WISATA PASAR TERAPUNG LOK BAINTAN SUNGAI MARTAPURA

foto anas

Pasar terapung di Muara Sungai Kuin-Barito, telah lama menjadi salah satu primadona wisata di Kalimantan Selatan.
Pasar terapung yang berada di pinggiran kota Banjarmasin, tak pernah dilupakan wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara bila bertandang ke Kalimantan Selatan. Apalagi Pasar terapung sejak bertahun-tahun telah menjadi ikon salah satu televisi swasta terbesar, melalui “jinggle” seorang ibu di atas “jukung” dan mengacungkan jempol “… OK”.
Namun bagi wisatawan bosan dengan suasana Pasar Terapung Muara Kuin-Barito dengan Pasar Terapung Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar dapat menjadi alternatif.
Terutama bagi pelancong yang datang ke Banjarmasin malas bangun terlalu pagi.
Umumnya Pasar Terapung di Kalimantan hanya ramai saat subuh hingga pagi hari. Namun tidak demikian dengan Pasar Terapung Lok Baintan. Pasar terapung yang satu ini bisa dinikmati pada siang hari.
Secara umum, Pasar Terapung Lok Baintan tak beda dengan Pasar Terapung di muara Sungai Kuin/Sungai Barito. Keduanya sama-sama pasar tradisional di atas jukung yang menjual beragam dagangan, seperti hasil produksi pertanian/perkebunan dan berlangsung tidak terlalu lama, paling lama sekitar tiga hingga empat jam.
Pasar terapung di muara Sungai Kuin/Sungai Barito aktivitasnya mulai sebelum subuh atau sekitar pukul 03.30 Wita hingga matahari beranjak naik sekitar pukul 06.30 Wita. Sementara di Lok Baintan, aktivitas pasar terapung mulai menjelang siang, sekitar pukul 09.00 Wita hingga jam 11.00 Wita.
Selain itu, Pasar Terapung Muara Kuin berada di hilir sungai yang lebar dan dalam, sedangkan pasar terapung di Lok Baintan berada pada kawasan hulu Sungai Martapura dan keadaannya pun tidak sedalam dan selebar Sungai Barito.
Untuk menuju obyek wisata Pasar Terapung Lok Baintan yang baru muncul atau diketahui khalayak luar daerah pada dekade 1990-an itu, bisa melalui jalan darat dari Banjarmasin ke arah Sungai Tabuk, melewati Jalan Martapura Lama/Jalan Veteran. Kalau jalan darat, bisa naik “taksi” atau angkutan pedesaan jurusan Sungai Tabuk – Banjarmasin ataupun ojek.
Bila naik mobil pribadi atau carter, maka di sekitar Jalan Veteran kilometer 11 harus turun dan naik ojek lagi menuju lokasi pinggir Sungai Martapura tempat aktivitas pasar terapung tersebut.
Jika naik angkutan Pedesaan tarifnya sekitar Rp3.500 perorang dengan lama perjalanan sekitar 15 menit dari Terminal Induk-Jalan A.Yani Banjarmasin.
Selain jalan darat, pelancong juga bisa menggunakan angkutan sungai, seperti naik klotok (perahu bermotor kecil) dengan rupa-rupa ukuran dari isi sekitar delapan orang hingga 14 orang.
Pelancong bisa naik dari dermaga masjid Sungai Gardu di Jalan Veteran, dengan biaya carter sekitar Rp250.000 dan lama perjalanan sekitar dua jam.
Lok Baintan, merupakan salah satu obyek wisata yang hendak dikembangkan Pemerintah Kabupaten Banjar.
Pemerintah setempat juga melakukan pembinaan terhadap sejumlah obyek wisata andalan, seperti kawasan pendulangan intan tradisional, serta obyek wisata alam Lembah Kahung, yang termashyur dengan keindahan panorama alam kawasan Pegunungan Meratus yang masih lestari.
Lembah Kahung yang berada dekat kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Riam Kanan, Kabupaten Banjar tersebut belakangan menjadi perhatian dan menjadi kegiatan pecinta alam atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup di Kalimantan Selatan.

LOK BAINTAN, PEWARIS BUDAYA SUNGAI TERMEGAH DI KALSEL
SEPULUH jukung (perahu khas Kalimantan Selatan) berarak melaju cepat dengan ditarik sebuah kelotok (perahu bermesin tempel). Formasi kelotok yang menjadi “abang pengojek” dan jukung sebagai penumpang itu menyerupai anak panah yang melesat membelah Sungai Martapura.

HARI itu Matahari pagi di Desa Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel), belum muncul. Semburat merah dari timur hanya menjadi satu-satunya sumber cahaya yang memandu konvoi para jukung milik petani.

Jukung yang merupakan perahu kecil yang terbuat dari kayu utuh itu memuat beraneka macam hasil pertanian. Para pemilik jukung yang didominasi perempuan semuanya memakai tanggui, caping lebar khas Kalsel yang terbuat dari daun rumbia.

Beberapa kelompok konvoi jukung, baik yang mengojek kelotok maupun hanya dengan mendayung sendirian, bergegas menuju lokasi pasar terapung. Mereka seolah berlomba adu cepat sampai ke tujuan.

PUKUL 06.30 suasana pasar terapung di Lok Baintan sudah ramai. Semua dagangan yang mereka bawa adalah hasil kebun yang baru saja mereka petik. Aneka buah-buahan, mulai dari sirsak, srikaya, nanas, pisang, hingga rambutan menjadi pemandangan menyegarkan.

Sayuran kampung beraneka jenis, mulai dari daun singkong, kacang panjang, kangkung, hingga sayuran khas Kalsel, yaitu daun jaruk tigaron. Cabai lokal, ikan lokal, umbi keladi lokal, padi lokal, hingga umbut kelapa untuk sayuran acara perkawinan tersedia di pasar terapung.

Pasar terapung di Lok Baintan memang unik. Mereka tidak hanya menunggu di suatu tempat untuk bertransaksi, melainkan bergerak mengikuti aliran arus. Masyarakat setempat menyebutnya pasar balarut (berlarut). Jika ada yang membutuhkan barang dagangannya, pembeli dengan jukungnya akan menghampirinya sambil berlarut bersama arus sungai.

Pukul 08.30 pasar terapung yang hanyut terbawa arus sejauh satu kilometer sampai di bawah jembatan gantung. Masih ada satu kilometer lagi untuk bisa melihat pasar hanyut dari atas jembatan.

Dari atas jembatan itulah keajaiban, kemegahan, dan keindahan budaya sungai terlihat dan bisa dirasakan. Ratusan, bahkan pada musim tertentu mencapai ribuan jukung terlihat berjejal menutupi sebagian ruas Sungai Martapura.

LOK Baintan selama ini belum pernah tercatat sebagai lokasi pasar terapung yang patut dikunjungi oleh agen-agen travel. Entah mengapa, sangat sedikit warga Kota Banjarmasin yang mengetahui bahwa tidak jauh dari Banjarmasin ternyata ada pasar terapung, the real floating market.

Selama ini, pasar terapung yang menjadi andalan Kalsel adalah di Kuin, Banjarmasin. Akan tetapi, kini kondisi pasar terapung di Kuin sudah tidak sealami dulu, berangsur sepi.

Untuk melihat pasar terapung di Kuin dari dekat hanya bisa dilakukan dengan menggunakan kelotok. Selain ombak sungai yang besar, kondisi Sungai Barito di Kuin yang dekat dengan industri penggergajian kayu membuat pemandangan tidak sedap.

Banyak pedagang di pasar terapung Kuin yang berasal dari daerah lain, sedangkan di Lok Baintan “pesertanya” hanya dari daerah sekitar yang benar-benar merupakan komunitas masyarakat sungai. Tradisionalisme dan terjaganya alam sekitar Lok Baintan benar-benar menjadi kekuatan pamor pasar terapung.

Lok Baintan dari Banjarmasin bisa diakses dengan dua cara, yaitu dari darat atau melalui sungai dengan menyewa kelotok. Jalan darat ditempuh dari Kota Banjarmasin ke Pasar Subuh Sungai Lulut, Kecamatan Sungai Tabuk, sekitar 10 kilometer dari Banjarmasin. Kemudian dari pasar Sungai Lulut menerabas jalan tanah selebar dua meter yang masih darurat dan becek sekitar lima kilometer menuju Lok Baintan.

Jika melalui sungai, sesampainya di Pasar Sungai Lulut, kendaraan diparkir dan kemudian menyewa kelotok menuju Lok Baintan. Lama perjalanan sekitar 45 menit.

Tarif normal kelotok ke Lok Baintan bervariasi dulu sekitar Rp 30.000, sekarang sudah sekitar ratusan ribu  dan jika sewa penuh setengah hari sekitar Rp200.000. Hanya saja, sulit mendapatkan kelotok pada pagi hari karena memang tidak ada jalur reguler menuju Lok Baintan.

Tidak adanya akses jalan darat yang memadai memang membuat antusiasme wisatawan rombongan menuju Lok Baintan berkurang. Akan tetapi, kondisi itu sebenarnya justru menjadi penyelamat Lok Baintan sehingga sampai kini komunitas sungainya masih tetap lestari.

Pihak Dinas Pariwisata Kalsel mengakui bahwa pasar terapung Lok Baintan merupakan alternatif pasar terapung Banjarmasin yang kini telah dikenal. “Pasar terapung Lok Baintan memang masih sangat alami. Kami akan menjadikannya alternatif pasar terapung selain yang di Kuin, Banjarmasin,” katanya.

PROMOSI memang menjadi kunci keberhasilan untuk mengenalkan budaya unik masyarakat dengan membalutnya sebagai event wisata. Selama ini Kalsel hanya dikenal lewat Banjarmasin yang peradabannya sudah beralih ke urban.

Di kala semua orang modern bermimpi naik mobil mewah dan Jakarta sibuk membuat busway, Lok Baintan tetap tenang dan tetap yakin memakai jukung sebagai “mobnas” mereka dengan Sungai Martapura sebagai jalan tol.

Jika ingin melihat pameran jukung terbesar, pameran rumah terapung, atau pameran budaya Banjar sesungguhnya, tengoklah Lok Baintan. “Pameran rakyat” yang menceritakan asal muasal peradaban di kota itu kini eksistensinya terancam karena debit sungai terus naik akibat perusakan hutan di bagian hulu.

Sungai Martapura dengan kekayaan sumber daya budaya dan sumber daya alam kini telah menciptakan sebuah peradaban yang berbeda dengan kota. Hanya saja, bangunan sosial dan bangunan fisik mereka kini mendapat stereotip “kampungan”, “jorok”, “kumuh”, dan “miskin”.

Untuk mempertahankan budaya sungai beserta transportasinya, pakar sungai yang juga pengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Lambung Mangkurat, Robertus Chandra Wijaya, mengatakan, yang perlu, ada konsep yang jelas untuk apa sungai itu akan digunakan.

Pemerintah harus segera menetapkan apakah sungai-sungai di Banjarmasin akan digunakan untuk fungsi drainase saja, atau navigasi saja, atau sekaligus untuk drainase dan navigasi. “Ataukah hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk di tepi sungai itu,” katanya.

Daerah aliran sungai (DAS) di bagian hulu sudah gundul. “Di sana dulu ada areal HPH (hak pengusahaan hutan) yang sekarang ditinggalkan dan gundul,” katanya(amir s).

Pasar Terapung Lok Baintan

LOK BAINTAN, kini secara kasat mata, boleh jadi merupakan pasar terapung terbesar di Kalimantan Selatan dan tentu saja di dunia (sebab di dunia cuma ada di sini yang alami). Keunikannya tak tertanding, eksotikanya pun demikian.

Bayangkan, orang bertransaksi dengan perahu terus melaju. Barang dagangannya pun hanya dari hasil bumi. Pendeknya, mereka semua adalah sekumpulan petani yang menjual hasil buminya ke sini.

Pasar terapung yang terletak di kecamatan Sungai Tabuk ini, pelaku pasarnya berasal dari Pamakuan, Sungai Tapang, Lok Baintan dan Sungai Tabuk sendiri. Aktivitasnya, dimulai selepas Subuh hingga sekitar jam 10.00 wita siang.

Karena transaksinya sambil melaju, pasar terapung semakin siang semakin jauh ke hilir. Eksotika lainnya, semua petani dan pedagang-nya memakai tanggui. Tanggui adalah topi besar dari daun rumbia khas Kalimantan Selatan.

Bukan itu saja, keramahan dan keakraban para petani dan pedagang yang semuanya dominan perempuan itu menambah pesona yang hadir di situ. Dan, melihat anek sayur-mayur yang hijau dan segar, seakan menghadirkan kesegaran jiwa bagi anda yang saban hari dijejali oleh kepenatan dan kejenuhan dunia kerja. Benar-benar eksotik.

Pasar Terapung Lok Baintan Dijadikan Objek Wisata Nasional

– Pemerintah Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan menjadikan lokasi pasar terapung Lok Baintan sebagai objek wisata nasional yang akan selalu dipromosikan ke berbagai daerah di tanah air dan mancanegera.

Bupati Banjar Ir Khairul Saleh kepada ANTARA di Banjarmasin, Kamis mengakui adanya keinginan tersebut, mengingat potensi pasar terapung untuk menjadi objek pariwisataan nasional begitu besar.

Masalanya kegiatan pasar terapung tersebut, termasuk unik dibandingkan objek wisata yang lain, seperti pasar terapung Desa Kuin Sungai Barito Banjarmasin yang sudah begitu dikenal luas.

Kelebihan pasar terapung Lok Baintan dibandingkan pasar terapung di Banjarmasin, adalah lama kegiatannya lebih panjang, kalau di Banjarmasin hanya sampai pukul 08:00 Wita sementara di Lok Baintan sampai pukul 10:00 Wita.

Kelebihan lain konsentrasi para pedagang dan pembeli di atas sungai yang menggunakan sarana jukung (sampan) di Lok Baintan di satu tempat, sementara di Banjarmasin terbagi dua dan agak terpencar.

Melihat waktu kegiatan pasar terapung Lok Baintan ini lebih panjang maka berpeluang lebih besar pula menjadi objek wisata yang banyak dikunjungi, tinggal bagaimana pemerintah beserta mayarakat bisa mempromosikan keberadaan objek tersebut.

Untuk memudahkan akses ke objek wisata sungai Kabupaten Banjar tersebut, pihak Pemkab setempat akan membangunkan jalan darat hingga sampai ke lokasi objek wisata itu.

Dengan adanya jalan darat itu maka mudahkan pengunjung baik dari kota Banjarmasin ibukota propinsi, maupun dari Martapura ibukota kabupaten setempat, sebab selama ini ke arah objek ini hanya bisa dilewati melalui jalur sungai saja, tambahnya.

Selain jalan juga akan dibangunkan fasilitas lain seperti dermaga, tetapi pembangunan dermaga tersebut akan memperoleh bantuan dana dari Pemerintah Propinsi.

Ketika ditanya mengenai dunia kepariwisataan Kabupaten Banjar, ia menyebutkan memang sudah cukup berkembang, tetapi hanya pada dua objek seperti kepariwisataan keagamaan, yaitu ziarah ke makam ulama besar, Syech Muhamad Arsyad Al Banjari, desa Kelampaian, serta objek wisata belanta batu permata kota intan Martapura.

Kedua objek wisata yang sudah begitu dikenal tersebut akan dipelihara sebaik-baiknya disamping diusahakan untuk lebih ditingkatkan lagi dimasa-masa mendatang.

Khususnya wisata perbelanjaan batu permata akan diperluas lokasinya dan diperbanyak koleksi batu permata yang dijual di pusat perbelanjaan tersebut.

Berdasarkan informasi, kota Martapura sudah begitu dikenal luas sebagai lokasi transaksi batu permata, khususnya permata intan sehingga banyak pedagang dan pembeli dari berbagai kota di tanah air serta dari mancanegara yang “berburu” intan asli hasil pendulangan daerah setempat, konon berlian asal setempat lebih bening dan berkualitas tinggi.

Lok Baintan dan Tradisi Air yang Tersisa

Orang masih sering menyamakan pasar terapung dengan Kota Banjarmasin. Padahal, di Banjarmasin kini sudah sulit mendapatkan pasar terapung.

Di tempat bernama Kuin yang dulu identik dengan pasar terapung, kini jarang terlihat sampan-sampan yang menjual kebutuhan sehari-hari. Aneka toko swalayan mini di darat sudah menjadi pengganti bagi warga Banjarmasin untuk mendapatkan kebutuhan pokoknya, layaknya kota besar lain di Indonesia.

Namun, cobalah menaiki sampan yang menghulu Sungai Martapura ke arah timur. Sekitar lima kilometer dari Banjarmasin, tradisi berjualan di sungai masih terjaga di Lok Baintan. Mulai matahari terbit sampai sekitar pukul 10.00 Wita, di tengah Sungai Martapura, puluhan sampan melakukan transaksi. Pembeli maupun penjual sama-sama naik sampan.

Tradisi pasar terapung memang tradisi air. Tradisi ini hanya akan terjaga manakala airlah yang menjadi sarana transportasi utama. Di Lok Baintan, belum ada jalan darat yang layak untuk menuju tempat lain. Akhirnya, semua rumah di sana memang menghadap ke sungai.

Toko-toko di Lok Baintan pun menghadap ke sungai yang menyebabkan pembeli harus mengayuh sampan untuk mengunjunginya. Sebuah tradisi yang indah dan memancarkan harmoni dengan alam.

Keindahan Lok Baintan adalah keindahan air. Keindahannya hanya tetap ada manakala sumber airnya tersedia. Sampai kapankah keindahan ini akan terjaga

OBJEK WISATA PASAR TERAPUNG MUNGKIN TINGGAL KENANGAN

 Oleh Hasan Zainuddin
 Bagi seseorang yang belum pernah menyaksikan aktivitas pasar terapung  di Sungai Barito Banjarmasin, Propinsi Kalimantan Selatan  mungkin membayangkan  begitu ramainya kegiatan pasar tersebut, setidaknya bayangannya seperti yang selalu terlihat ditayangan televisi swasta RCTI.
 Padahal keramaian pasar yang satu-satunya berada di atas air di Indonesia itu belakangan tidak seperti itu lagi, karena sudah jauh berkurang baik jumlah pelaku transaksi di pasar itu  maupun waktu kegiatannya yang sekarang hanya tinggal beberapa jam saja.
 Penulis sendiri ketika  mengunjungi kawasan pasar yang pelaku transaksinya didominasi kaum ibu itu menyaksikan begitu berkurangnya aktivitas di wilayah objek wisata yang sudah dikenal luas tersebut.
 Beberapa pedagang pasar terapung menyebutkan berkurangnya aktivitas di pasar tersebut lantaran prasarana darat ke berbagai pelosok desa di Banjarmasin dan daerah sekitarnya termasuk wilayah Kabupaten Barito Kuala sudah mulai membaik.
 Tersedianya jalan darat itu maka banyak pedagang  eceran tidak lagi menggunakan sampan (perahu) melainkan menggunakan kendaraan roda dua atau sepeda.
 Penyebab  berkurangnya aktivitas di pasar terapung itu bukan semata tersedianyaa jalan darat, melainkan pula begitu banyak aktivitas kapal angkutan umum dan angkutan karyawan yang melintasi kawasan pasar terapung perairan desa Kuin dan Alalak itu.
 Terlihat  tiga buah kapal fery penyebarangan untuk mengangkut penumpang umum dan karyawan perusahaan kayu antara Desa Kuin ke Handil Subarjo Kabupaten Barito Kuala bolak-balik melintas persis di tengah pasar terapung.
 Tidak jarang kapal ferry itu begitu kencang jalannya melahirkan gelombang air yang besar, dengan demikian pengguna jukung kecil yang biasanya paling banyak di pasar terapung itu menjadi takut terhantam gelombang itu, karena bila tidak hati-hati bisa tenggelam.
 “Operasi kapal ferry penyebarngan dua wilayah itu sudah berlangsung tiga tahun belakangan ini, sejak itulah kegiatan pasar terapung agak berkurang,”kata Bahri seorang pedagang soto Banjar terapung di kawasan tersebut.
 Belum lagi hilir mudiknya kapal pengangkut karyawan perusahaan kayu lapis, seperti kapal milik PT Barito Pasific, PT Tanjung Raya Group, PT Kawi, dan perusahaan PT Tanjung Selatan yang juga tak kalah kencangnya hilir mudik di tengah sekumpulan pedagang di pasar terapung itu.
 Kapal-kapal perusahaan tersebut kalau lewat kawasan ini juga kencang, sampai-sampai gelombang kapal itu seringkali menerpa paru kami yang sedang jualan ini, dan pernah piring dan gelas minum dagangan kami berguguran dari tempatnya dan pecah setelah perahu dihantam gelombang kapal karyawan itu.
 Setelah gencarnya gangguan kapal angkutan karyawan itu juga banyak pelaku pasar yang memiliki oerahu kecil takut berada di tengah sungai Barito dan akhirnya pelaku pasar berhenti sendirinya.
 Selain jumlah pelaku pasar berkurang, sekarang ini keadaan pasar terapung juga terpencar tidak lagi terkosentrasi persis tepi Desa Kuin melainkan terdapat tiga kelompom termasuk satu kelompok di wilayah Alalak yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi asal.
 Belum lagi adanya  kelompok-kelompok kecil seperti kelompok, pedagang ikan basah, kelompok pedagang beras, kelompok sayur-mayuran dan buahan yang memencarkan diri secara sendiri-sendiri.
 “Kalau membandingkan kondisi pasar terapung diera tahun 80-an dan 90-an lalu dengan sekarang jauh sekali berubah, sehingga banyak pendatang ke objek wisata tersebut merasa kecewa setelah menyaksikan kondisi sekarang, mereka membayangkan kondisi pasar terapung itu seperti yang terlihat di layar RCTI itu,”kata Bahri.
 Sementaran keterangan dari Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin, menyebutkan bahwa pihak pemerintah berusaha menyelamatkan objek wisata tersebut dari kepunahan dengan memberikan bantuan modal kepada para pelaku di pasar itu melalui koperasi.
 Selain itu, pemerintah pusat melalui Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) juga akan membantu sebuah kapal wisata yang refresentatif yang bisa digunakan untuk para  wisatawan ke areal tersebut.
 Bahkan sekarang pemerintah telah membangunkan sebuah dermaga wisata di tempat itu sekaligus membangun sebuah tempat penginapan agar wisatawan bisa menyaksikan kegiatan pasar terapung lebih awal setelah menginap di penginapan sederhana tersebut.
 Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik ketika berada di Banjarmasin saat festival Borneo mengagumi keberadan objek wisata andalan Kalsel yang menurutnya  tidak kalah dibandingkan pasar terapung yang ada di Bangkok Thailand, maupun di  Italia.
 Pemerintah sendiri berkewajiban untuk melestarkan pasar tersebut dengan segala upaya, baik pemerintah pusat, pemerintah propinsi, maupun pemerintah  Kota Banjarmasin sendiri.
 Ketika berada di Banjarmasin tersebut, Jero Wacik bersama dengan Wakil Gubernur Kalsel, Rosehan NB, Walikota Banjarmasin Yudhi Wahyuni serta Kepala Dinas Pariwisata Kalsel, Bihman Yulinasyah mengelilingi lokasi pasar terapung, kala itu Menteri terasa betah berada di kawasan wisata perairan tersebut.
 Oleh karena itu Menteri menyarankan agar secara bersama-sama semua pihak bagaimana agar pasar yang konon sudah berada di Sungai Barito sejak kerajaan Banjar itu sudah terus lestari hingga kapanpun, baik sebagai lokasi ekonomi masyarakat maupun sebagai kegiatan budaya dan pariwisata.
 Pasar terapung Banjarmasin ini merupakan objek wisata andalan yang sudah dipromosikan secara gencar oleh Pemprop Kalsel hingga ke berbagai mancanegara, dengan membagikan famlet, brosur ke perusahaan p;enerbangan, hotel berbintang, travel, biro perjalanan, dan aktivitas wisata lainnya termasuk promosi dari mulut kemulut wisatawan itu sendiri.
 Pasar itu  biasanya mulai beraktivitas pada pukul 06.00 Wita  dan berakhir sekitar pukul 09.00 Wita karena sifatnya pasar ini pedagang grosir untuk melayani pedagang eceran yang kemudian membawa hasil pembelian itu ke kampung-kampung yang bisa dilalui angkutan sungai untuk dijual lagi ke masyarakat.
 Namun berbagai kalangan menilai kalau kondisi pasar terapung yang terus berkurang kemudian tidak menjadi perhatian semua pihak bisa jadi masa yang akan datang, objek wisata unik yang bisa diandalkan meraih kedatangan wisatawan mancanegara itu kemungkinan tinggal kenangan saja lagi.

 

 

 

“FESTIVAL PASAR TERAPUNG” UPAYA LESTARIKAN BUDAYA SUNGAI
                 Oleh Hasan Zainuddin
      Banjarmasin,14/6 ()-Satu dasawarsa lalu, keberadaan pasar terapung (floating market) begitu semarak, namun kesemarakan aktivitas transaksi di kawasan pasar di atas Sungai Barito dan Sungai  Martapura, Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) tersebut belakangan mulai berkurang.
      Banyak yang mengkhawatirkan pasar terapung menjadi objek wisata andalan Kalsel tersebut bakal punah, menyusul zaman terus bergulir dimana pelaku transaksi di pasar yang sudah ada sejak berabad-abad tersebut  mulai mengalihkan kegiatannya ke darat.
       Pemerintah Propinsi (Pemprop) Kalsel melalui Dinas Pariwisata dan Budaya setempat pun turut mengkhawatirkan punahnya objek wisata  yang ada di Desa Kuin Sungai Barito, maupun di Desa Lok Baintan Sungai Martapura itu, seperti dituturkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalsel, Drs.Bihman  Muliansyah.
      Kekhawatiran hilangnya pasar terapung itu kini mulai terbukti, setelah berkurangnya aktivtas pelaku pasar terapung di dua lokasi tersebut.     
      Pelaku di pasar terapung kebanyakan adalah pedagang eceran, yang membeli barang kebutuhan pokok, seperti sayuran, ikan, buah-buahan, dan bahan makanan termasuk sembilan kebutuhan pokok di pasar terapung.
     Setelah membeli barang dagangan di pasar terapung pedagang eceran yang menggunakan jukung (sampan kecil) itu menyusuri sungai-sungai kecil di pemukiman penduduk untuk menjual baranbg dagangan itu lagi ke masyarakat, begitulah setiap hari sehingga keberadaan pasar terapung dinilai vital sekali.
      Tetapi setelah jalan darat di tiga wilayah seperti di Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Barito Kuala (Batola) mulai tersedia  maka pedagang eceran beralih  berdagang menggunakan sepeda, atau sepeda motor. Merekapun tak lagi membeli barang jualan di pasar terapung tetapi di pasar induk di ketiga wilayah tersebut.
      Akibatnya bukan pedagang kecil saja yang tak lagi mendatangi pasar terapung tetapi juga pedagang besar (grosir) kini mulai enggan pula mendatangi kawasan pasar terapung Desa Kuin Sungai Barito tersebut.
      Melihat kenyataan tersebut, maka bisa jadi nantinya pasar terapung tidak lagi keberadaannya secara alamiah seperti sekarang .  Artinya pasar terapung tak lagi menjual barang  kebutuhan masyarakat, melainkan hanya rekayasa seperti layaknya pasar terapung di objek wisata  Bangkok Thailand yang hanya menjual barang cenderamata.
       Untuk melestarikan pasar terapung itulah maka berbagai upaya telah dilakukan termasuk membina para pedagang agar tetap bertahan di lokasi tersebut. 
       “Kegiatan Festival Pasar Terapung (FPT) tanggal 21-22 Juni 2008 mendatang merupakan satu bagian dari upaya pelestarian pasar terapung itu,” kata Bihman Muliansyah.
       Guna mensukseskan FPT itu Pihak Disbudpar Banjarmasin maupun Disbudpar Kalsel kini sudah mempersiapkan matang penyelanggaraannya. Koordinasi terus dilakukan bukan saja kedua instansi itu tetapi juga dengan pihak Bank Indonesia (BI) Banjarmasin mengingat BI terlibat juga pendanaan dalam kegiatan tersebut.
      Koordinasi juga dengan pihak kepolisian yang menerjunkan polisi wisata, serta dengan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kalsel yang diharapkan peran pramuwisata mensukseskan event tersebut dengan cara mendampingi para wisatawan selama di wilayah ini, termasuk koordinasi dengan Asita Kalsel, Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI), agen perjalanan  dan komunitas pengelola wisata Kalsel lainnya.    
      Kadisbudpar Banjarmasin Hesly Junianto menuturkan,  panitia membangun sebuah miniatur perkampungan suku Banjar, (kampung banjar) di tepian Sungai Martapura, atau halaman kantor Gubernur Kalsel, jalan Sudirman Banjarmasin.untuk mendukung kegiatan budaya dan  pariwisata di arena FPT.
     Melalui kampung Banjar para wisatawan bisa melihat aneka jenis budaya masyarakat Banjar yang tinggal di Kalsel, tanpa harus mendatangi wilayah 13 kabupaten/kota  yang ada di provinisi ini, karena lokasi itu diisi perwakilan warga kabupaten/kota Kalsel.
     Melalui kampung Banjar itu pula terdapat aneka kerajinan suku Banjar, lukisan daerah Banjar, serta aneka peralatan tradisional seperti alat pendulangan intan  setempat, disamping akan digelar festival kuliner yang menyajikan aneka macam penganan dan masyarakat khas daerah ini yang disebut makanan 41 macam.
     Di perkampungan buatan itu pula akan digelar pameran berbagai potensi ekonomi dan sosial budaya daerah Kalsel, pameran kerajinan rakyat, serta pameran foto kampung Banjar tempo dulu.
    Di lokasi itu pula digelar festival permainan rakyat, seperti permainan anak-anak Kalsel tempo dulu, badaku, balogo,bagasing, batungkau, lariu menggunakan sandal terbuat dari tempurung kelapa, dagongan,bakarasminan termasuk menampilkan seni budaya 13 kabupaten/kota se Kalsel, serta festival sinoman hadrah.
    Sedangkan kegiatan di atas sungai Martapura, terdapat lomba jukung hias yang sudah dinyatakan diikuti 250 peserta, lomba jukung tradisional (sampung jaga), lomba jukung tanglong yang diikuti ratusan peserta pula.
    Bahkan ada  farade atau kegiatan   modeling di atas perhu yang diikuti oleh peragawan dan peragawai menggunakan kain khas Kalsel, Sasirangan, tambah Hesly Junianto.
    Dalam acara pembukaan tersebut selain dihadiri Gubernur Kalsel, Drs.Rudy Ariffin yang sekaligus memberikan sambutan pembukaan, juga ada sambutan dari Dirjen Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
     Selama pembukaan kesenian yang disajikan adalah tarian baksa kembang, tarian radap rahayu, pegelaran musik panting, serta madihin.
    Pada malam harinya kegiatan dimeriahkan penampilan hiburan rakyat, serta pesta kembang api, kata Hesly yang didampingi kepanitiaan lainnya dalam konferensi pers menyambut penyelanggaraan akbar tersebut.
    Pengunjung yang diharapkan menghadiri sesuai dengan undangan yang sudah disampaikan antara lain para pejabat daerah, pejabat pemerintah pusat, perwakilan negara asing yang undangannya sudah disampai ke Departemen Luar Negeri , dan kalangan pejabat dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
    Pemerintah Propinsi yang diundang khususnya dinas yang menangani kebudayaan dan pariwisata yang  sudah menyatakan datang, dari pemerintah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, serta propinsi lainnya.
    Kemudian juga diundang asosiasi, dewan kerajinan nasional, Asita, PHRI, HPI, serta media cetak dan elektronika baik di daerah dan Jakarta.
                    Kalender
    Pemvrop Kalsel akan  menjadikan FPT sebagai kalender kepariwisataan Kalsel, digelar tiap tahun, dan selalu dipromosikan  melalui berbagai media massa dan pembagian brosur dan buku wisata  ke seluruh biro perjalanan dan agen wisata.
     Menurut Kadisbudpar Kalsel Bihman  Muliansyah karena ini kalender kepariwisataan maka penyelanggraan yang pertama ini akan menjadi contoh kesukseskan guna menggelar berikutnya.
      “Kita mengujicoba kemampuan kepastiaan, FPT khususnya dalam koordinasi. Kalau koordinasi antar instansi dan pihak yang terlibat cukup baik, maka pola ini yang akan dilakukan ketika menggelar event budaya yang lainnya, “katanya.
      FPT di Kalsel merupakan program nasional yang diselanggarakan di daerah selama VIY, sedangkan kegiatan lain adalah Mappanretasie (memberi makan laut) di Pantai Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu).
     Acara Baayun Anak saat Mauludan Rasul di masjid Al Mukaramah, Desa Banua Halat Kabupaten Tapin, juga merupakan event budaya dan kalender keparwisataan Kalsel yang selalu dipromosikan selama VIY 2008 dan visit Kalsel tahun 2009. Kegiatan lain adalah budaya aruh ganal (selamatan besar) di pemukiman suku  Dayak Pedalamam Kalsel atau di Pegunungan Meratus.
    FPT di Banjarmasin ini sudah pula dipublikasikan secara luas agar masyarakat Kalsel dan masyarakat indonesia dan mancanegara mengetahuinya sehingga memancing wisatawan datang menyaksikan festival tersebut.
     Menurut Bihman Muliansyah yang juga dikenal sebagai ketua I, kepanitian FPT tersebut,   beberapa biro perjalanan di tanah air sudah menyatakan membawa wisatawan datang ke daerah ini.
    Umpamanya saja biro perjalanan di Jawa Timur, Jogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta menyatakan kesediaan datang ke Kalsel, Sementara warga asal Kalsel yang sudah lama tinggal di daerahlain juga sudah menyatakan bakal datang menyaksikan kegiatan budaya tersebut, seperti dari Pulau Jawa, dari Indragiri Hilir (Inhil) Riau, serta dari Malaysia.
     “Kita berharap FPT kali ini sukses, sebagai ajang menyambut Visit Indonesia Year (VIY) tahun 2008, sekaligus menyabut visit Kalsel tahun 2009, disamping berhasil memelastarikan budaya sungai pasar terapung, yang sudah begitu dikenal luas di tanah air, setelah selalu ditayangkan melalui televisi swasta di Jakarta,” kata Bihman Muliansyah.