnya negara-negara produsen baru yang memiliki kebun karet cukup luas menyebabkan prouksi karet dunia melimpah akhirnya harga turun, kata Asril Sutan Amir yang dikenal sebagai mantan Ketua Gabungan Pengusaha Pabrik Karet Indonesia (Gabkindo) saat berada di Banjarmasin.

Asril Sutan Amir yang kini menjadi penasehat organisasi Gabkindo tersebut menyebutkan negara produsen baru tersebut, seperti Laos, Vietnam, Myanmar,dan Kamboja yang memproduksi karet cukup besar hingga menekan harga karet dunia termasuk Indonesia.

Negara produsen baru tersebut mengembangkan jenis karet unggul dengan tingkat produksi tinggi hingga 2000 kilogram per hektare per tahun, jauh lebih tinggi dari tingkat produksi karet Indonesia yang hanya rata-rata 600 kilogram per hektare per tahun.

Negara-negara tersebut juga lebih mudah memasarkan produksi karetnya terutama ke negara konsumen terbesar dunia, yakni negara Tiongkok karena dari negara mereka bisa disuplai melalui angkutan darat.

Sementara kalau karet di Indonesia harus diantarpulaukan dulu baru di kapalnya ke negara besar tersebut, kata Asril.

Selain itu, anjloknya harga karet alam dunia tersebut tak terlepas dari masih terjadinya resesi ekonomi dunia khususnya di Uni Eropah dan Amerika Serikat yang juga termasuk negara konsumen terbesar karet alam.

Kendati demikian, harga karet ke depan tetap akan membaik, lantaran kalau hanya mengandalkan hasil negara produsen baru tersebut tentu tidak akan mencukupi dengan tingkat tingginya konsumen karet alam dunia khususnya pabrik ban kendaraan bermotor.

Semakin maju sebuah negara pasti semakin tinggi pemakaian ban kendaraan bermotor dan hal itu tentu akan memberikan tingkat permintaan karet juga tinggi akhirnya akan mendongkrak harga karet tersebut.

Oleh karena itu, ia meminta kepada petani karet Indonesia tetap mengembangkan tanaman karet, seraya memperbaiki kualitas yang dihasilkan agar harga bisa lebih baik, sebab tambahnya rendahnya harga karet di Indonesia karena diproduksi secara asal-asalan bukan sesuai standar yang diinginkan pasar.

Tanggung jawab Pemprov

Di sisi lain Asril Sutan Amir meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menyelamatkan keberadaan petani karet yang belakangan hidup mereka terpuruk lantaran harga karet yang berada pada titik terendah itu.

“Kondisi karet yang murah di tingkat petani Kalsel, bisa menghapus julukan Kalsel sebagai daerah produsen karet alam Indonesia, karena itu pemerintah harus menyelamatkan kondisi tersebut,” katanya.

Berdasarkan pemantauan Gapkindo Kalsel harga karet di beberapa kabupaten produsen karet alam cukup bervariasi, yang tertinggi di Kabupaten Tanah Bumbu dengan harga antara Rp6.000 hingga Rp8.000 per kilogram, tetapi yang sangat rendah Rp3.000 hingga Rp4.000 seperti di sentra karet Kabupaten Balangan.

Walau harga bervariasi tetapi dibandingkan dengan sebelumnya harga karet tersebut anjlok, karena harga karet pernah sentuh dengan harga Rp35.000,- hingga Rp40.000,- per kilogram.

Harga karet murah tersebut memang berlaku seluruh Indonesia tetapi untuk wilayah Kalsel yang paling rendah, lantaran kualitas yang dihasilkan petani setempat sangat jelek yang dikenal dengan istilah karet lum atau karet asalan.

Kalau hal tersebut terus dibiarkan maka bisa membuyarkan keinginan masyarakat setempat untuk mengelola kebun karet, padahal tanaman karet salah satu tanaman yang sangat ramah lingkungan.

Oleh karena itu, harus ada tindakan pemerintah untuk menyelamatkan dari keterpurukan petani karet tersebut, umpamanya dengan memberikan penyuluhan agar petani karet tidak lagi memproduksi karet asalan, tetapi karet lembaran kering yang berharga mahal.

Kemudian pemerintah harus memberikan bibit gratis terhadap petani setempat untuk mengubah kebiasaan membudidayakan pohon karet lokal ke jenis karet unggul.

Karena salah satu penyebab karet Kalsel anjlok tersebut karena lateks yang dihasilkan berasal dari pohon pohon karet lokal yang tumbuh secara alamiah, bukan dari pohon karet unggul yang pembudidayaannya diberlakukan sesuai kaidah yang benar.

Menurutnya ada jenis bibit karet unggul yang murah tetapi berkualitas yakni jenis IRR dengan produksi lateks banyak berpohon besar dan memiliki tingkat kekentalan lateks yang baik dan harga bibit murah sekitar Rp6.000,- saja per batang.

Bila adanya upaya petani yang didukung pemerintah melakukan peremajaan karet dari karet lokal menjadi karet unggul, ditambah perbaikan kualitas karet yang diolah dipastikan akan merubah harga yang murah menjadi harga yang baik, petani yang terpuruk menjadi petani yang kembali makmur.

DEBU DAN ASAP CEMASKAN KESEHATAN WARGA BANJARMASIN

sungai awang

Sungai Awang/Sungai Andai Banjarmasin terserang kabut asap

 

 

Oleh Hasan Zainuddin
Sudah berulang kali Ibu Saniah (45 th) ke rumah sakit lantaran penyakit asmanya kambuh di saat musim kemarau belakangan ini.

Sebenarnya dia enggan ke luar rumah yang tinggal di bilangan kilometer tujuh Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tetapi karena ia harus bekerja sebagai seorang guru pada sekolah di bilangan Gambut Kabupaten Banjar, mengharuskannya terus berangkat tiap hari menggunakan sepeda motor.

Hal serupa juga dialami banyak orang di kota berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa ini, sehingga rumah sakit maupun Puskesmas sering menerima pasien lantaran sesak nafas serta infeksi saluran bagian atas (Ispa) yang merupakan penyakit paling banyak diderita warga.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin Drg Diah R Praswati mengakui Ispa merupakan penyakit paling banyak menyerang warga Banjarmasin, dan itu bisa dilihat dari sepuluh besar penyakit yang terdata di Puskesmas dan rumah sakit.

Ispa muncul terutama lantaran cuaca yang buruk, serta akibat pencemaran debu dan asap yang melanda udara di sekitar wilayah ini, disamping pola hidup masyarakat yang kurang memperhatikan paktor kesehatan.

Sementara Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Banjarmasin Drs Hamdi tak menyangkal jika wilayahnya belakangan ini tercemar debu dan asap bekas pembakaran lahan persawahan dan semak belukar, khususnya di musim kemarau belakangan ini.

“Lihat saja hari-hari belakangan ini udara Banjarmasin begitu kotor, ditandai beterbangannya “kelatu” (benda hitam bekas dedaunan semak belukar terbakar) beterbangan di udara Banjarmasin,” katanya.

Beberapa warga mengeluhkan keberadaan kelatu ini, sebab pekarangan yang tadinya bersih sebentar saja jadi kotor oleh kelatu, cucian pakaian warga yang basah saat dijemur di luar rumah juga kotor terkena benda ini.

Memang sudah menjadi kebiasaan saat musim kemarau warga membuka lahan pertanian dan perkebunan membakar lahannya agar mudah membersihkan lahan untuk penanaman.

Tetapi tak jarang pembakaran lahan tersebut kemudian merembes ke semak belukar secara meluas bahkan ke lahan gambut yang sulit dipadamkan apinya, dan terus menerus mengeluarkan asap sepanjang hari.

Akibat dari itu maka udara Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, dan Kota Banjarbaru belakangan ini benar-benar kotor oleh asap pembakahan lahan tersebut, bahkan penerbangan di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin beberapa kali terganggu ditandai penundaan penerbangan akibat jarak pandang terbatas.

Menurut Hamdi bukan hanya asap mengotori udara Banjarmasin ini tetapi juga partikel seperti debu dan gas yang melebihi ambang batas.

BLHD Banjarmasin pernah melakukan pengujian kualitas udara di lima titik seperti perempatan Belitung, Sungai Andai, Kayu Tangi, A Yani, dan Trisakti.

Parameter kandungan pencemaran udara yang diuji meliputi, suspended particuler atau debu, carbon monoksida (CO2), sulful dioksida (SO2), ozon atau oksigen (O3), nitrogen dioksida (NO2), amoniak (NH3), sulfida (H2S), kebisingan udara, serta kelembaban PM 10 (debu paling halus).

Dari pengujian itu, kalau kualitas udara dengan partikel debu dan kebisingan berada diambang batas tertinggi, yang tertinggi ada di kawasan Pelabuhan Trisakti.

Idealnya kandungan partikel debu di udara sekitar 230 miligram per meterkubik tetapi di kawasan Jalan Lingkar Selatan sudah mencapai 457 miligram per meterkubik.

Munculnya debu di daerah itu karena aktivitas kenderaan bermotor lebih tinggi di bandingkan daerah lain, khususnya truk besar yang lalu lalang menuju pergudangan dan pelabuhan ke berbagai daerah lain.

Melihat kondisi musim kemarau serta adanya kebiasaan masyarakat yang membuka lahan dengan cara membakar. Hamdi meyakini tingkat polusi udara bertambah.

“Saat ini udara pagi dan malam hari dapat dikatakan kurang sehat lagi karena sekarang sudah diselimuti asap,” ujar dia.

Kondisi tersebut berdampak akan pada kesehatan, dan mengganggu pernafasan, makanya ia mengimbau warga yang keluar rumah menggunakan masker untuk mengurangi terhirupnya asap.

Selain itu, udara Banjarmasin masih ada kandungan timbal akibat bahan bakar yang dipakai mengandung timah hitam, padahal bahan bakar sudah dilarang yang mengandung timah hitam.

Menyinggung gas buang ke udara di wilayah tersebut disebutkannya secara umum, emisi atau gas buang dari 2000 sampel kendaraan bermotor yang memakai bahan bakar premium masih bagus.

Tetapi yang menggunakan bahan bakar solar 50 persen emisi yang dihasilkan masih tidak standar atau diatas ambang batas.

Selain pemantauan BLHD Kota Banjarmasin yang menunjukan kurang sehatnya udara wilayah ini , juga dibuktikan hasil pemantauan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Provinsi kalimantan Selatan.

Hasil pemantauan Bapedalda Kalsel yang pernah termuat di salah satu media setempat beberapa waktu disebutkan bahwa pemantauan itu dilakukan secara acak (grab sampling) yang sifatnya sesaat berdasarkan keperluannya.

Hasil pemantauan kualitas udara tersebut menunjukkan bahwa kandungan debu (PM10) terhadap udara berada di atas baku mutu.

Begitu juga dengan kandungan karbon monoksida (CO) dari hasil pemantauan yang rata-rata di atas ambang batas normal 30 mg/m2. Sedangkan kandungan timah hitam (Pb) juga melebihi baku mutu 2,0 mg/m2.

Pencemaran udara diakibatkan oleh lepasnya zat pencemar ke udara dari berbagai sumber, baik bersifat alami maupun aktivitas manusia (antropogenik).

Berdasarkan PP No 41 tahun 1999 mengenai pengelolaan udara, sumber pencemar didefinisikan sebagai setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Sumber pencemar dalam lima kelompok, yaitu sumber bergerak, misal kendaraan bermotor, sumber bergerak spesifik, misal kereta api, sumber tidak bergerak, sumber emisi yang tetap pada suatu tempat, sumber tidak bergerak spesifik, seperti kebakaran hutan dan pembakaran sampah, dan sumber gangguan, atas penggunaan media udara atau padat dalam penyebarannya, seperti kebisingan, getaran, dan bau.

Bahaya Asap

Kerisauan warga wajar lantaran asap bekas kebakaran hutan membahayakan kesehatan, karena berdasarkan catatan asap pembakaran menghasilkan polutan berupa partikel dan gas, partikel itu silika, oksida besi, dan alumina, gas yang dihasilkannya adalah CO,CO2,SO2,NO2, aldehid, hidrocarbon, dan fluorida.

Polutan ini, berpotensi sebagai iritan dapat menimbulkan fibrosis (kekakuan jaringan paru), pneumokoniosis, sesak napas, elergi sampai menyebabkan penyakit kanker.

Berdasarkan pedoman Depkes tentang pengendalian pencemaran udara akibat kebakaran hutan terhadap kesehatan ditetapkan katagori bahaya kebakaran hutan dan tindakan pengamanan berdasarkan ISPU.

ISPU , saat ini berbahaya bagi semua orang, terutama balita, ibu hamil, orang tua, dan penderita gangguan pernapasan.

Dampak asap begitu luas, jangka pendek asap yang berupa bahan iritan (partikel) akibat pembakaran lahan berdampak negatif terhadap kesehatan.

Pengaruhnya dalam jangka pendek itu adalah niengiritasi saluran pernafasan dan dapat diikuti dengan infeksi saluran pernafasan sehingga timbul gejala berupa rasa tidak enak di saluran pernafasan.

Gejalanya seperti batuk, sesak nafas (pneumonia) yang dapat berakhir dengan kematian.

Selain itu asap juga mengiritasi mata dan kulit, mengganggu pernafasan penderita penyakit paru kronik seperti asma dan bronchitis alergika.

Sedang gas CO pada asap dapat juga menimbulkan sesak nafas, sakit kepala, lesu, dan tidak bergairah serta ada perasaan mual.

Dampak jangka panjang bahan-bahan mengiritasi saluran pernafasan dapat menimbulkan bronchitis kronis, emfisema, asma, kanker paru, serta pneumokoniosis.

Melihat kenyataan tersebut, perlu dilakukan pengendalian dampak asap pembakaran lahan dan hutan di wilayah ini.

2 cren

PELABUHAN INDONESIA BAIK PERKUAT IKON NEGARA MARITIM
Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin()- Negara Indonesia yang memiliki belasan ribu buah pulau hingga negara ini berjuluk sebagai negara maritim di dunia.
Anak bangsa ini pun sejak dulu dikenal pula sebagai bangsa pelaut, lantaran banyak anak bangsa ini yang mencari penghidupan di laut.
Namun julukan sebagai negara maritim tak diimbangi dengan kemajuan tehnologi menggali potensi kelautan, termasuk meningkatkan dunia kepelabuhanan yang tangguh yang bisa mendongkrak kemakmuran masyarakatnya.
Image pelabuhan Indonesia selama ini memang buruk, puluhan tahun keberadaan pelabuhan Indonesia tidak pernah maksimal dalam pengelolaannya. Kapasitas pelabuhan kalah dari pelabuhan negeri tetangga.
Kelemahan itu justru menjadi berkah buat bagi negara lain khususnya negara-negara tetangga. Potensi devisa menguap ke negara-negara lain yang bertetangga dengan Indonesia.
Potensi kepalabuhanan Indonesia begitu besar, dua pertiga wilayah Indonesia berupa perairan, posisi negeri ini berada di persilangan rute perdagangan dunia, yang bisa memberikan peluang emas untuk sebuah kemajuan bangsa.
Tetapi kenyataan yang ada bangsa ini tetap saja menjadi sebuah negara tertinggal, sebagai negara maritim sudah selayaknya bangsa ini menggali potensi kepelabuhanan yang maksimal, setidaknya untuk memudahkan berbagai produk ekonomi termasuk produk kelautan dan perikanan, pertanian, perkebunan, pertambangan, ke berbagai negara lain.
Gimana mau mensuplai produk ekonomi seperti tersebut di atas untuk bongkar muat saja harus antri berhar-hari bahkan berminggu-minggu, sehingga kalau mengapalkan sebuah produk pertanian seperti buah saja, maka sempat busuk ditempat sebelum sampai ke tujuan.
Sebuah data diperoleh dari World Economic Forum dalam laporan ‘The Global Competitiveness Report 2011-2012’ menyebutkan, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia buruk. Berada di peringkat ke-103.
Dibanding negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia jauh tertinggal. Malaysia saja menempati urutan ke-15, Singapura peringkat pertama, dan Thailand ke-47.
Rendahnya rating pelabuhan Indonesia tidak terlepas akibat pelayanan bongkar muat barang yang tidak efektif dan efisien. Padahal, pelabuhan sebagai image perekonomian negara di mata dunia internasional.
Ambil saja contoh pelabuhan Trisakti Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dimana untuk bongkar muat harus rela dan bersabar antri berhari-hari bahkan berminggu-minggu, lantaran kapasitas pelabuhan yang tidak mampu menampung kapal sandar secara bersamaan, sehingga kapal harus menunggu giliran.
Untuk menunggu giliran begitu lama tentu menelan biaya tinggi bagi operasional sebuah kapal, sehingga lokasi ini bukan sebuah pelabuhan yang menjadi pilihan bagi usaha bongkar muat bagi perkapalan.
Kondisi yang terjadi di Pelabuhan Trisakti Banjarmasin bisa jadi sebuah cerminan dunia kepelabuhanan rata-rata di Indonesia, yang sejak dulu dikatakan sebagai negara maritim tersebut.
Itu baru persoalan kapasitas pelabuhan, belum lagi persoalan lain yang terjadi di Trisakti Banjarmasin, dimana lokasi pelabuhan ini berada di aliran sungai yang dangkal yakni Sungai Barito.
Kondisi buruk di Sungai Barito berada di alur muara sungai yang terjadi pendangkalan akibat sendimentasi lumpur yang parah, setelah terjadi kerusakan hutan di hulu sungai yang membawa partikel lumpur ke sungai terus larut ke muara hingga terjadi pendangkalan tersebut.
Puluhan miliar bahkan ratusan miluar rupiah, hanya untuk mengeruk lumpur di muara sungai agar kapal bisa lalu-lalang di pelabuhanm tersebut, kalau tidak dikeruk jangan harap pelabuhan ini bisa hidup sebagai pintu gerbang perekonomian Kalimantan.
trisakti

Sejarah

Berdasarkan sejarahnya keberadaan Pelabuhan Banjarmasin dikenal sejak abad XIV dan letak pelabuhannya ditepi Sungai Barito dengan nama Marapian, kemudian berpindah ke Marabahan dan berpindah lagi ke sungai Martapura dengan nama Pelabuhan Martapura.
Pada tahun 1925 dikeluarkan beslit Gubernur Jenderal No 19 tanggal 25 Nopember 1925 yang kemudian diperbaiki dengan beslit No 14 tanggal 17 Oktober 1938 Staatblad No 616/1938 pengukuhan pengelolaan Pelabuhan Martapura (Lama).
Pada tahun 1961 mulai dibangun Pelabuhan Trisakti di Sungai Barito, mengingat daya tampung Pelabuhan Martapura (Lama) tidak memadai lagi.
Pada tanggal 10 September 1965 diresmikan pemakaian Pelabuhan baru dengan nama Pelabuhan Trisakti Banjarmasin atau disebut Pelabuhan Banjarmasin.
Daerah lingkungan kerja pelabuhan perairan sluas 95 hektare, daerah lingkungan kepentingan pelabuhan perairan 115 hektare, dan ditetapkan dengan SK bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri No 14 tahun 1990.
Pelabuhan Trisakti berada di belahan kota Banjarmasin ibukota Propinsi Kalimantan Selatan, terletak di tepi Sungai Barito,sekitar 20 mil dari muara Sungai Barito pada posisi 03″ 20″ 18″ LS, 114″ 34″ 48″ BT.
Pelabuhan Banjarmasin merupakan pendukung utama transportasi laut yang secara langsung maupun tidak langsung berperan aktif dalam pembangunan ekonomi Propinsi Kalimantan Selatan.
Perkembangan pelabuhan ini memang terus meningkat, fasilitas pun terus dibangun, seperti dermaga terminal penumpang kontruksi beton 80 meter, dermaga trisakti lama 750 meter, dermaga Martapura Baru 350 meter, dermaga petikemas baru 265 meter, dermaga petikemas 240 meter, dermaga trisakti baru 120 meter.
Arus kedatangan kapal sampai tahun 2013 lalu sebanyak 17.253 unit, arus barang 8.265.935 ton, arus petikemas 387.954 box dan 428.478 teus, arus penumpang 148.923 orang.
Realisasi arus kapal pada tahun 2013 di Pelabuhan Banjarmasin meningkat 8-9 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dimana tahun 2013 tercatat sebanyak 17.253 unit kapal dengan berat mencapai 98.181.591 Gross Tonage (GT).
Sedangkan realisasi khusus kapal jenis petikemas pada tahun 2013 meningkat 10 persen (dalam satuan unit) dan meningkat 78 persen (dalam satuan GT) dibandingkan tahun sebelumnya, dimana realisasi arus kapal jenis petikemas tahun 2013 tercatat 1.137 unit dengan berat mencapai 7.207.642 GT.
“Ini yang menunjukkan terjadi peningkatan arus barang yang masuk maupun keluar melalui Pelabuhan Banjarmasin,” terang General Manager PT Pelindo III Cabang Banjarmasin, Hengki Jajang Herasmana.
Ia mengakui perusahaannya tersebut akan terus mengembangkan Pelabuhan Trisakti Banjarmasin ke arah yang lebih baik, sebagai upaya peningkatan ikon negara maritim.
Salah satu pengembangan terbaru penambahan pembangunan dermaga petikemas sepanjang 265 M x 34,5 m oleh kontraktor PT Wijaya Karya yang pemancangan perdananya dilakukan pada 13 April 2012 lalu dioperasikan, setelah diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada acara peresmian proyek MP3EI di Banjarbaru pada tanggal 23 Oktober 2013 lalu.
Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Kalimantan Selatan Jumadri Masrun mengapresiasi perkembangan Pelabuhan Trisakti Banjarmasin.
Dengan adanya tambahan fasilitas ini tentunya waktu tunggu kapal dapat semakin ditekan, diwaktu dulu kala, waktu tunggu kapal sempat mencapai 7 hari maka nantinya dapat ditekan.

 

 

 

Alternatif

Walaupun perkembangan Pelabuhan Trisakti Banjarmasin menunjukkan peningkatan, tetapi jika melihat perkembangan kota Banjarmasin dan sekitarnya yang begitu pesat, maka kedepan kondisi pelabuhan Trisakti seakan tidak bakal mampu lagi menampung kegiatan bongkar muat tersebut, apalagi kondisi pelabuhan ini termasuk berada di areal kota yang padat penduduknya.
Persoalan alur Sungai Barito yang kian lama kian deras sendimentasinya, maka pelabuhan ini bukan menjadi pilihan pelabuhan baik kedepan.
Pelindo III Banjarmasin yang merupakan bagian Pelindo III yang berpusat di Surabaya sudah selayaknya memikirkan bagaimana transformasi kinerja Pelabuhan terbesar di Kalimantan ini bisa memberikan tantangan di masa depan.
Kalau memang letak kondisi pelabuhan sudah tidak layak lagi berada di lokasi tersebut kenapa tidak dicarikan alternatif lain yang lebih menjamin kelancaran arus kapal tanpa terhalang lagi oleh sempit alur Sungai Barito.
Selain itu, pelabuhan yang ideal tak jauh dari pusat ekonomi, khususnya pusat industri, pusat hasil perkebunan, pertambangan, dan sektor pertanian lainnya.
Salah satu lokasi yang ideal sebagai tempat pelabuhan laut di wilayah ini adalah kawasan Kabupaten Tanah laut yang berjarak sekitar puluhan kilometer saja dari Banjarmasin, karena lokasi ini berada di tepian Laut Jawa, hingga tidak perlu masuk sungai lagi.
Lokasi yang direncanakan sebagai alternatif pelabuhan baru tersebut memang ada beberapa lokasi salah satunya berada di Pantai Swarangan, Kecamatan Jorong.
Alternatif lain pengembangan Pelabuhan alam Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Timur Kalsel, walau agak jaug dari Banjarmasin tetapi berpotensi pengembangan ekonomi prov insi ini.
Pelabuhan Batulicin adalah pelabuhan yang terletak ditepian Selat Makasar tak jauh dari Laut Jawa yang menjadi jalur alternatif pelayaran internasional menghubungkan Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik.
Untuk menjadi sebuah pelabuhan modern memang harus berada di lokasi pelabuhan alam bukan buatan, artinya ditepian laut yang berair dalam, kemudian harus adanya pusat transportasi darat yang bagus arah ke berbagai penjuru terutama ke lokasi kosentrasi perekonomian masyarakat.
Hal yang tak kalah penting tentu aneka peralatan kepelabuhanan yang canggih, lapangan penumpukan peti kemas yang luas, pergudangan yang memadai, hingga kerja bisa cepat dan mudah yang memungkinkan bongkar muat barang baik secara manual (curah) maupun peti kemas secara nyaman.
Peralatan yang harus diperhatikan tentu aneka macam seperti keberadaan kapal tunda, speed boat, crane darat, spreader, forklift, top loader, reach stacker, wheel loader, excavator, dump truck, conveyer, dan aneka peralatan lainnya yang mendukung kelancaran pelabuhan tersebut.
Bila semua peralatan ini bisa tersedia dengan baik ditambah manajemen yang baik oleh sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas pula, maka kinerja pelabuhan terbesar Kalimantan ini akan bisa menjawab tantangan masa yang datang.