KOMPLEKS MAKAM SYEKH ABDURRAHMAN SIDDIQ PERLU PERHATIAN

sapat

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin,3/4 (Antara)- Kompleks pemakaman ulama besar Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad ‘Afif bin Mahmud bin Jamaluddin Al-Banjari, yang berada di Kampung Hidayah, Sapat, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau perlu perhatian.
“Kami rombongan dari Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pekan lalu mengunjungi kompleks makam ulama keturunan Suku Banjar tersebut, kondisinya memprihatinkan,” kata Ketua Forum Silatuhami Kulaan Banjar (FSKB) Mohammad Ary di Banjarmasin, Jumat.
Menurut Mohammad Ary, kompleks yang menjadi objek wisata religi tersebut terlihat sederhana, tidak menggambarkan di lokasi tersebut bermakam seorang ulama besar mufti kerajaan Indragiri dan menyebar ilmu agama Islam di wilayah tersebut.
Sebagai contoh saja, dermaga yang dibuat sederhana, kemudian jalan menuju makam sekitar dua kilometer terbuat jalannya kecil rusak.
Kemudian masjid yang dekat makam sekarang kondisinya sedang direhabilitasi tetapi terkesan terbengkalai, karena menurut panitia masjid pembangunan masjid tersebut kekurangan dana.
“Kalau melihat pembangunan masjid tersebut paling selesai 50 persen, dan masih memerlukan perhatian untuk menyelesaikan 50 persennya,” kata Mohammad Ary bersama 14 orang rombongan yang tergabung dalam Kerukunan Bubuhan Banjar (KBB) Kota Banjarmasin, Kalsel.
Mohammad Ary mengajak semua pihak, baik pemerintah Indragiri Hilir dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan masyarakat yang berada di dua wilayah tersebut mengulurkan tangannya untuk memperbaiki kompleks pemakaman yang berada di tengah pemukiman Suku Banjar perantauan tersebut, khususnya penyelasaian masjid tesebut.
Selain itu, kata Mohammad Ary ada rencana juriat atau keturunan ulama yang sering disebut sebagai “Wali Sapat,” untuk membangun pesantren di sekitar makam, dan perlu pembebasan lahan untuk pembangunan pesantren tersebut, tentu pula memerlukan dana yang membutuhkan perhatian semua pihak.
Pembangunan pesantren tersebut untuk mengembalikan kawasan tersebut sebagai lokasi kompleks pengajian agam Islam yang pernah dibangun oleh almarhum Syekh Abdurahmmad Siddiq selagi masih hidup di kawasan tersebut.
Berdasarkan ketarangan lokasi tersebut dulu dibangun kompleks pengajian oleh ulama tersebut dan santrinya bukan saja dari pulau Sumatera dan tak sedikit yang menimba ilmu berasal dari tanah Banjar Kalimantan Selatan, sehingga banyak murid-murid ulama ini yang berada di Kalimantan Selatan.
Syekh Abdurahmmad Siddiq dilahirkan pada tahun 1857 di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan, nama lahirnya sebenarnya hanyalah Abdurrahman.
Nama “Siddiq” ia dapat dari seorang gurunya saat ia belajar di Mekkah. Ia merupakan cicit dari ulama ternama etnis Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia, dan tak sempat mendapat asuahan sang ibunda, kemudian dirawat kakek dan neneknya. Sang kakek merupakan seorang ulama bernama Mufti H Muhammad Arsyad.
Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal, maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah.
Sang nenek merupakan muslimah yang taat beribadah dan faqih beragama. Ia mendidik syekh dengan kecintaan pada Alquran. Beranjak dewasa, nenek mengirim syekh pada guru-guru agama di kampung halamannya. Ketika dewasa, Syakh makin giat menuntut ilmu agama.
Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Padang, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, ia masih haus ilmu. Maka pergilah syekh ke kota kelahiran Islam, Makkah pada tahun 1887.
Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak menghadiri majelis ilmu para ulama ternama Saudi. Tak hanya di Makkah, ia pun giat bergabung di halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi di Madinah.
Kegiatan tersebut ia lakukan hingga tujuh tahun lamanya. Bahkan Syekh juga sempat menjadi pengajar di Masjidil Haram selama dua tahun sebelum kemudian kembali ke tanah air.
Ia diangkat oleh Sultan Mahmud Shah (Raja Muda) sebagai Mufti Kerajaan Indragiri 1919-1939 berkedudukan di Rengat dan mengabdikan diri di Kerajaan Indragiri.

selamat datang

kolam

Kolam atau tempat wudhu yang dibuat Syekh Abdurahman Siddiq selagi hidup

masjid

masjid yang belum selesai

MENGUNGKAP KEBERADAAN KOMUNITAS SUKU BANJAR TEMBILAHAN RIAU

Aku berada di Tembilahan

Oleh Hasan Zainuddin

Sekelompok warga bergerombol dan sambil berjongkok menikmati masakan suku Banjar, Laksa di salah sebuah kedai (warung) makanan di tengah kota Tembilahan, ibukota Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau, Pulau Sumatera.
Sementara beberapa wanita nengenakan jilbab berpakaian kemeja panjang mententeng kresek pelastik berisikan kue khas suku Banjar pula seperti kraraban, untuk-untuk, gambung, gegatas, kelapon  dan lainnya setelah mebeli di kedai sebelah warung laksa itu.
Gurauan antara para pedagang serta para pembeli di beberapa kedai di Bilangan Parit 15 Tembilahan Hilir tersebut menunjukkan bahwa mereka bersuku Banjar, karena bahasa yang digunakan benar-benar berdialek suku Banjar terutama Banjar Pahuluan.
Ketika penulis menghampiri sekelompok ibu-ibu itu serentak mereka terhenyak, namun seketika itu pula penulis mengenalkan diri bahwa berasal dari kota Banjarmasin, ibukota Kalsel yang merupakan wilayah komunitas suku banjar bermukim sekarang ini.
Dari beberapa keterangan di kedai di pinggir Sungai Indragiri tersebut terungkap bahwa budaya mengolah masakan khas Banjar serta kue-kue tersebut sudah ada sejak ratusan tahun silam.
Budaya membuat masakan dan kue tersebut diperoleh dari generasi sekarang dari beberapa generasi sebelumnya yang telah tinggal secara turun=temurun di kawasan yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari semenanjung Malaysia dan Singapura itu.
Berdasarkan keterangan itu, bukan hanya kue-kue Banjar yang tetap lestari di tengah pemukiman suku Banjar perantuan ini tetapi juga makanan dan lauk-pauk lainnya.
Sebagai contoh saja, masih terlihat dihidangkan gangan (gulai) humbut, gangan keladi, gangan waluh, gangan karuh, sayur bening oleh keluarga-keluarga di kota berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa tersebut
Begitu juga terlihat papuyu baubar (bakar), gabus baubar, iwak karing (ikan asin) sepat, masak habang haruan atau telur, iwak bapais (pepes ikan) dan masakan khas Banjar lainnya.
Hanya saja, kata Haji Nurjanah (65 th) nenek tua asli suku Banjar, beberapa masakah khas Banjar lainnya sudah mulai tidak diminati generasi muda sekarang ini.
“Saya kemarin mencoba membuat mandai (kulit cempedak dipermentasi) penuh satu kuali, karena hanya saya yang doyan makan mandai itu,  akhirnya sebagian terbuang, sementara anak dan cucu sudah kurang suka,” kata nenek yang mengaku tidak pernah satu kalipun menginjak tanah Banjar di Kalimantan Selatan.
Bukan hanya masakan suku Banjar yang tetap lestari di kawasan luas berawa-rawa indragiri ini, tetapi juga cara hidup keseharian lainnya hampir tak berbeda dengan kebanyakan suku banjar yang tinggal di pahuluan Kalsel, (Banua lima: lima kabupaten Utara Kalsel).
Cara mereka bercocok tanam tak ada perubahan, yakni dengan menyiapkan lahan, menyiapkan benih, serta cara mereka panen.
Kehidupan beragama terlihat begitu kental di kalangan komunitas ini, dimana hampir terlihat masjid, surau, dipenuhi warga dan ditengah antara shalat magrib dan isha selalu diisi dengan ceramah menggunakan bahasa Banjar pula.
Seorang tokoh Banjar yang tinggal di Pekanbaru propinsi Riau, Bandrun A Saleh yang waktu itu anggota DPRD Riau ketika malam silaturahmi antara warga suku Banjar pekanbaru dengan para wartawan Kalsel dan Kalteng yang mengikuti Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) mengakui budaya Banjar di tembilahan masih sangat kuat.
Selain Badrun A Saleh yang berada diacara silaturahmi yang dihadiri Kepala Badan Informasi Daerah Kalsel, Drs,Amanul Yakin dan para pengurus PWI Kalsel itu juga terdapat beberapa pejabat teras Pemko Pekanbaru dan Pemprop Riau yang hadir, karena memang bersuku banjar seperti Sekretaris Kota Pekanbaru dan sekretaris DPRD Riau.
Badrun A Saleh yang asli Tembilahan ini menyebutkan bahwa budaya Banjar di kawasan masyarakat kampung halamannya ini memang sangat mendominasi, itu terlihat dalam kehidupan keseharian serta seni budayanya.
Kesenian Banjar seperti Bamanda, Balamut, Madihin, Japen, masih sering dipentaskan pada acara-acara tertentu dalam kaitan perayaan hari besar, perayaan perkawinan, kenduri, atau bentuk hajatan yang lain selepas musim panen.
Berdasarkan catatan, penduduk di Kabupaten Indragiri Hilir ini sekitar 560 ribu jiwa, 40 persen diantaranya adalah suku Banjar, disusul suku Melayu, Bugis, minang, Jawa serta etnis lainnya.
Tetapi khusus kota Tembilahan, Sapat, Pulau Palas, Sungai Salak, Pangalehan,  suku banjar diperkirakan mencapai 70 persen.
Keberadaan suku Banjar di tengah belantara Pulau Sumatera itu menurut tokoh yang pernah menjadi Plt Bupati Indragiri Hilir ini memang sulit diketahui secara pasti karena tak ada catatan atau sejarah yang menerangkan permasalahan tersebut.
Tetapi berdasarkan penuturan orang tua dulu bahwa ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus sekitar abad ke-18 komunitas suku Banjar tersebut sudah berada du kawasan itu.
Badrun menerangkan pula, bahwa pada awalnya keberadaan suku Banjar di kawasan ini bukan tujuan Tembilahan Riau, melainkan ke Batu Pahat Malaysia.
Eksodos suku Banjar Pahuluan ke Batu Pahat tersebut pada awalnya didasari persoalan politis dimana ketika itu kawasan Banua Lima Kalsel sedang dilanda kekacauan lantaran kedatangan penjajah Belanda di kawasan itu.

Aku bersama keluarga di parit 12 Tembilahan
Ditambah begitu banyaknya aksi kekauan akibat gerombolan sehingga warga merasa tidak tetang dan didasari perasaaan tidak mau dijajah itulah para suku Banjar ini berimigrasi ke Batu Pahat Malaysia.
Suku Banjar yang kebanyakan eksodos ke Sumatera tersebut berasal dari desa Kelua, Sungai Turak, Karias, Sungai Durian, Pimping, dan daerah lain di Hulu Sungai Utara, kemudian juga dari Paringin, Lampihong, Juai, Baruh Bahinu, Awayan di Balangan, beberapa desa di Barabai, Rantau, dan Kandangan.
Setelah eksodos ke Batupahat terus bertambah akhirnya masyarakat suku Banjar ini mulai menyebar ke kawasan lain yang dianggap bisa memberikan penghidupan baru.
Akhirnya pilihan suku banjar di perantuan ini jatuh ke wilayah Sapat Indragiri Hilir, karena alam di sekitar ini hampir serupa dengan Kalsel yaitu berawa-rawa Pasang surut. Bagi etnis lain sulit menggarap lahan semacam ini, kecuali terampil digarap suku Banjar asal Kalsel maupun suku Bugis asal Sulsel.
Apalagi ketika itu di Sapat Indragiri Hulir ini telah bermukim seorang ulama besar asal Dalam Pagar Martapura Kalsel, KH Abdurahman Sidiq yang dikenal seorang wali yang setia mengajarkan ilmu agama Islam diperantauan tersebut.
Setelah adanya ulama ini maka kian banyak warga Kalsel yang berpindah ke kawasan ini, bukan lagi sekedar faktor politis tetapi adalah faktor agama untuk mendalami ilmu agama Islam dengan ulama besar asal kota intan Martapura ini.
Makam ulama besar di di Parit Hidayah Sapat ini sekarang menjadi objek wisata religus terutama oleh penziarah dari suku banjar baik warga lokal, maupun asal Kalsel serta daerah lain seperti dari Malaysia.
Pemukin suku Banjar ini berhasil menggarap lahan pasang surut yang bergambut ini menjadi hamparan persawahan, disamping berkebun kelapa untuk dibuat kopra, serta berkebun kopi atau pinang.
Pada kala itu harga kopra dari kelapa memang lagi baik, sehingga usaha “mangaring” (pemroses kelapa menjadi kopra) dianggap menguntungkan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Akhirnya usaha tersebut telah memancing kembali eksodos warga Kalsel ke Sumatera dengan alasan ekonomi yakni mencari kehidupan yang lebih baik dengan menggarap perkebunan kelapa secara besar-besaran di kawasan tersebut.
Namun seiring perkembangan zaman ternyata berkebun kelapa sekarang ini sudah tidak menguntungkan lagi menyusul terjadinya perkebunan besar kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng, akhirnya kebun kelapa milik suku Banjar ini banyak yang tidak terpelihara selain harganya murah juga banyak pohon kelapa yang sudah tua sekali dan tidak produktif akhirnya ditinggalkan.
Dengan demikian desa kebun kelapa yang tadinya berkembang menjadi kawasan pemukiman yang ramai berubah menjadi desa mati dabn ditinggalkan penduduknya.
Penulis yang melakukan perjalanan dengan wartawan Barito Post untuk menyusuri desa-desa pemukiman suku banjar indragiri ini menmukan desa Sungai Ambat kecamatan Enok yang dulu ramai sekarang menjadi desa mati dan sepi dan di desa tersebut tertinggal sekitar 100 rumah saja lagi.
Padahal dulu sekitar tahun 50-an Sungai Ambat adalah termasuk pusat kosentrasi suku Banjar perantauan, disana terdapat pertokoan, pasar, serta terdapat para tukeh (saudagar kopra) berniaga di sana.
Dulu menuju Sungai Ambat hanya bisa dilalui lewat sungai melalui Kuala Enok atau di kecamatan Enok, tetapi sekarang sudah bisa dijangkau kendaraan setelah dibangun jalan besar antara Tembilahan menuju Kuala Enok, jalan tersebut sekarang baru pengerasan dan belum pengaspalan. Perjalanan menuju Sungai Ambat dari Tembilahan selama dua jam.
Selain di desa-desa di tepian sungai Indragiri dan Sungai Enak warga suku Banjar  juga terdapat di parit-parit (anak-anak sungai) yang banyak terdapat di kawasan ini
Berdasarkan keterangan, warga di berbagai desa suku Banjar ini sudah banyak yang meninggalkan desa mereka menyusul usaha kelapa tidak menguntungkan lagi, mereka banyak yang menyebar bukan hanya ke kota-kota lain di sekitar indragiri tetapi tak sedikit yang lari ke Batam, Jambi, Pekanbaru, Medan, Malaysia, Singapura serta kota Tembilahan sendiri.
Bahkan ada yang kembali ke tanah leluhur Kalimantan Selatan, kata beberapa warga desa Sungai Ambat.
Dari banyak pelarian suku Banjar ke berbagai kota di sana ternyata banyak yang berhasil, bukan hanya menjadi pejabat sipil dan ABRI, pedagang, serta wiraswasta dan lainnya.
Hanya saja dari keturunan suku Banjar sekarang sudah banyak yang mengalami pembaharuan dengan kawin dengan suku=suku  lain seperti kawin dengan suku Melayu, Minang, Bugis, Batak, Jawa hingga keturunan belakangan tidak asli lagi dari suku banjar.
Di kota Batam yang hanya dijangkau tiga jam setengah naik spedboat dari Tembilahan banyak sekali suku Banjar, tetapi sulit diketahui keberadaan mereka sebab sudah menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.
Berdasarkan keterangan lagi suku Banjar di Sumatera khususnya Riau terdapat di Tembilahan, Pulau Palas, Sungai Salak, Pangalehan, Kuala Enok, Sapat, Enok, Kapal Pacah, kemudian di Rengat, Pekanbaru, Bengkalis dan daerah lainnya.
Sementara di Propinsi Jambi suku Banjar terkosentrasi di Kuala Tungkal, di Sumatera Utara terdapat di Kampung Banjar Binjai dan Deli Serdang.
Walau penyebaran suku Banjar di Sumatera mulai meluas tetapi di kawasan  Tembilahan Indragiri Hilir kosentrasi suku Banjar tetap kuat, bahkan hubungan emosional antara Kalsel dan Tembilahan tetap terjaga dengan baik.
Tukar menukar seni budaya antara Tembikahan dan kota Banjarmasin terus terjadi, bahkan beberapa ulama kharismatik Kalsel secara berkala di undang berceramah di kota tembilahan ini, seperti ulama Haji Bakeri yang beberapa kali diundang pada malam tahun baru Islam.
Keberadaan ulama kharismatik, Haji Zaini Ganie sekumpul Martapura juga sering mengusik warga Tembilahan untuk pulang kampung ke Kalsel, khususnya untuk mengikuti pengajian KH Zaini Ganie yang lajim disebut guru sekumpul itu, terutama pada malam nispu sa.ban.
“Banyak sekali orang kita di Sungai salak dan Tembilahan yang rutin mengikuti pengajian guru sekumpul Martapura, khususnya pada malam nispu sa’ban,” kata Nurdin penduduk Sungai Salak 30 km dari Tembilahan.
Bukti dikenalnya secara meluas guru sekumpul ini adalah begitu banyaknya foto ulama besar Kalsel ini yang berada di dinding dinding rumah penduduk, begitu juga kaset rekaman maulid habsyi yang dibawakan guru sekumpul sering berkumandang di rumah penduduk atau di pusat pasar penjualan kaset.
Selain itu, terdengar banyak omongan anak muda Tembilahan yang ingin mendalami berbagai ilmu ke tanah leluhurnya di Kalsel, selain mendalami ilmu agama Islam juga ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu bela diri, ilmu kekebalan, ilmu pesugihan, atau ilmu kebibinian (ilmu memikat perempuan).
Karena dalam imige kaum muda suku banjar di kawasan Tembilahan ini ilmu-ilmu tersebut di atas paling baik atau lebih hebat kalau mendalami di daerah tanah leluhur mereka sendiri.

aku bersama para sepupu di jembatan Rumbai kilo 5 Tembilahan

BAHASA BANJAR JADI BAHASA SEHARI-HARI DITEMBILAHAN

Banjarmasin,31/10 (ANTARA)- Bupati Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) Propinsi Riau, Haji Indra Muchlis Adnan,SH mengungkapkan bahasa Banjar yang merupakan bahasa suku terbesar di Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi bahasa sehari-hari warga wilayahnya.
“Di tempat kami, orang China, Jawa, Melayu, Padang, Bugis, dan suku lainnya menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa sehar-hari,” kata Indra Muchlis Adnan kepada peserta seminar mengenai budaya Banjar, dalam kaitan Kongres Budaya Banjar ke-I, di Banjarmasin, Selasa.
Bupati Inhil dalam seminar tersebut menyajikan makalah berjudul “tradisi Madam Orang Banjar” dihadapan peserta yang berasal dari kalangan tokoh Suku Banjar, dari Kalsel sendiri, Kalteng, Kaltim, Jakarta, jogyakarta, Surabaya, Langkat Sumatera Utara, Tembilahan Riau, serta dari negara Selangor, Pahang, Negeri sembilan Malaysia.
Orang nomor satu Inhil yang datan ke Banjarmasin beserta rombongan dari kalangan pejabat Pemkab Inhil itu menyebutkan bahasa Banjar digunakan di kawasan itu sebagai bahasa sehar-hari lantaran penduduk suku Banjar mendominasi masyarakat yang hedrogen di kawasan pesisir Riau itu.
Menurutnya Suku Banjar sudah berada di wilayah Inhil sejak ratusan tahun lalu mungkin sudah empat generasi, dan membuka lahan persawahan dan pemkiman di berbagai wilayah di kawasan itu.
kedatangan suku Banjar yang di wilayah produksi kopra terbesar Riau tersebut, lantaran berbagai alasan, tetapi kalau dilihat sejarahnya hanya terdapat beberapa alasan.
Alasan pertama kedatangan Sku Banjar ke Tembilahan karena ingin berguru ilmu agama Islam kepada pada ulama-ulama yang ada di wilayah ini.
Alasan lain adalah untuk memuka lahan pertanian karena lahan rawa yang ada di inhil menerupai lahan rawa ang ada di Kalsel, sehingga warga Banjar pendanag itu mudah menggarap lahan itu ketimbang suku-suku lainnya.
Kemudian alasan yang lain lagi adalah berniaga atau berdagang karena Tembilahan merupakan kawasan yang berdekatan dengan Singapura atau kota-kota lain di Sumatera atau Malaysia.
“Orang-orang  suku Banjar waktu dulu termasuk orang yang “jagau” (pemberani), dan selalu membawa pisau kena-mana, tetapi sekarang kebiasaan membawa pisau sudah berubah, dan kini sudah suka membawa pulpen, komputer, lap top, dan banyak dari mereka menjadi kalangan birokrat dan pengusaha yang mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan Inhil,” kata bupati yang masih muda tersebut.
Mengenai kongres Budaya Banjar ini ia menilai meupaan kegiatan positip untk membahas berbagai kebudayaan Banjar, khususnya bahasa Banjar agar tideak punah, karena bila bahasa Banjar punah maka berarti suku ini sudah tidak ada lagi.
Kongres Budaya Banjar tersebut dibuka oleh Gubenur Kalsel, Drs.Rudy Ariffin, Senin malam (30/10) dan akan berakhir pada Rabu (1/11) menyajikan beberapa pembicara antara lain pedagang intan perintis komunitas warga Banjar di Kesultnanan Jogyakarta, Sastra Banjar guna Meningkatkan Apresiasi Genarasi Muda, Kesenian Rakyat Banjar dan lain-lain.

salah satu sudut kota tembilahan

Tembilahan, Indragiri Hilir

Tembilahan merupakan sebuah Kota ibukota  Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.  Tembilahan memiliki luas wilayah 297,62 km², terdiri dari 6 kelurahan. Ibu kota kecamatan adalah Kota Tembilahan. Jumlah penduduk Tembilahan tahun 2002 adalah 52.773 jiwa.
Batas wilayah
Kota Tembilahan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang Tuaka.
Sebelah timur berbatasan dengan Kec. Kuala Indragiri dan Tanah Merah.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Enok.
Sebelah barat berbatasan dengan Kec. Tembilahan Ulu dan Batang Tuaka

Kelurahan di Kecamatan Tembilahan
Tembilahan Kota
Pekan Arba
Tembilahan Hilir
Sungai Beringin
Sungai Perak
Seberang Tembilahan
Keadaan tanah daerah ini sebagian besar terdiri dari tanah gambut dan endapan sungai serta rawa-rawa. Pusat Pemerintahan Wilayah Kecamatan dari permukaan laut adalah 1 s/d 4 meter. Ditepi-tepi sungai dan muara parit-parit banyak terdapat tumbuh-tumbuhan seperti pohon Nipah.

Karena kecamatan ini merupakan daerah gambut, maka daerah ini digolongkan daerah beriklim tropis basah, apabila diperhatikan jumlah hari hujan daerah ini yang memiliki ketinggian rata-rata 2,5 meter dari permukaan laut, tercatat hari hujan yang tertinggi pada bulan Maret 1999 yaitu 11 hari, sedangkan angka yang terendah pada bulan Juni 1999 yaitu 4 hari.

Penduduk
Penduduk Kecamatan Tembilahan terdiri dari berbagai suku bangsa yaitu suku Banjar, suku Bugis, suku Melayu, suku Minang, suku Jawa, suku Batak serta warga negara keturunan Tionghoa. Mata pencaharian utama penduduk Kecamatan Tembilahan adalah di sektor pertanian.

Kecamatan
Batang Tuaka • Enok • Gaung • Gaung Anak Serka • Kateman • Kemuning • Keritang • Kuala Indragiri • Mandah • Pelangiran • Pulau Burung • Reteh • Tanah Merah • Teluk Balengkong • Tembilahan • Tembilahan Hulu • Tempuling

CATATAN PERJALANAN, Mailangi Dangsanak di Tembilahan
Minggu, 23-09-2007
UNTUK memberikan apresiasi dan reaktualisasi budaya Banjar, Majelis Paripurna Lembaga Budaya Banjar (LBB) Kalsel memberikan gelar kehormatan kepada Gubernur Riau, HM Rusli Zaenal dan Bupati Indragiri Hilir, H Indra Muchlis Adnan, akhir Agustus 2007 lalu di Pekanbaru.

Kegiatan ini tentu saja menjadi ajang budaya akbar. Untuk berbagi pengalaman, peserta yang juga budayawan Banjar, H Syamsiar Seman akan menguraikan perjalanannya dalam kunjungannya ke pusat kebudayaan Banjar di Tembilahan Riau dalam tulisan berikut.

Kota Tembilahan, Riau sangat dikenal oleh orang Banjar di Kalsel. Sebagai wadah madam sejak ratusan tahun  lalu, banyak warga Banjar sudah tinggal di tempat tersebut secara turun temurun dalam beberapa generasi.

Kabupaten Indragiri Hilir dengan ibukotanya Tembilahan ini merupakan salah satu dari sebelas kabupaten Provinsi Riau yang berada di posisi selatan. Daerah ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat dengan mobil dari Riau selama tujuh jam.

Kondisi alam baik Pekanbaru maupun Riau tak jauh berbeda dengan Kalsel, baik sungai dan floranya. Kondisi inilah yang memungkinkan orang-orang Banjar yang madam ke Tambilahan merasa betah bertani dan berkebun di sana.

Indragiri Hilir berpenduduk sekitar 639.450 jiwa yang diperkirakan warga Banjarnya sebanyak 242.991 jiwa yang tersebar di 20 buah kecamatan dan 192 desa.

Warga Banjar atau keturunan orang Banjar yang menjadi penduduk disini adalah di Kecamatan Tembilahan, Tampuling, Enok, Batang Tuaka, Gaung Anak Serka, Gaung, Tanah Merah serta Kuala Indragiri.

Dari delapan kecamatan yang dihuni warga Banjar tersebut, dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Banjar sebagai bahasa pengantar.

Seluruh penduduk di Tembilahan berbahasa sehari-hari dengan Bahasa Banjar dan cenderung dengan dialek Pahuluan. Uniknya, penduduk asal Bugis, Jawa dan Cina yang ada di daerah tersebut juga berkomunikasi dengan Bahasa Banjar.

Apalagi di Pasar Tembilahan yang pedagangnya justru banyak orang keturunan Banjar, pembicaraan dalam interaksi jual beli kedengaran barucau dalam Bahasa Banjar Urang Pahuluan. (bpost*/ncu)

Urang Banjar Banyak Tidak Kenal Budaya Leluhur
Banjarmasin (ANTARA News) – Perantauan Banjar atau urang Banjar Kalimantan Selatan (Kalsel) banyak yang tidak lagi mengenal seni budaya dan kerajinan khas daerah leluhurnya, kata H. Mardiansyah, anggota DPRD Kalsel.

Ia mencontohkan, urang Banjar yang berada di Tambilahan, Kabupaten Indra Giri Hilir (Inhil), Provinsi Riau, banyak yang tak mengenal seni budaya dan kerajinan leluhur mereka, katanya, di Banjarmasin, Rabu.

Anggota Komisi II bidang ekonomi keuangan DPRD Kalsel dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR) itu mengatakan, urang Banjar di Tambilahan banyak yang tak begitu mengenal seni budaya tradisional “mamanda” (bamanda, yakni sejenis sandiwara), “japin” (sejenis jepin), dan lainnya.

Begitu pula jenis kerajinan khas daerah Banjar layaknya “bakul purun” (bakul terbuat dari bahan sejenis mendong), “tikar purun”, “lampit paikat” (lampit/carpet terbuat dari rotan) dan “sasirangan” (kain batik khas daerah Banjar atau sejenis kain celup Yogyakarta).

Padahal, ia menilai, urang Banjar di perantauan sebenarnya ingin pula mengetahui sekaligus mempelajari seni budaya, terutama membuat kerajinan khas daerah leluhur mereka yang juga merupakan khasanah kekayaan seni budaya bangsa Indonesia.

“Misalnya, mengenai `sasirangan`, urang Banjar di Tambilahan pada umumnya cuma mengenal jenis kain batik khas Banjar yang seadanya atau tak berkualitas. Ternyata, `sasirangan` ada juga harganya mahal dan berkualitas ekspor, tak kalah dengan daerah lain,” katanya.

Oleh karena itu, pihaknya akan mengajak Dinas Kebudayaan dan Periwisata, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel untuk mengelar pameran pelatihan seni budaya dan kerajinan daerah Banjar tersebut di Tambilahan Provinsi RIau Sumatera.

“Apalagi, Tambilahan Inhil dulu disebut-sebut sebagai `kabupaten ke-14` untuk Provinsi Kalsel. Oleh karenanya pula, wajar kalau Pemerintah provinsi (Pemprov) Kalsel perlu menyikapi positif keinginan urang Banjar di Tambilahan tersebut,” ujarnya menambahkan.

Benarkah kantong pemukiman warga Banjar Inhil terpinggirkan

Pemukiman suku Banjar yang ada di kabupaten indragiri hilir umumnya di kawasan lahan berawa-rawa, sehingga sebagian besar penduduk warga Banjar menggarap pertanian dan perkebunan, khususnya berkebun kelapa yang berada di dalam parit-parit di sepanjang sungai enok, dan anak-anak sungai indragiri lainnya.
Umumnya kantong pemukiman suku Banjar ini hanya bisa dilewati dengan armada sungai, seperti katinting kalau dulu disebut sigul, jukung atau sampan, atau paling banter dengan spead boat.
Komunitas suku Banjar di perkebunan ini tinggal secara berkelompok-kelompok, di dalam parit-parit atau desa-desa pinggi sungai seperti di desa Panglihan, Desa Sungai Ambat, dan desa-desa lainnya lagi.
Ada anggapan miring terhadap komunitas ini, karena kantong pemukiman ini terkesan terpinggirkan oleh pemerintah propinsi Riau, pemeintah setempat lebih banyak membenahi kawasan kepulauan atau Riau Daratan.
Sementara kawasan-kawasan pesisir yang lahannya bergambut, kurang diperhatikan dalam segi pembangunan infrastruktur, sehingga dari waktu-kewaktu kawasan pesisir ini selalu saja tertinggal.
Tahun 70-an saat penulis pernah tinggal di kawasan ini, yaitu Desa Sungai Ambat Kecamatan Enok merasakan kondisi kantong pemukiman ini benar-benar tertinggal, bukan hanya listrik yang tidak ada, banyak warga yang tidak mengenal itu sepeda motor, mobil, bahkan sepeda pun kadangkala jarang yang pernah melihatnya, pasalnya kemana-mana  mereka warga menggunakan sampan.
Mata pencarian mengandalkan “mangaring” (usaha membuat kopra) merupakan andalan, dengan usaha sampingan menanam kopi sebagai tanaman sela kelapa, lalu bertani, atau berkebun lainnya.
Usaha berkebun kelapa tampaknya tidak membuat warga di kawasan ini sejahtera karena selain harga kelapa turun naik tak jelas, juga penjualan di kuasai para tokeh-tokeh mata sipit dengan kaki tangannya di lokasi sentra perkebunan.
Penentuan harga kopra usaha “mengaring” inipun terkesan lebih banyak ditentukan   oleh para tokeh dengan kaki tangannya.
Makanya untuk menambah penghasilan warga Banjar di perantauan ini ada yang mencari ikan dengan cara merawai, menugu, atau ada yang hanya mencari ikan betutu di dalam parit-parit, kecil atau menyauk udang galah dengan cara memberi umpan kelapa di bakar.
Ikan betutu di era tahun 70-an hingga 80-an masih banyak ditemukan di sungai-sungai kecil kawasan sungai Enok, memancingnya pun caranya mudah tinggal mencari umpan cacing pasir, lalu tempelkan di mata kail rendam sebentar ke sungai sudah dimakan ikan betutu dengan bentuk seperti ikan gabus dengan warna kulit kehitaman ini.
Hanya saja banyak warga yang kurang berminat mengkonsumsi ikan betutu ini lantaran bentuk kepalanya sedikit seperti kodok. Padahal rasa ikan ini begitu lezat bagi yang biasa mengkonsumsinya.
Kalau menyauk udang, warga hanya meletakan tali ke dalam air yang digantungi  kelapa bakar, bila terlihat tali tersebut bergerak-gerak maka dengan alat sauk, warga terus menyauk maka udang galah ukuran sedang tertangkap karena udang jenis ini suka dengan kelapa bakar.
Atau untuk mencari udang kecil seperti udang bajang, warga cukup membuat hancau (alat tangkap) berupa kain lusuh seperti bekas kelambu, tinggal rendamkan ke air diberi terasi atau ikan asin lalu udang kecil terkumpul maka hancau segera diangkat maka sekitar satu rantang udang kecil terperangkap di alat tersebut.
Mencari ikan lain dengan cara merawai  yaitu beberapa alat pancing yang satu sama lain saling berkaitan dengan tali belati, setelah mata kail diberi umpan berupa udang maka didiamkan di dalam air beberapa jam kemudian baru di “bangkit” (diambil) sehingga banyak ikan bergelantungan di rawai karena terkena kail rawai.

Para tetuha membuka lahan perkebunan kelapa dan kopi di lahan-lahan tersebut seringkali pula berhadapan dengan binatang buas seperti harimau Sumatera, atau buaya sungai-sungai di kawasan tersebut.
Kondisi warga yang miskin tahun 70-an tersebut setelah penulis kembali ke kawasan tersebut tahun 2000-an ternyata kondisi kawasan praktis tak ada perubahan, miskin dan terpinggirkan, keciali sudah ada jalan darat antara pekan baru hingga Panglihan, namun saat penulis berada di sana kondisinya baru pengerasan, konon jalan itu akan sampai ke pelabuhan samudera Kuala Enok.
Menurut beberapa warga kondisi perkampungan terbelakang itu sudah dirasakan beberapa dasawarsa sejak terbentuknya komunitas suku banjar di kawasan tersebut, akibat selalu terbelakang maka banyak warga yang tinggal berpindah-pindah dari desa yang satu hingga ke desa yang lain.
Bahkan ada yang berani menagmbil resiko dengan mengambil usaha “penyelundup” barang dari Malaysia atau Singapura ke dalam Indonesia hanya sekedar mencari untung sedikit yang disebut warga setempat dengan usaha simukil.
Walau usaha tersebut rentan sekali dengan usaha penangkapan polisi perbatasan laut, seperti KKO tetapi tetap saja ada yang berani menggeluti usaha tersebut, karena berkebun dan bertani tidak menjanjikan.
Apalagi tahun-tahun terakhir maka pohon kelapa yang sudah tua-tua hingga tak produktif tetapi untuk meremajakan maka perlu waktu, kemudian lahan pertanian kian masam, bahkan ada beberapa areal lahan pertanian yang tenggelan menyusul kian meningginya permukaan air laut di era pemanasan global ini , akhirnya usaha bertani tak bisa lagi diharapkan, pada gilirannya banyak warga banjar di pemukiman itu “menyerah” dan hengkang ke kawasan lain.
Sehingga banyak warga Banjar yang mencari usaha ke kota, atau bahkan ke Malaysia, dan Singapura.
Di Pekanbaru saja banyak wargan Banjar mengadu  nasib dan alhamdulillah tak sedikit yang ber hasil menjadi saudagar kaya atau menjadi pejabat, begitu juga di Batam  atau kota-kota lain di kawasan Kepulauan Riau terdapat warga Banjar yang sukses.
Melihat kenyataan tersebut, memang sudah saatnya Pemprop Riau memikirkan kantong-kantong masyarakat Banjar  tersebut, mengingat warga Banjar di Perantauan ini terbukti banyaknya sekali kontribusinya terhadap pembangunan Riau, secara khusus pembangunan Kabupaten Indragiri Hilir.

ORANG BANJAR  KE INHIL AKIBAT BERBAGAI SEBAB
Berbagai pertanyaan belakangan ini muncul terhadap keberadaan  komunitas suku banjar yang berada di berbagai wilayah Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) Provinsi Riau, Sumatera, karena begitu banyak orang Banjar disana  memunculkan anggapan, Inhil merupakan bagian kabupaten/kota Provinsi Kalimantan selatan (Kalsel).
Budayawan Kalsel, Drs.Syamsiar Seman ketika ditanya ANTARA, di Banjarmasin, Senin mengakui bahwa keberadaan komunitas suku Banjar di Inhil sudah begitu lama, diperkirakan gelombang transmigrasi suku Banjar ke pesisir Sumatera itu sebagian besar terjadi sebelum perang dunia kedua.
Sebagian besar warga suku Banjar Inhil sekrang ini, tidak tahu dan tidak pernah mengenal tanah leluluhur mereka di Kalsel yang merupakan wilayah komunitas terbesar suku Banjar. Yang membuktikan mereka sekarang adalah anak cucu dari keturunan orang Banjar perantau dulu.
“Saya baru saja datang ke Inhil, khususnya ibukota Inhil, Tembilahan semua budaya Banjar tetap bertahap di sana, sehingga kalau kita berada di sana seakan berada di kampung halaman sendri, karena bahasa warga semuanya menggunakan bahasa Banjar, makanan juga makanan khas Banjar,” kata budayawan yang mulai ujur tersebut.
Ia mencohtohkan saja, kue tradisional Banjar seperti kue untuk-untuk, cucur, kraraban, gaguduh, laksa, dan sebagainya banyak diperjual belikan disana, dan semua itu hasil olahan warga Banjar setempat.
Ia sendiri tidak tahu persis penyebab bertranmigrasinya suku Banjar ke Inhil tersebut, tetapi dari berbagai cerita, atau tulisan-tulisan lama yang pernah  dibacakan ternyata keberangkatan orang Banjar kesana tempu dulu akibat berbagai sebab.
Sebab pertama, ada yang tidak suka dengan tingkah laku penjajah Belanda yang kala itu cukup merajalela dan menekan warga suku Banjar di daratan Kalsel,kemudian saat itu banyak muncul pemberintakan-pemberontakan warga setempat terhadap Belanja sehingga kampung halaman tidak aman lalu mereka pergi merantau.
Penyebab  lain, sulitnya mencari lahan pertanian di Kalsel sehingga banyak petani pergi ke daerah lain khususnya ke Inhil, mengingat lahan inhil terbentang luas serta tipe lahan sama yaitu rawa-rawa dan lebak hingga mudah untuk menggarap lahan tersebut.
Apalagi lahan rawa-rawa di Sumatera tidak ada etnis lain kecuali suku Bugis yang mampu menggarapnya sehingga keberadaan suku Banjar mudah memperoleh lahan pertanian yang rawa-rawa di sana.
Penyabab lainnya keberangkatan orang Banjar  ke wilayah itu lantaran terjadi konflik antar keluarga atau antar warga sehingga merasa tersingkir lalu hengkang dengan pergi ke perantauan.
Ada lagi karena sakit hati, setelah lamaran untuk meminang wanita di kampung halaman di tolak, lalu merasa malu dan berangkat ke Inhil.
Lalu ada pula yang berangkat karena menuntut ilmu agama, setelah seorang ulama asal Banjar yang menjadi ulama besar yang diangkat menjadi mufti di Inhil, Syekh Haji Abdurahman Sidiq mengajarkan ilmu agama di sana sehingga banyak murid beliau asal Banjar yang berangkat ke sana lalu menetap hingga beranak cucu, kata Syamsiar Seman.
Belakangan ini keberangkatan orang Banjar hanyalah untuk perdagangan serta silarurahmi antar keluarga terutama saat-saat lebaran seperti sekarang ini dan kemudian masih ada yang menetap mau menetap di sana.
Kebanyakan warga Banjar yang tinggal di Inhil bekerja seperti dikampung halaman sendiri yakni bertani, baru berdagang dan pekerjaan lainnya. Namun walau sudah lama tinggal di sana komunikasi dengan warga yang tinggal di Kalsel terus terjalin.

Sejarah Indragiri Hilir

Untuk melihat latar belakang sejarah berdirinya Kabupaten Indragiri Hilir sebagai salah satu daerah otonom, dapat ditinjau dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode sesudah kemerdekaan Republik Indonesia.
1.  Periode Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia
a.   Kerajaan Keritang
Kerajaan ini didirikan sekitar awal abad ke-6 yang berlokasi di wilayah Kecamatan Keritang sekarang. Seni budayanya banyak dipengaruhi oleh agama Hindu, sebagaimana terlihat pada arsitektur bangunan istana yang terkenal dengan sebutan Puri Tujuh (Pintu Tujuh) atau Kedaton Gunung Tujuh. Peninggalan kerajaan ini yang masih dapat dilihat hanya berupa puing.
b.   Kerajaan Kemuning
Kerajaan ini didirikan oleh raja Singapura ke-V yang bergelar Raja Sampu atau Raja Iskandarsyah Zulkarnain yang lebih dikenal dengan nama Prameswara. Pada tahun 1231 telah diangkat seorang raja muda yang bergelar Datuk Setiadiraja. Letak kerajaan ini diperkirakan berada di Desa Kemuning Tua dan Desa Kemuning Muda. Bukti-bukti peninggalan kerajaan ini adalah ditemukannya selembar besluit dengan cap stempel kerajaan, bendera dan pedang kerajaan.
c.   Kerajaan Batin Enam Suku
Pada tahun 1260, di daerah Indragiri Hilir bagian utara, yaitu di daerah Gaung Anak Serka, Batang Tuaka, Mandah dan Guntung dikuasai oleh raja-raja kecil bekas penguasa kerajaan Bintan, yang karena perpecahan sebagian menyebar ke daerah tersebut. Diantaranya terdapat Enam Batin (Kepala Suku) yang terkenal dengan sebutan Batin Nan Enam Suku, yakni :
Suku Raja Asal di daerah Gaung.
Suku Raja Rubiah di daerah Gaung.
Suku Nek Gewang di daerah Anak Serka.
Suku Raja Mafait di daerah Guntung.
Suku Datuk Kelambai di daerah Mandah.
Suku Datuk Miskin di daerah Batang Tuaka
d.   Kerajaan Indragiri
Kerajaan Indragiri diperkirakan berdiri tahun 1298 dengan raja pertama bergelar Raja Merlang I berkedudukan di Malaka. Demikian pula dengan penggantinya Raja Narasinga I dan Raja Merlang II, tetap berkedudukan di Malaka. Sedangkan untuk urusan sehari-hari dilaksanakan oleh Datuk Patih atau Perdana Menteri. pada tahun 1473, waktu Raja Narasinga II yang bergelar Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alam ( Sultan Indragiri IV ), beliau menetap di ibu kota kerajaan yang berlokasi di Pekan Tua sekarang.
Pada tahun 1815, dibawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat. dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim ini, Belanda mulai campur tangan terhadap kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah ke Hilir sampai dengan batas Japura.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Isa, berdatanganlah orang – orang dari suku Banjar dan suku Bugis sebagai akibat kurang amannya daerah asal mereka. Khusus untuk suku Banjar, perpindahannya akibat dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Gubernement pada tahun 1859 sehingga terjadi peperangan sampai tahun 1963.
e.  Masa Penjajahan Belanda

Dengan adanya tractaat Van Vrindchaap ( perjanjian perdamaian dan persahabatan ) tanggal 27 September 1938 antara Kerajaan Indragiri dengan Belanda, maka Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur. berdasarkan ketentuan tersebut, di wilayah Indragiri Hilir ditempatkan seorang Controlleur yang membawahi 6 daerah keamiran :
Amir Tembilahan di Tembilahan.
Amir Batang Tuaka di Sungai Luar.
Amir Tempuling di Sungai Salak.
Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah.
Amir Enok di Enok.
Amir Reteh di Kotabaru
Controlleur memegang wewenang semua jawatan, bahkan juga menjadi hakim di pengadilan wilayah ini sehingga Zelfbestuur Kerajaan Indragiri terus dipersempit sampai dengan masuknya Jepang tahun 1942.
f.  Masa Pendudukan Jepang
Balatentara Jepang memasuki Indragiri Hilir pada tanggal 31 Maret 1942 melalui Singapura terus ke Rengat. Tanggal 2 April 1942 Jepang menerima penyerahan tanpa syarat dari pihak Belanda yang waktu itu dibawah Controlleur K. Ehling . Sebelum tentara Jepang mendarat untuk pertama kalinya di daerah ini dikumandangkan lagu Indonesia Raya yang dipelopori oleh Ibnu Abbas.
Pada masa pendudukan Jepang ini Indragiri Hilir dikepalai oleh seorang Cun Cho yang berkedudukan di Tembilahan dengan membawahi 5 Ku Cho, yaitu :
Ku Cho Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan.
Ku Cho Sungai Luar.
Ku Cho Enok.
Ku Cho Reteh.
Ku Cho Mandah.
Pemerintahan Jepang di Indragiri Hilir sampai bulan Oktober 1945 selama lebih kurang 3,5 tahun.
2.  Periode Setelah Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada awal Kemerdekaan RI, Indragiri (Hulu dan Hilir) masih merupakan satu kabupaten. Kabupaten Indragiri ini terdiri atas 3 kewedanaan, yaitu Kewedanaan Kuantan Singingi dengan ibukotanya Taluk Kuantan, Kewedanaan Indragiri Hulu dengan ibukotanya Rengat dan Kewedanaan Indragiri Hilir dengan ibukotanya Tembilahan.
Kewedanaan Indragiri Hilir membawahi 6 wilayah yaitu :
Wilayah Tempuling/Tembilahan.
Wilayah Enok.
Wilayah Gaung Anak Serka.
Wilayah Mandah/Kateman.
Wilayah Kuala Indragiri.
Wilayah Reteh
Perkembangan tata pemerintahan selanjutnya, menjadikan Indragiri Hilir dipecah menjadi dua kewedanaan masing-masing :
a.  Kewedanaan Indragiri Hilir Utara meliputi kecamatan :
Kecamatan Tempuling.
Kecamatan Tembilahan.
Kecamatan Gaung Anak Serka.
Kecamatan Mandah.
Kecamatan Kateman.
Kecamatan Kuala Indragiri dengan ibukotanya Tembilahan.
b.  Kewedanaan Indragiri Hilir Selatan meliputi kecamatan :
Kecamatan Enok.
Kecamatan Reteh dengan ibukotanya Enok.
3.  Pemekaran Kabupaten Indragiri Hilir.

Merasa persyaratan administrasinya terpenuhi maka masyarakat Indragiri Hilir memohon kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Riau, agar Indragiri Hilir dimekarkan menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II yang berdiri sendiri (otonom).
Setelah melalui penelitian, baik oleh Gubernur maupun Departemen Dalam Negeri, maka pemekaran diawali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau (Propinsi Riau) tanggal 27 April 1965 nomor 052/5/1965 sebagai Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir.

Pada tanggal 14 Juni 1965 dikeluarkanlah Undang-undang nomor 6 tahun 1965 Lembaran Negara Republik Indonesia no. 49, maka Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir resmi dimekarkan menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri Hilir (sekarang Kabupaten Indragiri Hilir) yang berdiri sendiri, yang pelaksanaannya terhitung tanggal 20 November 1965.(sumb:pemkab inhil)

ingin tahu tentang inhil klik http://www.inhilkab.go.id
MIGRASI ORANG BANJAR KE PAMADAMAN
April 14, 2010

oleh wajidi

“Pamadaman” merupakan kosa kata bahasa Banjar yang artinya sama dengan “Perantauan”. Pamadaman berasal dari kata “madam” yang artinya pergi merantau atau melakukan migrasi terutama keluar Kalsel.
Sejak akhir abad ke-19 atau awal-awal abad ke-20 banyak orang Banjar yang melakukan migrasi ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara.
Sehingga tak mengherankan orang Banjar kini banyak bermukim di Sapat dan Tembilahan (Indragiri Hilir Provinsi Riau), Bintan (Provinsi Kepri), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi), Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Asahan (Provinsi Sumut), Kaltim, Kalteng, di pulau Jawa, pulau Lombok dan Bima (Nusa Tenggara Barat), Manado, Gorontalo, Kendari, Makasar, Maluku, dan lain sebagainya. Atau di daerah-daerah yang menjadi bagian negara Malaysia, seperti Parit Buntar di Perak, Tanjung Karang di Selangor dan Batu Pahat di Johor dan juga di negara Brunei Darussalam, Singapura, dan Pattani Thailand.
Fenomena migrasi yang dilakukan orang Banjar di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 merupakan pola umum yang juga dilakukan oleh berbagai etnis di Nusantara. Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor kondisi politik, ekonomi, keamanan, atau faktor tidak kondusifnya daerah asal mereka.
Faktor ekonomi seperti untuk mencari penghidupan yang lebih baik merupakan salah satu alasan mereka bermigrasi, misalnya yang dilakukan orang Banjar ketika bermigrasi ke Semenanjung Malaya sebagai buruh penyadap karet. Penyadapan getah karet dan perluasan lahan perkebunan karet tentu saja memerlukan tenaga kerja atau buruh harian. Dan tenaga itu didatangkan atau diperoleh dari orang-orang yang datang ke Semenanjung Malaya.
Orang-orang Banjar tidak segan bekerja di tempat yang jauh dari kampungnya. Walaupun mereka akan segera kembali jika telah mendapat banyak uang atau keadaan di perantauan tidak menguntungkan lagi. Seperti ketika perkebunan tembakau Deli baru dibuka, banyak orang Banjar pergi kesana untuk membuka lahan dan membuat bangunan (L. Potter dalam Tundjung, 2008: 6).
Menurut Sartono Kartodirdjo (1975: 116-118), fenomena migrasi bukanlah semata-mata faktor ekonomi yang menjadi pertimbangan mereka, namun dikarenakan oleh faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang membuat orang menentukan harus pindah ke daerah lain.
Bambang Purwanto dalam A. Muthalib (2008:24) menyatakan bahwa ketika tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan semakin intensif, orang Bugis dan Banjar semakin banyak yang membuka daerah rawa-rawa di sepanjang pantai timur Sumatera.
Terkait dengan latar belakang migrasi orang Banjar, maka selain bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik (faktor ekonomi), juga untuk menghindar dari penindasan Pemerintah Hindia Belanda (faktor politik dan keamanan).
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kresidenan Borneo Selatan (Kalimantan Selatan) di tahun 1920 an turut mendorong terjadinya migrasi orang Banjar. Kondisi itu terkait dengan dampak ekonomi dunia yang tengah dilanda malaise. Selain itu, adanya perlakuan diskriminasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap pribumi mengakibatkan kehidupan masyarakat Banjar di bawah penguasaan Belanda juga sangat memprihatinkan.
Orang Belanda (termasuk orang Eropa lainnya) sebagai kelas tertinggi, memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Pembangunan seperti di bidang pendidikan, tempat rekreasi, perumahan, bioskop, dan fasilitas penting lainnya adalah untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan orang-orang Eropa. Hanya orang kulit putih atau yang dipersamakan yang boleh memasuki fasilitas penting tersebut, sedangkan Bumiputera adakalanya dilarang masuk karena ada tanda-tanda tertentu bertulisan larangan, seperti: “Verboden toegang voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk orang bumiputera dan anjing” (Saleh, 1981-1982: 37).
Perlakuan diskriminasi sebenarnya tidak hanya dikenakan antara golongan pribumi dengan orang Eropa atau Timur Asing, melainkan juga antara golongan pribumi muslim dengan pribumi penganut agama Kristen. Pada tahun 1920-an, guru-guru agama, guru-guru sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid dikenakan kewajiban oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan Ordonnantie Heeren Dienst yang menyangkut erakan atau kerja rodi, sedangkan guru-guru agama Kristen, Penyebar Injil, dan Kepala Jemaat, dan Guru-guru Sekolah Zending justru dibebaskan dari kewajiban itu.
Diskriminasi atau pengklasifikasian status sosial yang terjadi di dalam masyarakat mengundang pertentangan sosial dan ini menyebabkan seringnya terjadi penindasan terhadap kaum yang lemah. Diskriminasi dan penindasan seperti itulah yang pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan pada masyarakat bumiputera.
Terhadap pribumi pemerintah Hindia Belanda mengenakan berbagai pungutan seperti Pajak Pencaharian, Pajak Tanah, Pajak Kepala, Pajak Erakan (uang kepala), Bea Masuk, Pajak Penyembelihan dan berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi. Selain itu, setiap orang, kecuali golongan pangreh praja, yang berumur antara 18-45 tahun dapat dikenakan kerja rodi (kerja erakan) yang sangat memberatkan rakyat yang kesemuanya untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda.
Mengenai pajak erakan (uang kepala), misalnya: (1) Tiap 1 orang petani yang punya 1 bidang sawah dan 1 bidang ladang dalam setahun harus bayar pajak sawah-ladangnya, walaupun hasilnya sangat kurang. Sawah dikenakan wajib pungut sebesar “tujuh puluh lima sen” (f 0,75), dan pajak ladang wajib bayar “lima puluh sen” (f. 0,50); (2) Tiap 1 orang berusia lanjut 50 s.d. 55 tahun harus bayar wajib pajak kepala per tahun “lima puluh sen” (f. 0,50). Tiap 1 orang dewasa (kawin/belum) umur 18 tahun ke atas harus bayar wajib pajak seperti tersebut di atas. Meski umur muda akan tetapi jika akan melaksanakan perkawinan, dia wajib kena pungut pajak kepala (Wajidi, 2008: 18).
Kondisi sosial ekonomi yang berkaitan dengan rodi dan berbagai pajak dan pungutan, dampak depresi ekonomi dunia saat itu, dan ditambah dengan pendidikan yang kurang maju menjadi dominan sifatnya antara tahun 1900 –1928 di Kalimantan Selatan. Kondisi demikian mengakibatkan keresahan yang bermuara kepada munculnya pemberontakan Guru Sanusi 1914-1918 dan pemberontakan Gusti Darmawi tahun 1927. Keadaan itu pula yang mengakibatkan banyak penduduk khususnya dari Hulu Sungai yang melakukan eksodus ke pesisir Timur Sumatera seperti Kuala Tungkal, Sapat, Tembilahan. Sampai tahun 1950 jumlah penduduk suku Banjar di daerah Sapat dan Tembilahan mencapai 250.000 orang (Saleh et al,1978/1979: 51).
Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pamadaman yang cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ahmad Fauzi (2010:2) diperkirakan orang Banjar di Sumatera Utara saat ini berjumlah lebih kurang 180.000 orang dengan perincian kab. Langkat 70.000 orang, Deli Serdang 30.000 orang, Serdang Bedagai 50.000 orang, Asahan 20.000 orang, kabupaten/kota lainnya kurang lebih 10.000 orang.
Informasi lain sebagaimana disebutkan A. Muthalib (2008:26) bahwa orang Banjar yang telah bermukim di Indragiri Hilir pada tahun 1900 sekitar seribu jiwa. Lima belas tahun kemudian (1915) jumlah mereka meningkat drastis, yakni 18.798 jiwa. Pada akhir perang Dunia I atau dekade kedua abad ke-20, jumlah mereka diperkirakan 20 ribu jiwa.      Selain ke pesisir Sumatera, puluhan ribu penduduk Hulu Sungai juga pergi untuk menetap di Melaka (Sjamsuddin, 2001: 9). Mungkin yang dimaksud Sjamsuddin di Malaya, bukan di Melaka. Kalau di Melaka tidak ada orang Banjar seramai itu, kerana Melaka bukan tumpuan migrasi orang Banjar.
Menurut Tunku Shamsul Bahrin (1964) sebagaimana dikutip dari Mohamed Salleh Lamry (2010:4) bahwa berdasarkan sensus penduduk Semenanjung Malaya tahun 1911, orang Banjar di Malaya pada masa itu berjumlah 21.227 orang. Umumnya mereka bermukim di Perak, Selangor dan Johor. Pada tahun 1921 orang Banjar di Malaya meningkat hampir 80% menjadi 37.484 orang. Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk Banjar di Malaya bertambah 7.503 orang menjadi 45.351 orang. Perak, Johor dan Selangor masih merupakan negeri di mana jumlah orang Banjar paling ramai. Dalam tiga negeri inilah tinggal 96% orang Banjar di Malaya.
Proses migrasi orang Banjar memang sudah terjadi pada abad ke-18 ketika Belanda melakukan campur tangan dalam perebutan tahta antara Pangeran Nata dan Pangeran Amir yang berujung kepada kekalahan Pangeran Amir dan akhirnya dibuang ke Ceylon (Sri Langka). Untuk menghindari dari penangkapan dan hukuman dari pihak kolonial Belanda, maka pengikut Pangeran Amir melakukan eksodus ke berbagai tempat yang dirasa aman. Migrasi orang Banjar keluar Kalsel semakin banyak ketika terjadinya Perang Banjar yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun (1859-1906). Dan migrasi itu mencapai puncaknya pada dekade-dekade pertama abad ke-20, disaat Pemerintah Hindia Belanda telah semakin intens menancapkan kekuasaan dan menjalankan pemerintahan kolonial yang diskriminatif dan menindas kaum pribumi.
Migrasi orang Banjar ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara juga didukung oleh kemampuan orang Banjar dalam memiliki dan menguasai teknologi pembuatan perahu (jukung) dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan baik untuk sungai, pantai dan lautan. Kemampuan itu dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar baik sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler). Tak mengherankan jika pada masa Kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjar, jung-jung yang dibawa pedagang Banjar banyak berlabuh di berbagai bandar di pantai utara pulau Jawa.
Ketika Islam berkembang pesat di Kesultanan Banjar yang mengharuskan penganutnya untuk melakukan perjalanan haji ke Mekkah bagi yang mampu, maka kemampuan orang Banjar berlayar mengarungi samudera semakin terasah. Adalah hal biasa jika orang Banjar melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah dengan menaiki kapal layar sendiri pulang pergi selama setahun lamanya. Kemampuan memiliki, menguasai teknologi perkapalan dan adanya tradisi berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional itulah yang menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi, berlayar dari satu pulau ke pulau lain dan menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman untuk mencari tempat bermukim. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menumpang kapal uap milik maskapai Belanda yang hanya merapat di bandar besar saja.
Putusnya komunikasi antara orang Banjar banua dengan perantauan barangkali disebabkan karena semakin berkurangnya armada perahu-perahu tradisional Banjar yang melayari lautan karena semua kegiatan perdagangan diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda, seiring dengan berhentinya perlawanan orang Banjar di awal abad ke-20 dan monopoli perdagangan Cina. Berbagai upaya untuk melawan pengaturan Belanda itu dan monopoli pedagang Cina, seperti yang dilakukan organisasasi Sarekat Islam cabang Banjarmasin dengan mendirikan Sarekat Pelayaran sebagai upaya untuk memperlancar transportasi sungai yang merupakan jalur perdagangan penting di Kalimantan Selatan, namun agaknya usaha-usaha itu tidak mampu melawan monopoli perdagangan yang telah lama dikuasai orang-orang Cina yang telah lama mendapat perlakuan istimewa yang diterimanya dari pemerintah, di samping eksploitasi pemerintah kolonial sendiri di bidang ekonomi (Wajidi, 2007: 123).
Dengan semakin sedikitnya perahu-perahu Banjar yang melayari lautan, maka semakin jarang orang Banjar di perantauan atau sebaliknya untuk saling berkunjung. Akibatnya untuk waktu sekarang masing-masing pihak mengalami kesulitan untuk menelusuri kembali sanak keluarga keluarganya. Sebagian dari mereka ada yang masih bisa menjalin komunikasi dengan kerabatnya di Kalsel, karena kerabatnya di banua masih dikenali. Namun tidak sedikit pula yang putus sama sekali karena yang mereka ketahui hanyalah padatuan mereka berasal dari Kalsel (seperti dari Barabai, Kandangan, Alabio, Nagara, Amuntai, Kelua), namun dimana atau di kampung apa padatuan mereka dahulunya berada mereka tidak mengetahuinya. (Diolah dari naskah yang saya persiapkan untuk Kepala Balitbangda Provinsi Kalsel Ir. Hj. Suriatinah, MS berjudul: “Kontak Budaya Antara Masyarakat Banjar Banua Dan Perantauan Dalam Rangka Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan” pada Kongres Budaya Banjar II, 4-7 April 2010 di Banjarmasin), ditambah data yang bersumber dari pemakalah lain).

Urang Banjar di Tembilahan, Bumi Sri Gemilang

Konon sudah lebih dari 5 generasi urang banjar yang madam, migrasi, ’terdampar’ di Tembilahan. Sebenarnya bukan hanya di Tembilahan sebaran warga banjar di nusantara. Paling tidak di Sumatera ada di Tembilahan (Kab. Indragiri Hilir), Kuala Tungkal (Kab. Tanjung Jabung – Jambi), juga di Kab. Deli Serdang – Kab. Serdang Bedagai – Kab. Langkat di Sumut., bahkan di Singapura dan Malaysia (khususnya Batu Pahat). Inilah jejak urang Banjar di Tanah Melayu.

Pada tulisan yang lain ulun ceritakan jua bubuhan kampung Banjar di Manado, Makassar, Mataram, Pontianak, Bukittinggi dan Singapura.

Saat ulun berkesempatan ke Tembilahan dengan rombongan Gubernur dan Lembaga Budaya Banjar pada pemberian gelar adat TNB (Tutuha Nang Batuah) untuk Gubernur Riau Rusli Zainal dan Bupati Inhil Indera Muhlis Adenan, saat itulah ’ainul yaqiin (melihat langsung) kehidupan bubuhan kita dibanua urang. Menurut Bupati Inhil tidak kurang 60% penduduk Inhil adalah urang Banjar. Bukan tanpa sebab fakta ini terjadi, karena betapa kagetnya ulun melihat kondisi alam dan kehidupan yang sangat mirip dengan banua kita.

Sebut saja sungai Indragiri yang mirip sungai Barito, Jalan tembus yang mirip Anjir kita, rawa dan gambutnya yang seakan ulun berada di hulu sungai, kehidupan bubuhan panyiuran yang sangat bersahaja, dll.

Saat mencoba mengelilingi pasar Tembilahan dan kaget bukan kepalang, ternyata bahasa pengantara dan komunikasi di pasar itu bahasa Banjar barataan. Biar lain urang Banjar gin tatap bisa berbahasa Banjar. Saat mencoba mendekat ke tumpukan durian dan mencoba menawar, eh.. ternyata bubuhan Banjar Hulu Sungai, tepatnya bubuhan Alabio. ”bubuhanmu urang Banjar jua kah, jar din..” Inggih jar ulun, tapi kami ni sahibar mandangar kisah haja banua kita, kami kada biasa ka banjar, ujar seorang yang mengaku lahir dan besar di tembilahan. Padatuan haja nang bakisah banua Banjar. Kami ini turunan ke 4 sudah di tambilahan, kadada baduit handak manjinguki banua banjar. Kena lah jar ulun kita minta bantuan Gubernur Riau supaya mainjami Riau Airlines gasan bubuhan pian bulikan, manjanaki banua datu nini pian barataan. Takurihing sampai ka talinga sidinnya.

Jejak Banjar ini tercantum juga dalam prasasti Kerajaan Indragiri yang menjabat sebagi Mufti Kerajaan Selama 27 tahun, beliau lah Syeikh Abdurrahman Siddiq al Banjari atau lebih terkenal Guru Sapat.

Ada 3 teori migrasi urang Banjar di Tanah Melayu, yaitu 1. Permintaan Sultan Deli untuk bercocok tanam di rawa yang hanya bisa urang Banjar melakukannya. 2. Prahara di Kerajaan Banjar yang menyebabkan hijrahnya beberapa keluarga Kerajaan Banjar ke Tanah Melayu. 3. Penyebaran agama Islam, buktinya menjadi Mufti di Kerajaan Indragiri. Sementara teori atau cerita turun temurun bahwa migrasi Banjar dengan maksud merantau ke Tanah Malaka kemudian dihadang badai dan akhirnya terdampar di Tembilahan.(Ibnu Sina)

MIGRASI URANG BANJAR KE SUMATERA dan MALAYSIA

Suku Banjar yang tinggal di Sumatera ;Tembilahan (Provinsi Riau), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi),Hamparan Perak/Paluh Kurau, Pantai Cermin, Perbaungan, Binjai Langkat (Provinsi Sumatera Utara) dan
Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis
Banjar yang datang dalam tiga… gelombang migrasi besar.

Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri
Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa, raja Indragiri
sebelum raja yang terakhir. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari
daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru
Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura, Banjar yang menjabat
sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.

Banyak juga suku Banjar bermigrasi ke Malaysia antara lain ke negeri
Kedah, Perak ( Kerian, Sungai Manik, Bagan Datoh), Selangor(Sabak
Bernam, Tanjung Karang), Johor(Batu Pahat) dan juga negeri Sabah
(Sandakan, Tenom, Keningau, Tawau) yang disebut Banjar Melau.
Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari Malaysia adalah Syekh Husein
Kedah Al Banjari, mufti Kerajaan Kedah. Salah satu etnis tokoh Banjar
dari Malaysia yang terkenal saat ini adalah Dato Seri (DR) Harussani
bin Haji Zakaria yang menjadi Mufti Kerajaan Negeri Perak. Daerah
(setingkat kabupaten) yang paling banyak terdapat etnis Banjar di
Malaysia adalah Daerah Kerian di Negeri Perak Darul Ridzuan.
Organisasi suku Banjar di Malaysia adalah Pertubuhan Banjar Malaysia (PBM). (dari berbagai sumber )

 

 

Asal-usul kedatangan orang Banjar ke Tanah Melayu (Malaysia)

Orang Banjar yang datang ke Tanah Melayu adalah berasal dari Kalimantan, Indonesia, di kawasan selatan Basin Barito, terutama sekali dari daerah Banjar Masin, iaitu pusat bandar daerah itu. Kawasan ini adalah terletak di bahagian tenggara Borneo. Di antara daerah-daerah utama tempat asal orang Banjar tersebut ialah dari daerah Balangan, Amuntai, Alai, Hamandit, Margasari dan Martapura. Sebahagian dari mereka juga berasal dari Sumatera Tengah di kawasan Bukit Tinggi dan Sepat. Daerah-daerah tersebut merupakan kawasan penanaman padi.

Oleh demikian, mereka yang berhijrah ke Tanah Melayu adalah merupakan petani-petani yang mahir dalam penanaman padi. Di samping itu, pekerjaan khusus seperti melukis, tukang permata dan berniaga juga ditekankan oleh mereka. Pekerjaan inilah yang membezakan mereka dari suku-suku bangsa lain di daerah orang-orang Dayak yang tinggal lebih ke utara barat Banjar Masin. Masyarakat ini juga dikenali dengan kemahiran membuat peralatan dari besi, sepertiperalatan pertanian dan senjata. Kebanyakan mereka suka tinggal di lembah beberapa buah sungai seperti di sepanjang lembah Sungai Barito dari Banjar Masin hingga ke Asuntai dan Tanjung di utara., Tenom, Keningau dan Tawau. Orang Banjar ini pula terbahagi kepada beberapa puak dan di antara yang terbesar ialah Tanjung dan Kalua dari daerah Balangan, Amuntai dari daerah Amuntai, Barabai dari daerah Alai, Nagara dan Kandangan dari daerah Hamandit, Rantau dari daerah Margasari dan Martapura dari daerah Martapura. Masyarakat ini sering mengidentifikasikan diri mereka berdasarkan daerah tempat asal-usul mereka di Tanah Banjar.

Tarikh migrasi masyarakat ini ke Tanah Melayu tidak dapat dipastikan, tetapi menurut Afred Bacon <span>Hudson</span> seorang pengkaji orang Banjar, migrasi ini bermula dalam pertengahan abad ke 19. Penempatan yang awal sekali dapat dikesan ialah di Batu Pahat, Johor. Pada masa itu, mereka sering berulang alik berdagang dan berniaga kelapa kering melalui Siak, Bentan, Inderagiri terus ke Batu Pahat dan Singapura. Selain daripada itu Bagan Datoh di Perak juga dikatakan tempat pertapakan awal masyarakat ini di Tanah Melayu.

Dari Batu Pahat, mereka berpecah ke kawasan lain. Mereka masih lagi manjalankan aktiviti yang serupa seperti bertani, berkebun getah, kelapa dan sebagainya. Pada masa kini, masyarakat Banjar boleh didapati di beberapa kawasan pantai barat, terutamanya di kawasan penanaman padi seperti di daerah Kerian, Sungai Manik dan Bagan Datoh di Perak, Sabak Bernam dan Tanjong Karang di Selangor serta Batu Pahat di Johor. Di Sabah pula, orang Banjar terdapat di Sandakan

Selain daripada faktor perdagangan, kemiskinan yang mencengkam kehidupan orang Banjar di tempat asal mereka juga telah mendorong penghijrahan ke Tanah Melayu. Keadaan mereka di Tanah Banjar agak sukar kerana tanah pertanian mereka sering menghadapi ancaman binatang buas. Faktor ini ditambah lagi dengan kemelaratan yang dihadapi di bawah pemerintahan penjajah Belanda yang terlalu menindas masyarakat tempatan dengan pelbagai cukai dan peraturan yang tidak munasabah. Di samping itu, mereka tertarik dengan kemakmuran kehidupan di Tanah Melayu pada masa itu yang dikhabarkan oleh pedagang-pedagang yang berulang-alik ke Tanah Melayu.

Pihak penjajah British di Tanah Melayu pula amat menggalakkan penghijrahan masyarakat dari Indonesia untuk membuka dan mengerjakan kawasan pertanian yang baru kerana masyarakat tersebut amat terkenal dengan sifat tabah dan gigih dalam menghadapi cabaran hidup.

Ciri-ciri awal orang Banjar di Tanah Melayu

Apa yang dimaksudkan dengan ciri-ciri awal ini ialah sosio-budaya orang Banjar pada tahap awal pertapakan mereka di tanah Melayu iaitu sekitar pertengahan abad ke-19 sehingga pertengahan abad yang ke-20. Terdapat ciri-ciri yang dominan dan ketara pada masyarakat ini yang membezakannya dengan masyarakat Melayu tempatan pada masa itu. Di antara ciri-ciri awal yang dapat diperhatikan dalam masyarakat ini pada masa itu ialah, fahaman kesukuan, teguh pegangan agama dan carahidup sederhana, berani dan panas baran.

Fahaman kesukuan

Perkara ini adalah berkait rapat dengan keadaan mereka yang baru berhijrah dari Tanah Banjar ke Tanah Melayu yang masih asing bagi mereka. Jadi, bagi memastikan kebajikan mereka terjaga, mereka sentiasa tinggal dalam satu kelompok. Salah satu ciri terpenting wujud pada masyarakat tersebut pada masa itu ialah mendalamnya fahaman kesukuan. Bagi mereka, orang orang selain dari suku mereka dianggap sebagai ‘orang luar’. Keadaan ini telah mempengaruhi pergaulan, perkembangan pemikiran dan seterusnya keperibadian mereka. Faham kesukuan ini juga telah menjadikan masyarakat ini pada masa itu sebagai sebuah masyarakat tertutup. Jarang-jarang benar berlaku perkahwinan di luar suku Banjar. Justeru itu, faktor ini telah dapat mengekalkan beberapa ciri-ciri keperibadian yang tersendiri masyarakat ini. Contoh yang nyata ialah pengekalan bahasa pertuturan sehari-hari iaitu dialek Banjar dan kawasan tempat tinggal yang berkelompok.

Teguh pegangan agama dan cara hidup sederhana

Kebanyakan orang Banjar yang berhijrah ke Tanah Melayu adalah terdiri daripada mereka yang kuat pegangan agama Islam dan mengamalkan cara hidup yang sederhana. Maka, tidak hairanlah bahawa masyarakat ini amat condong terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan agama Islam dalam kehidupan seharian mereka.

Keadaan ini ditambah lagi dengan corak pekerjaan mereka yang berbentuk pertanian dan lokasi petempataan mereka yang agak terpencil daripada bandar, telah menyebabkan peluang untuk mereka mengikuti kemudahan-kemudahan seperti pelajaran, kesihatan, dan lain-lain amat terhad. Perkembangan pendidikan secara formal yang wujud dalam masyarakat ini hanyalah berupa kelas membaca al-Quran, mempelajari hal-ehwal syariat Islam sama ada di sekolah-sekolah agama rakyat mahupun di madrasah-madrasah. Bagi golongan yang berkemampuan pula, mereka menghantarkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah arab mahupun pondok-pondok di tempat lain. Bagi yang lebih berkemampuan, mereka juga turut menghantar anak-anak mereka ke Tanah Suci Mekah untuk mendalami ilmu agama. Amat kurang sekali yang menghantar anak-anak mereka ke sekolah-sekolah kerajaan mahupun ke sekolah Melayu kerana mereka berpendapat mata pelajaran yang di ajar tidak sesuai dan semata-mata hal-ehwal duniawi sahaja. Begitu juga dengan sekolah-sekolah Inggeris mereka khuatir anak-anak mereka akan terpengaruh dengan dakyah Kristian jika menghantar anak-anak mereka belajar di sekolah tersebut. Walaupun pada umumnya, fahaman sebegini wujud dikalangan masyarakat Melayu yang lain, tetapi keadaan yang wujud dikalangan orang Banjar amat ketara sekali.

Sebagai buktinya, sehingga awal tahun-tahun 60an, amat kurang sekali pegawai-pegawai kerajaan mahupun kakitangan yang berketurunan Banjar. Kalau pun ada, hanya pegawai-pegawai agama atau guru-guru agama. Ringkasnya mereka lebih berminat untuk bergiat dalam bidang-bidang yang bersangkutan dengan hal-ehwal agama Islam sahaja. Kesan lain yang dapat diperhatikan dan masih kekal sehingga kini ialah terdapatnya dengan banyak sekali sekolah sekolah agama rakyat, madrasah mahupun pondok-pondok dikawasan-kawasan yang majoriti penduduknya orang Banjar seperti di daerah Kerian, Perak mahupun di daerah Sabak Bernam, Selangor.

Keadaan kehidupan mereka juga amat sederhana, rumah mereka dikatakan kosong kerana tidak mempunyai alat-alat perabut seperti kerusi, meja dan almari. Peralatan yang ada seperti tikar mengkuang yang dibentangkan ketika tetamu datang dan lain-lain perkakas yang mustahak sahaja.

Satu hal yang agak menarik juga ialah, masyarakat ini tidak suka bekerja makan gaji dengan kerajaan kerana mereka lebih suka bekerja sendiri khasnya dalam bidang pertanian. Perkara ini juga berkait dengan kebebasan untuk mereka membuat perkara-perkara sampingan khasnya untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Pekerjaan bertani khasnya penanaman padi mempunyai ruang masa yang banyak dan bebas untuk mereka melakukan perkara-perkara tersebut seperti ketika menunggu musim menuai dan seumpamanya. Kedudukan seseorang yang tinggi ilmu agama juga amat dihormati dan mendapat tempat yang istimewa di kalangan orang Banjar. Nilai yang diberikan ke atas seseorang individu dalam masyarakat ini adalah berdasarkan keahliannya dalam ilmu-ilmu agama Islam. Nilai-nilai seperti ini menjadikan masyarakat ini begitu kuat dan taat berpegang kepada ajaran <span>Islam</span> dan kepada kepimpinan yang ahli dalam bidang agama Islam. Perkara ini jelas dilihat daripada kemenangan calon parti yang menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan pada Pemilihan Umum Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1955 Kawasan Kerian, Perak yang telah diketahui majoriti daripada penduduknya terdiri daripada orang Banjar. Beliau yang dimaksudkan ialah Tuan Guru Haji Ahmad Haji Hussein, keturunan Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari, seorang tokoh ulama besar berasal dari Tanah Banjar, Kalimantan Selatan, Indonesia.

Berani dan pemanas

Salah satu sifat yang agak ketara terdapat dalam masyarakat Banjar ialah bersifat berani dan pemanas. Masyarakat ini pantang dicabar dan bersifat panas baran. Penggunaan senjata seperti pisau (biasanya disebut lading), parang panjang atau badik (sejenis pisau juga), tidak asing lagi bagi mereka terutama ketika berlaku pergaduhan. Dipercayai juga setiap keluarga orang Banjar pasti menyimpan sebilah parang panjang di rumah masing-masing untuk menjaga keselamatan mereka. Orang Banjar sering dianggap sebagai masyarakat yang gemar bergaduh oleh masyarakat lain. Sebenarnya, sifat ini telah timbul secara turun temurun semenjak mereka menetap di Tanah Banjar lagi. Keadaan alam sekeliling di Tanah Banjar yang penuh dengan hutan belukar dan binatang buas menjadikan mereka sentiasa berhadapan dengan cabaran dan halangan dalam meneruskan kehidupan mereka. Orang-orang yang berniaga pula sering berhadapan dengan lanun dan perompak memerlukan mereka sentiasa bertenaga dan bersedia untuk bertarung dengan pihak musuh. Perkara ini juga telah menyebabkan mereka suka menuntut ilmu-ilmu persilatan daripada pendekar-pendekar tempatan mahupun luar. Keadaan ini terbawa-bawa dan akhirnya telah menjadi sifat dan perangai mereka sehingga sekarang walaupun semakin berkurangan. Ciri-ciri ini jugalah yang sebenarnya menjadi penyebab kepada pergaduhan yang telah timbul di kawasan petempatan orang Banjar seperti di Sungai Manik, Teluk Intan, Perak pada tahun 1940an dan 1960an mahupun di Batu Pahat, Johor pada 13 Mei 1969, atas gabungan sifat mereka yang kuat pegangan agama dan berani serta pemanas.

Orang Banjar kini

Kini, orang Banjar di Malaysia sebagaimana masyarakat-masyarakat penghijrah dari Indonesia yang lain seperti orang Jawa, Bugis, Mendailing, Rawa, Kerinchi, Batak, Minangkabau dan lain-lain lagi, telah mengalami arus perubahan yang pesat seiring dengan kepesatan pembangunan di negara ini sendiri. Proses asimilasi yang berlaku ke atas masyarakat ini amat ketara terutama apabila mereka sudah tidak tinggal lagi bersama-sama dalam kelompok mereka mahupun apabila berlakunya perkahwinan campur. Program pendidikan di negara ini juga sedikit sebanyak telah mengasimilasikan masyarakat ini ke dalam masyarakat Melayu tempatan. Generasi muda masyarakat ini sudah agak kurang mahupun tidak tahu atau malu untuk bertutur dalam bahasa Banjar walaupun ketika berbicara sesama mereka.

Sifat mereka yang suka merantau masih membara dijiwa mereka. Buktinya, apabila adanya pembukaan tanah-tanah rancangan sama ada oleh FELDA mahupun FELCRA, mereka akan memberikan sambutan yang menggalakkan untuk menjadi peserta. Kini, orang Banjar juga banyak didapati di kawasan-kawasan tanah rancangan contohnya di negeri Pahang.

Di petempatan yang majoritinya adalah terdiri daripada masyarakat Banjar, Perpaduan mereka masih erat dan mereka masih terus memelihara dan menggunakan bahasa Banjar dalam pertuturan harian. Namun, dari segi pengamalaan adat resam dan organisasi sosial orang Banjar serta prasangkanya terhadap orang bukan Banjar sudah agak berkurangan dan mungkin sudah tiada lagi. Sikap mereka terhadap pendidikan juga telah jauh berubah di mana anak-anak mereka juga telah berjaya melanjutkan pelajaran sehingga ke menara gading dan menjawat jawatan-jawatan yang tinggi di sektor awam mahupun swasta. Namun begitu, pendidikan agama masih tetap menjadi pilihan utama kebanyakan dari mereka dan buktinya dapat di perhatikan daripada ramainya anak-anak masyarakat ini yang mempunyai kelulusan agama yang tinggi terutama orang Banjar dari daerah Kerian, Perak dan daerah Sabak Bernam di Selangor.

Along Putera

MENGUNGKAP KEBARADAAN KOMUNITAS SUKU BANJAR TEMBILAHAN RIAU

 Sekelompok warga bergerombol dan sambil berjongkok menikmati masakan suku Banjar, Laksa di salah sebuah kedai (warung) makanan di tengah kota Tembilahan, ibukota Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau, Pulau Sumatera.
 Sementara beberapa wanita nengenakan jilbab berpakaian kemeja panjang mententeng kresek pelastik berisikan kue khas suku Banjar pula seperti kraraban, untuk-untuk, gambung, gegatas, kelapon  dan lainnya setelah mebeli di kedai sebelah warung laksa itu.
 Gurauan antara para pedagang serta para pembeli di beberapa kedai di Bilangan Parit 15 Tembilahan Hilir tersebut menunjukkan bahwa mereka bersuku Banjar, karena bahasa yang digunakan benar-benar berdialek suku Banjar terutama Banjar Pahuluan.
 Ketika penulis menghampiri sekelompok ibu-ibu itu serentak mereka terhenyak, namun seketika itu pula penulis mengenalkan diri bahwa berasal dari kota Banjarmasin, ibukota Kalsel yang merupakan wilayah komunitas suku banjar bermukim sekarang ini.
 Dari beberapa keterangan di kedai di pinggir Sungai Indragiri tersebut terungkap bahwa budaya mengolah masakan khas Banjar serta kue-kue tersebut sudah ada sejak ratusan tahun silam.

tembilahan.jpg Penulis bersama keluarga di jembatan kilo lima Rumbai, Tembilahan
 Budaya membuat masakan dan kue tersebut diperoleh dari generasi sekarang dari beberapa generasi sebelumnya yang telah tinggal secara turun=temurun di kawasan yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari semenanjung Malaysia dan Singapura itu.
 Berdasarkan keterangan itu, bukan hanya kue-kue Banjar yang tetap lestari di tengah pemukiman suku Banjar perantuan ini tetapi juga makanan dan lauk-pauk lainnya.
 Sebagai contoh saja, masih terlihat dihidangkan gangan (gulai) humbut, gangan keladi, gangan waluh, gangan karuh, sayur bening oleh keluarga-keluarga di kota berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa tersebut
 Begitu juga terlihat papuyu baubar (bakar), gabus baubar, iwak karing (ikan asin) sepat, masak habang haruan atau telur, iwak bapais (pepes ikan) dan masakan khas Banjar lainnya.
 Hanya saja, kata Haji Nurjanah (65 th) nenek tua asli suku Banjar, beberapa masakah khas Banjar lainnya sudah mulai tidak diminati generasi muda sekarang ini.
 “Saya kemarin mencoba membuat mandai (kulit cempedak dipermentasi) penuh satu kuali, karena hanya saya yang doyan makan mandai itu,  akhirnya sebagian terbuang, sementara anak dan cucu sudah kurang suka,” kata nenek yang mengaku tidak pernah satu kalipun menginjak tanah Banjar di Kalimantan Selatan.
 Bukan hanya masakan suku Banjar yang tetap lestari di kawasan luas berawa-rawa indragiri ini, tetapi juga cara hidup keseharian lainnya hampir tak berbeda dengan kebanyakan suku banjar yang tinggal di pahuluan Kalsel, (Banua lima: lima kabupaten Utara Kalsel).
 Cara mereka bercocok tanam tak ada perubahan, yakni dengan menyiapkan lahan, menyiapkan benih, serta cara mereka panen.
 Kehidupan beragama terlihat begitu kental di kalangan komunitas ini, dimana hampir terlihat masjid, surau, dipenuhi warga dan ditengah antara shalat magrib dan isha selalu diisi dengan ceramah menggunakan bahasa Banjar pula.
 Seorang tokoh Banjar yang tinggal di Pekanbaru propinsi Riau, Bandrun A Saleh yang sekarang menjabat sebagai anggota DPRD Riau ketika malam silaturahmi antara warga suku Banjar pekanbaru dengan para wartawan Kalsel dan Kalteng yang mengikuti Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) mengakui budaya Banjar di tembilahan masih sangat kuat.
 Selain Badrun A Saleh yang berada diacara silaturahmi yang dihadiri Kepala Badan Informasi Daerah Kalsel, Drs,Amanul Yakin dan para pengurus PWI Kalsel itu juga terdapat beberapa pejabat teras Pemko Pekanbaru dan Pemprop Riau yang hadir, karena memang bersuku banjar seperti Sekretaris Kota Pekanbaru dan sekretaris DPRD Riau.
 Badrun A Saleh yang asli Tembilahan ini menyebutkan bahwa budaya Banjar di kawasan masyarakat kampung halamannya ini memang sangat mendominasi, itu terlihat dalam kehidupan keseharian serta seni budayanya.
 Kesenian Banjar seperti Bamanda, Balamut, Madihin, Japen, masih sering dipentaskan pada acara-acara tertentu dalam kaitan perayaan hari besar, perayaan perkawinan, kenduri, atau bentuk hajatan yang lain selepas musim panen.
 Berdasarkan catatan, penduduk di Kabupaten Indragiri Hilir ini sekitar 560 ribu jiwa, 40 persen diantaranya adalah suku Banjar, disusul suku Melayu, Bugis, minang, Jawa serta etnis lainnya.
 Tetapi khusus kota Tembilahan, Sapat, Pulau Palas, Sungai Salak, Pangalehan,  suku banjar diperkirakan mencapai 70 persen.
 Keberadaan suku Banjar di tengah belantara Pulau Sumatera itu menurut tokoh yang pernah menjadi Plt Bupati Indragiri Hilir ini memang sulit diketahui secara pasti karena tak ada catatan atau sejarah yang menerangkan permasalahan tersebut.
 Tetapi berdasarkan penuturan orang tua dulu bahwa ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus sekitar abad ke-18 komunitas suku Banjar tersebut sudah berada du kawasan itu.
 Badrun menerangkan pula, bahwa pada awalnya keberadaan suku Banjar di kawasan ini bukan tujuan Tembilahan Riau, melainkan ke Batu Pahat Malaysia.
 Eksodos suku Banjar Pahuluan ke Batu Pahat tersebut pada awalnya didasari persoalan politis dimana ketika itu kawasan Banua Lima Kalsel sedang dilanda kekacauan lantaran kedatangan penjajah Belanda di kawasan itu.
 Ditambah begitu banyaknya aksi kekauan akibat gerombolan sehingga warga merasa tidak tetang dan didasari perasaaan tidak mau dijajah itulah para suku Banjar ini berimigrasi ke Batu Pahat Malaysia.
 Suku Banjar yang kebanyakan eksodos ke Sumatera tersebut berasal dari desa Kelua, Sungai Turak, Karias, Sungai Durian, Pimping, dan daerah lain di Hulu Sungai Utara, kemudian juga dari Paringin, Lampihong, Juai, Baruh Bahinu, Awayan di Balangan, beberapa desa di Barabai, Rantau, dan Kandangan.
 Setelah eksodos ke Batupahat terus bertambah akhirnya masyarakat suku Banjar ini mulai menyebar ke kawasan lain yang dianggap bisa memberikan penghidupan baru.
 Akhirnya pilihan suku banjar di perantuan ini jatuh ke wilayah Sapat Indragiri Hilir, karena alam di sekitar ini hampir serupa dengan Kalsel yaitu berawa-rawa Pasang surut. Bagi etnis lain sulit menggarap lahan semacam ini, kecuali terampil digarap suku Banjar asal Kalsel maupun suku Bugis asal Sulsel.
 Apalagi ketika itu di Sapat Indragiri Hulir ini telah bermukim seorang ulama besar asal Dalam Pagar Martapura Kalsel, KH Abdurahman Sidiq yang dikenal seorang wali yang setia mengajarkan ilmu agama Islam diperantauan tersebut.
 Setelah adanya ulama ini maka kian banyak warga Kalsel yang berpindah ke kawasan ini, bukan lagi sekedar faktor politis tetapi adalah faktor agama untuk mendalami ilmu agama Islam dengan ulama besar asal kota intan Martapura ini.
 Makam ulama besar di di Parit Hidayah Sapat ini sekarang menjadi objek wisata religus terutama oleh penziarah dari suku banjar baik warga lokal, maupun asal Kalsel serta daerah lain seperti dari Malaysia.
 Pemukin suku Banjar ini berhasil menggarap lahan pasang surut yang bergambut ini menjadi hamparan persawahan, disamping berkebun kelapa untuk dibuat kopra, serta berkebun kopi atau pinang.
 Pada kala itu harga kopra dari kelapa memang lagi baik, sehingga usaha “mangaring” (pemroses kelapa menjadi kopra) dianggap menguntungkan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
 Akhirnya usaha tersebut telah memancing kembali eksodos warga Kalsel ke Sumatera dengan alasan ekonomi yakni mencari kehidupan yang lebih baik dengan menggarap perkebunan kelapa secara besar-besaran di kawasan tersebut.
 Namun seiring perkembangan zaman ternyata berkebun kelapa sekarang ini sudah tidak menguntungkan lagi menyusul terjadinya perkebunan besar kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng, akhirnya kebun kelapa milik suku Banjar ini banyak yang tidak terpelihara selain harganya murah juga banyak pohon kelapa yang sudah tua sekali dan tidak produktif akhirnya ditinggalkan.
 Dengan demikian desa kebun kelapa yang tadinya berkembang menjadi kawasan pemukiman yang ramai berubah menjadi desa mati dabn ditinggalkan penduduknya.
 Penulis yang melakukan perjalanan dengan wartawan Barito Post untuk menyusuri desa-desa pemukiman suku banjar indragiri ini menmukan desa Sungai Ambat kecamatan Enok yang dulu ramai sekarang menjadi desa mati dan sepi dan di desa tersebut tertinggal sekitar 100 rumah saja lagi.
 Padahal dulu sekitar tahun 50-an Sungai Ambat adalah termasuk pusat kosentrasi suku Banjar perantauan, disana terdapat pertokoan, pasar, serta terdapat para tukeh (saudagar kopra) berniaga di sana.
 Dulu menuju Sungai Ambat hanya bisa dilalui lewat sungai melalui Kuala Enok atau di kecamatan Enok, tetapi sekarang sudah bisa dijangkau kendaraan setelah dibangun jalan besar antara Tembilahan menuju Kuala Enok, jalan tersebut sekarang baru pengerasan dan belum pengaspalan. Perjalanan menuju Sungai Ambat dari Tembilahan selama dua jam.
 Selain di desa-desa di tepian sungai Indragiri dan Sungai Enak warga suku Banjar  juga terdapat di parit-parit (anak-anak sungai) yang banyak terdapat di kawasan ini
 Berdasarkan keterangan, warga di berbagai desa suku Banjar ini sudah banyak yang meninggalkan desa mereka menyusul usaha kelapa tidak menguntungkan lagi, mereka banyak yang menyebar bukan hanya ke kota-kota lain di sekitar indragiri tetapi tak sedikit yang lari ke Batam, Jambi, Pekanbaru, Medan, Malaysia, Singapura serta kota Tembilahan sendiri.
 Bahkan ada yang kembali ke tanah leluhur Kalimantan Selatan, kata beberapa warga desa Sungai Ambat.
 Dari banyak pelarian suku Banjar ke berbagai kota di sana ternyata banyak yang berhasil, bukan hanya menjadi pejabat sipil dan ABRI, pedagang, serta wiraswasta dan lainnya.
 Hanya saja dari keturunan suku Banjar sekarang sudah banyak yang mengalami pembaharuan dengan kawin dengan suku=suku  lain seperti kawin dengan suku Melayu, Minang, Bugis, Batak, Jawa hingga keturunan belakangan tidak asli lagi dari suku banjar.
 Di kota Batam yang hanya dijangkau tiga jam setengah naik spedboat dari Tembilahan banyak sekali suku Banjar, tetapi sulit diketahui keberadaan mereka sebab sudah menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.
 Berdasarkan keterangan lagi suku Banjar di Sumatera khususnya Riau terdapat di Tembilahan, Pulau Palas, Sungai Salak, Pangalehan, Kuala Enok, Sapat, Enok, Kapal Pacah, kemudian di Rengat, Pekanbaru, Bengkalis dan daerah lainnya.
 Sementara di Propinsi Jambi suku Banjar terkosentrasi di Kuala Tungkal, di Sumatera Utara terdapat di Kampung Banjar Binjai dan Deli Serdang.
 Walau penyebaran suku Banjar di Sumatera mulai meluas tetapi di kawasan  Tembilahan Indragiri Hilir kosentrasi suku Banjar tetap kuat, bahkan hubungan emosional antara Kalsel dan Tembilahan tetap terjaga dengan baik.
 Tukar menukar seni budaya antara Tembikahan dan kota Banjarmasin terus terjadi, bahkan beberapa ulama kharismatik Kalsel secara berkala di undang berceramah di kota tembilahan ini, seperti ulama Haji Bakeri yang beberapa kali diundang pada malam tahun baru Islam.
 Keberadaan ulama kharismatik, Haji Zaini Ganie sekumpul Martapura juga sering mengusik warga Tembilahan untuk pulang kampung ke Kalsel, khususnya untuk mengikuti pengajian KH Zaini Ganie yang lajim disebut guru sekumpul itu, terutama pada malam nispu sa.ban.
 “Banyak sekali orang kita di Sungai salak dan Tembilahan yang rutin mengikuti pengajian guru sekumpul Martapura, khususnya pada malam nispu sa’ban,” kata Nurdin penduduk Sungai Salak 30 km dari Tembilahan.
 Bukti dikenalnya secara meluas guru sekumpul ini adalah begitu banyaknya foto ulama besar Kalsel ini yang berada di dinding dinding rumah penduduk, begitu juga kaset rekaman maulid habsyi yang dibawakan guru sekumpul sering berkumandang di rumah penduduk atau di pusat pasar penjualan kaset.
 Selain itu, terdengar banyak omongan anak muda Tembilahan yang ingin mendalami berbagai ilmu ke tanah leluhurnya di Kalsel, selain mendalami ilmu agama Islam juga ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu bela diri, ilmu kekebalan, ilmu pesugihan, atau ilmu kebibinian (ilmu memikat perempuan).
 Karena dalam imige kaum muda suku banjar di kawasan Tembilahan ini ilmu-ilmu tersebut di atas paling baik atau lebih hebat kalau mendalami di daerah tanah leluhur mereka sendiri.

 

Bahasa Banjar jadi bahasa seharihari di Tembilahan

 Banjarmasin,31/10 (ANTARA)- Bupati Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) Propinsi Riau, Haji Indra Muchlis Adnan,SH mengungkapkan bahasa Banjar yang merupakan bahasa suku terbesar di Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi bahasa sehari-hari warga wilayahnya.
     “Di tempat kami, orang China, Jawa, Melayu, Padang, Bugis, dan suku lainnya menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa sehar-hari,” kata Indra Muchlis Adnan kepada peserta seminar mengenai budaya Banjar, dalam kaitan Kongres Budaya Banjar ke-I, di Banjarmasin, Selasa.
     Bupati Inhil dalam seminar tersebut menyajikan makalah berjudul “tradisi Madam Orang Banjar” dihadapan peserta yang berasal dari kalangan tokoh Suku Banjar, dari Kalsel sendiri, Kalteng, Kaltim, Jakarta, jogyakarta, Surabaya, Langkat Sumatera Utara, Tembilahan Riau, serta dari negara Selangor, Pahang, Negeri sembilan Malaysia.
     Orang nomor satu Inhil yang datan ke Banjarmasin beserta rombongan dari kalangan pejabat Pemkab Inhil itu menyebutkan bahasa Banjar digunakan di kawasan itu sebagai bahasa sehar-hari lantaran penduduk suku Banjar mendominasi masyarakat yang hedrogen di kawasan pesisir Riau itu.
     Menurutnya Suku Banjar sudah berada di wilayah Inhil sejak ratusan tahun lalu mungkin sudah empat generasi, dan membuka lahan persawahan dan pemkiman di berbagai wilayah di kawasan itu.
     kedatangan suku Banjar yang di wilayah produksi kopra terbesar Riau tersebut, lantaran berbagai alasan, tetapi kalau dilihat sejarahnya hanya terdapat beberapa alasan.
     Alasan pertama kedatangan Sku Banjar ke Tembilahan karena ingin berguru ilmu agama Islam kepada pada ulama-ulama yang ada di wilayah ini.
     Alasan lain adalah untuk memuka lahan pertanian karena lahan rawa yang ada di inhil menerupai lahan rawa ang ada di Kalsel, sehingga warga Banjar pendanag itu mudah menggarap lahan itu ketimbang suku-suku lainnya.
     Kemudian alasan yang lain lagi adalah berniaga atau berdagang karena Tembilahan merupakan kawasan yang berdekatan dengan Singapura atau kota-kota lain di Sumatera atau Malaysia.
    “Orang-orang  suku Banjar waktu dulu termasuk orang yang “jagau” (pemberani), dan selalu membawa pisau kena-mana, tetapi sekarang kebiasaan membawa pisau sudah berubah, dan kini sudah suka membawa pulpen, komputer, lap top, dan banyak dari mereka menjadi kalangan birokrat dan pengusaha yang mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan Inhil,” kata bupati yang masih muda tersebut.
    Mengenai kongres Budaya Banjar ini ia menilai meupaan kegiatan positip untk membahas berbagai kebudayaan Banjar, khususnya bahasa Banjar agar tideak punah, karena bila bahasa Banjar punah maka berarti suku ini sudah tidak ada lagi.
    Kongres Budaya Banjar tersebut dibuka oleh Gubenur Kalsel, Drs.Rudy Ariffin, Senin malam (30/10) dan akan berakhir pada Rabu (1/11) menyajikan beberapa pembicara antara lain pedagang intan perintis komunitas warga Banjar di Kesultnanan Jogyakarta, Sastra Banjar guna Meningkatkan Apresiasi Genarasi Muda, Kesenian Rakyat Banjar dan lain-lain

 

Konon sudah lebih dari 5 generasi urang banjar yang madam, migrasi, ’terdampar’ di Tembilahan. Sebenarnya bukan hanya di Tembilahan sebaran warga banjar di nusantara. Paling tidak di Sumatera ada di Tembilahan (Kab. Indragiri Hilir), Kuala Tungkal (Kab. Tanjung Jabung – Jambi), juga di Kab. Deli Serdang – Kab. Serdang Bedagai – Kab. Langkat di Sumut., bahkan di Singapura dan Malaysia (khususnya Batu Pahat).

 

 ASAL USUL SUKU BANJAR KE SUMATERA DAN MALAYSIA

Suku Banjar yang tinggal di Sumatera dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar. Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kerajaan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kerajaan Banjar karena sebagai musuh politik mereka sudah dijatuhi hukuman mati. Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar. Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi Raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan Belanda.

Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa, raja Indragiri sebelum raja yang terakhir. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura, Banjar yang menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.

Dalam masa-masa tersebut, suku Banjar juga bermigrasi ke Malaysia antara lain ke negeri Kedah, Perak ( Kerian, Sungai Manik, Bagan Datoh), Selangor(Sabak Bernam, Tanjung Karang), Johor(Batu Pahat) dan juga negeri Sabah (Sandakan, Tenom, Keningau, Tawau) yang disebut Banjar Melau. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari Malaysia adalah Syekh Husein Kedah Al Banjari, mufti Kerajaan Kedah. Salah satu etnis tokoh Banjar dari Malaysia yang terkenal saat ini adalah Dato Seri (DR) Harussani bin Haji Zakaria yang menjadi Mufti Kerajaan Negeri Perak. Daerah (setingkat kabupaten) yang paling banyak terdapat etnis Banjar di Malaysia adalah Daerah Kerian di Negeri Perak Darul Ridzuan.
(sumb:salah satu situs)

 

 

 

CATATAN PERJALANAN, Mailangi Dangsanak di Tembilahan 
Minggu, 23-09-2007 | 01:36:38 
UNTUK memberikan apresiasi dan reaktualisasi budaya Banjar, Majelis Paripurna Lembaga Budaya Banjar (LBB) Kalsel memberikan gelar kehormatan kepada Gubernur Riau, HM Rusli Zaenal dan Bupati Indragiri Hilir, H Indra Muchlis Adnan, akhir Agustus 2007 lalu di Pekanbaru.

Kegiatan ini tentu saja menjadi ajang budaya akbar. Untuk berbagi pengalaman, peserta yang juga budayawan Banjar, H Syamsiar Seman akan menguraikan perjalanannya dalam kunjungannya ke pusat kebudayaan Banjar di Tembilahan Riau dalam tulisan berikut.

Kota Tembilahan, Riau sangat dikenal oleh orang Banjar di Kalsel. Sebagai wadah madam sejak ratusan tahun  lalu, banyak warga Banjar sudah tinggal di tempat tersebut secara turun temurun dalam beberapa generasi.

Kabupaten Indragiri Hilir dengan ibukotanya Tembilahan ini merupakan salah satu dari sebelas kabupaten Provinsi Riau yang berada di posisi selatan. Daerah ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat dengan mobil dari Riau selama tujuh jam.

Kondisi alam baik Pekanbaru maupun Riau tak jauh berbeda dengan Kalsel, baik sungai dan floranya. Kondisi inilah yang memungkinkan orang-orang Banjar yang madam ke Tambilahan merasa betah bertani dan berkebun di sana.

Indragiri Hilir berpenduduk sekitar 639.450 jiwa yang diperkirakan warga Banjarnya sebanyak 242.991 jiwa yang tersebar di 20 buah kecamatan dan 192 desa.

Warga Banjar atau keturunan orang Banjar yang menjadi penduduk disini adalah di Kecamatan Tembilahan, Tampuling, Enok, Batang Tuaka, Gaung Anak Serka, Gaung, Tanah Merah serta Kuala Indragiri.

Dari delapan kecamatan yang dihuni warga Banjar tersebut, dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Banjar sebagai bahasa pengantar.

Seluruh penduduk di Tembilahan berbahasa sehari-hari dengan Bahasa Banjar dan cenderung dengan dialek Pahuluan. Uniknya, penduduk asal Bugis, Jawa dan Cina yang ada di daerah tersebut juga berkomunikasi dengan Bahasa Banjar.

Apalagi di Pasar Tembilahan yang pedagangnya justru banyak orang keturunan Banjar, pembicaraan dalam interaksi jual beli kedengaran barucau dalam Bahasa Banjar Urang Pahuluan. */ncu/bpost

BAHASA BANJAR JADI BAHASA SEHARI-HARI WARGA TEMBILAHAN

     Banjarmasin,31/10 (ANTARA)- Bupati Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) Propinsi Riau, Haji Indra Muchlis Adnan,SH mengungkapkan bahasa Banjar yang merupakan bahasa suku terbesar di Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi bahasa sehari-hari warga wilayahnya.
     “Di tempat kami, orang China, Jawa, Melayu, Padang, Bugis, dan suku lainnya menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa sehar-hari,” kata Indra Muchlis Adnan kepada peserta seminar mengenai budaya Banjar, dalam kaitan Kongres Budaya Banjar ke-I, di Banjarmasin, Selasa.
     Bupati Inhil dalam seminar tersebut menyajikan makalah berjudul “tradisi Madam Orang Banjar” dihadapan peserta yang berasal dari kalangan tokoh Suku Banjar, dari Kalsel sendiri, Kalteng, Kaltim, Jakarta, jogyakarta, Surabaya, Langkat Sumatera Utara, Tembilahan Riau, serta dari negara Selangor, Pahang, Negeri sembilan Malaysia.
     Orang nomor satu Inhil yang datan ke Banjarmasin beserta rombongan dari kalangan pejabat Pemkab Inhil itu menyebutkan bahasa Banjar digunakan di kawasan itu sebagai bahasa sehar-hari lantaran penduduk suku Banjar mendominasi masyarakat yang hedrogen di kawasan pesisir Riau itu.
     Menurutnya Suku Banjar sudah berada di wilayah Inhil sejak ratusan tahun lalu mungkin sudah empat generasi, dan membuka lahan persawahan dan pemkiman di berbagai wilayah di kawasan itu.
     kedatangan suku Banjar yang di wilayah produksi kopra terbesar Riau tersebut, lantaran berbagai alasan, tetapi kalau dilihat sejarahnya hanya terdapat beberapa alasan.
     Alasan pertama kedatangan Sku Banjar ke Tembilahan karena ingin berguru ilmu agama Islam kepada pada ulama-ulama yang ada di wilayah ini.
     Alasan lain adalah untuk memuka lahan pertanian karena lahan rawa yang ada di inhil menerupai lahan rawa ang ada di Kalsel, sehingga warga Banjar pendanag itu mudah menggarap lahan itu ketimbang suku-suku lainnya.
     Kemudian alasan yang lain lagi adalah berniaga atau berdagang karena Tembilahan merupakan kawasan yang berdekatan dengan Singapura atau kota-kota lain di Sumatera atau Malaysia.
    “Orang-orang  suku Banjar waktu dulu termasuk orang yang “jagau” (pemberani), dan selalu membawa pisau kena-mana, tetapi sekarang kebiasaan membawa pisau sudah berubah, dan kini sudah suka membawa pulpen, komputer, lap top, dan banyak dari mereka menjadi kalangan birokrat dan pengusaha yang mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan Inhil,” kata bupati yang masih muda tersebut.
    Mengenai kongres Budaya Banjar ini ia menilai meupaan kegiatan positip untk membahas berbagai kebudayaan Banjar, khususnya bahasa Banjar agar tideak punah, karena bila bahasa Banjar punah maka berarti suku ini sudah tidak ada lagi.
    Kongres Budaya Banjar tersebut dibuka oleh Gubenur Kalsel, Drs.Rudy Ariffin, Senin malam (30/10) dan akan berakhir pada Rabu (1/11) menyajikan beberapa pembicara antara lain pedagang intan perintis komunitas warga Banjar di Kesultnanan Jogyakarta, Sastra Banjar guna Meningkatkan Apresiasi Genarasi Muda, Kesenian Rakyat Banjar dan lain-lain

KAMUS BAHASA BANJAR

  • arai (Banjar Hulu), himung (Banjar Kuala); artinya gembira
  • hagan (Banjar Hulu), gasan (Banjar Kuala); artinya untuk
  • tiring (Banjar Hulu), lihat (Banjar Kuala); artinya melihat
  • bungas (Banjar Hulu), langkar (Banjar Kuala); artinya cantik
  • tingau (Banjar Hulu), lihat (Banjar Kuala); artinya toleh, lihat
  • balalah (Banjar Hulu), bakunjang (Banjar Kuala); artinya bepergian
  • lingir (Banjar Hulu), tuang (Banjar Kuala); artinya tuang
  • tuti (Banjar Hulu), tadi (Banjar Kuala); artinya tadi
  • ba-ugah (Banjar Hulu), ba-jauh (Banjar Kuala); artinya menjauh
  • macal (Banjar Hulu), nakal (Banjar Kuala); artinya nakal
  • balai (Banjar Hulu), langgar (Banjar Kuala); artinya surau
  • tutui (Banjar Hulu), catuk (Banjar Kuala); artinya memukul dengan palu
  • tukui (Banjar Hulu), periksa (Banjar Kuala); artinya memeriksa
  • padu (Banjar Hulu), dapur (Banjar Kuala); artinya ruang dapur
  • kau’u (Banjar Hulu), nyawa (Banjar Kuala); artinya kamu
  • diaku (Banjar Hulu), unda (Banjar Kuala); artinya aku
  • disia (Banjar Hulu), disini (Banjar Kuala); artinya disini
  • bat-ku (Banjar Hulu), ampun-ku (Banjar Kuala); artinya punya-ku
  • bibit (Banjar Hulu), ambil (Banjar Kuala); artinya ambil
  • ba-cakut (Banjar Hulu), ba-kalahi (Banjar Kuala); artinya berkelahi
  • diang (Banjar Hulu), galuh (Banjar Kuala); artinya panggilan anak perempuan
  • nini laki (Banjar Hulu), kayi (Banjar Kuala); artinya kakek
  • utuh (Banjar Hulu), nanang (Banjar Kuala); artinya panggilan anak lelaki
  • uma (Banjar Hulu), mama (Banjar Kuala); artinya ibu
  • hingkat (Banjar Hulu), kawa (Banjar Kuala); artinya dapat, bisa
  • puga (Banjar Hulu), hanyar (Banjar Kuala); artinya baru
  • salukut (Banjar Hulu), bakar (Banjar Kuala); artinya bakar
  • kasalukutan, kamandahan (Banjar Hulu), kagusangan (Banjar Kuala); artinya kebakaran
  • tajua (Banjar Hulu), ampih (Banjar Kuala); artinya berhenti
  • bapandir (Banjar Hulu), bepéndér (Banjar Kuala); artinya berbicara
  • acil laki (Banjar Hulu), amang, paman (Banjar Kuala); artinya paman
  • A
    abut – membuat kerja dengan tenang
    acan – belacan
    ading – adik
    alun – lemah lembut
    ambin – pelantar rumah
    ambung – lambung
    ampal – masakan ayam/ daging dipotong besar
    ampar – hampar
    ampih – berhenti, sembuh
    ampik – tepuk tangan
    ampun – empunya
    amun/ mun – jika
    ancak – tempat barang dibelakang basikal
    ancap – cepat
    andak – letak
    andika – awak, panggilan hormat
    andin – rambut kanak-kanak yang dibotakkan dan ditinggal sedikit didepan atau belakang
    anjung – julang
    angkal – tidak dalam, tidak serius
    angkung –
    antal – rasa tak puas
    anum – muda
    apik – cermat
    arai – seronok
    arang – tanah yang tidak diusahakan/ terbiar
    aruh – kenduri
    arum – harum
    asaan – malu-malu
    asap – sampai hati
    atang – tempat memasak (dapur kayu)
    atar – hantar
    atawa -atau
    atoi – tok mudim
    auhi – panggil, jerit
    aur – sibuk bekerja, ganggu
    awak – badan
    awan/ lawan/ wan – dan, dengan
    awau – gema
    awit – tahan lama
    ayuha – marilah

    B
    baaci – memulakan kerja dengan bersungguh-sungguh
    baal – lembap
    baampik – bertepuk tangan
    baasa – mula semula
    baasaan – was-was, rasa malu
    baastilah – membuat dengan persediaan cukup
    baatui – bertenggung ditepi
    babacaan – majlis pelajaran agama
    babahup – berkongsi
    babak – buka ikatan/jahitan
    babat – ikat
    babaya – sekadar cukup
    bacalumut – comot
    bacuring – kotor, tanda bergaris-garis
    bacurit – bertanda sedikit seperti garisan
    badadas – pergi dengan cepat, tergesa-gesa
    badapatan – bertemu
    badarau – gotong-royong, dengan serentak
    bagadang – bersembang waktu malam
    bagamat – perlahan
    bagana – diam/ tempat tinggal
    bagarit – memburu
    bagaya – bergurau
    bagirap – bercahaya
    bagurai – berguris kerana luka atau dicakar
    bahalulong – melolong
    bahambur – bertabur, buat sampah
    bahandung – bersandar
    bahanu – kadang-kadang
    bahari – zaman dulu
    bahaul – kenduri arwah
    bahimat – bersungguh-sungguh
    bahinak – bernafas
    bahinip – menyembunyikan diri
    bahira – buang air besar
    bahiri – iri hati
    bahual –
    bahum – ikut suka hati
    baigal – menari-nari
    baimbai/ baumbai – bersama-sama
    bair – seret
    baisi – mempunyai
    baistilah – bersedia dengan perancangan cukup
    baisukan – pagi-pagi esok
    baisur – memohon diri untuk pulang
    bajarijihan – melilih, menitik-nitik
    bajalikat – melekit-lekit
    bajaruhutan – banyak benda bergantungan
    bajungkuk – membongkok
    bajurut – berderet
    bakajal – bersempit-sempit
    bakajut – serta merta
    bakakat – merangkak
    bakamih – kencing
    bakarat – berkelahi
    bakarik – habis licin
    bakarimut – kumat-kamit
    bakawak – berkeladak
    bakikis – majlis becukur rambaut dan menamakan anak yang baru lahir
    bakipuh – rasa kepanasan
    bakirik – rasa seram, takut
    bakuciak/ bakuriak – menjerit
    bakulim – berdalih, merahsiakan
    bakumpul – bersama suami isteri
    bakunyung – berenang
    bakuya – mengadu, memberitahu
    bakuriak – menjerit
    balalah – berjalan-jalan/ bersia-siar
    balampas – tidur tanpa tilam, kelambu dll.
    balanak – tanah lembik kerana hujan/berair
    balancat – celah jari luka kerana air
    balapak – duduk dilantai /diatas tanah
    balar – calar
    balarangan – bertunang
    balimbai – dengan tangan kosong, berlenggang
    balungan hayam – sejenis kuih
    bamamai – marah-marah
    bamamang – bercakap seorang diri
    bamandak – berhenti
    banam – bakar
    bancir – pondan
    bangas – bau masam kerana terlalu lama terendam
    bangat – sangat
    bangkang – merekah
    bangkat – reban ayam
    bangking – tak menjadi (kuih), terencat
    banih – padi
    banjur – taut, alat mengail ikan
    bantas – makan dengan lahap/ kemaruk
    bantat – muka sembam
    banturan – tempat turun air pada atap
    banyu – air
    bapadaan – kita sesama kita
    bapadah – memberitahu
    bapala – melampau
    bapalihan – tidak menyeluruh, berpilih-pilih
    bapangsar – merasa terlalu sakit
    bapara – datang meminang
    bapiit – menyembunyikan/ memencilkan diri
    bapiluk – membelok
    bapira – cantik diluar berulat didalam
    barabah – baring
    barang-barang – 1. sembarangan 2. memerang
    baranga – lalat
    barantuk – bersusun
    barataan – semuanya (orang)
    barikit – bergetah, melekit
    baririt – beratur panjang
    barujihan/ bajarijihan – berbiuh
    barumahan – bawah rumah
    basanga – goreng
    basaruan – menjemput
    basasadi – sedang bersedia
    basilih – tukar pakaian
    basiping –
    basiraput – berserabut
    basurah – bercakap
    basusurung – sedang menghidangkan makanan
    bat – kepunyaan, hak
    batabul – berpulau-pulau, tidak rata
    batagar – berkarat
    batahar – bersepah
    batahuan – mengenal antara satu sama lain
    batakun – bertanya
    batalimpuh – duduk bersimpuh
    batamuas – membasuh muka
    batandik – menari
    batanisan – menjejih, berair (sedikit) spt luka
    batata – menyusun
    batatapas – sedang mencuci kain
    batatukar – membeli belah
    batianan – mengandung
    batil – sejenis kuih, bingka pisang
    bating – kuih tak menjadi
    batubal – tanda bercapuk/bertompok pada kain dsb.
    batuha – semakin tua
    batumang – ubi yang ada bekas berulat
    batumin – memasang kuda-kuda untuk memulakan kerja.
    batunga – menengadah keatas
    batuyuk – melambak
    bauku – budak kecil baru pandai ketawa
    baulih – dapat sesuatu
    baungal – bergerak
    baunggal – longgar
    baupang – berpegang
    bawarangan – berbesan
    bayaan – sebaya
    bayir – heret
    bayut – orang yang lembab
    beluru – pedal ayam
    bibis – sakit perut, gastrik
    bibit – ambil
    bida – beza
    biding – bersegi (bahagian luar), bingkai
    bigi – biji
    bikut – dipulaukan, boycot
    bilang – melampau
    bilung – keadaan senget dan bergulung
    bilungka/balungka – timun karayi
    bingsul – keluar
    bincul – benjol
    bingkawan – tulang kayu membuat atap
    bingking – bergaya, bersolek
    bini – isteri
    bisa – boleh, pandai
    biskar – basikal
    bitau – bodoh
    biyal – tanda kerana digigit nyamuk atau binatang
    biyuku – penyu
    buat – masukkan
    bubuhan – kaum keluarga, kalangan
    bubungan – bumbung
    bubus – bocor atau koyak yang besar
    budas – membuta tuli?
    bujur – betul, benar
    bukah – berlari
    bulik – balik
    bumbunan – ubun-ubun
    bungas – cantik, anggun
    bungkam – terpaku/ terdiam
    bungkas – terbuka ikatan kerana terlalu besar/ penuh
    bungul – bodoh
    burinik – tanda-tanda, buih kecil
    buris – buncit
    buting – bilangan barang
    buyut – cicit
     
    C
    cabur – terjun dalam air
    cacak – pacak / cicak
    cacap – cecah
    cagar – agar, supaya
    cagat – tegak
    cakah – sombong
    cakang – cabang
    calap – rendam
    caluk – seluk
    cangkal – cekal
    cangkir – cawan
    cangul – menampakkan muka
    cantung – side burn
    caram – banjir (sedikit), ditengeelami air
    carubu – mencarut
    catuk – ketuk
    cibuk – ceduk air
    cileng – tenung dengan mata terbeliak kerana marah
    cingkoi – tak berdaya
    cirat – cerek
    culup – celup
    cuntan – curi
    curik – telinga bernanah
    cuur – bertanya asal usul salasilah keluarga
    A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z Si-Palui
    D
    dadai – sidai
    dadaian – ampaian
    dadang – dipanaskan berdekatan dengan api
    daham – jangan
    damaran – lampu panjut yang dipasang pada malam likur
    damia – begini
    damintu – begitu
    damit – kecil
    dangkak – mencangkong
    dangkung – bahagian depan kaki
    dauh – beduk, gendang besar
    diang – nama umum bagi budak perempuan
    dimapa – bagaimana
    dingsanak – adik beradik
    dipalar – dijimat
    diparung – dipanggang
    disasala – dicelah-celah
    diulah – dibuat
    dudi – kemudian
    duduaruh – hari sebelum hari kenduri kawin
    dugal – bodoh alang
    G
    gabang – kain selimut
    gaduk – besar
    gadur – tempayan kecil bermulut besar
    gagahap – terbuka
    gagatas – sejenis kuih
    gagau – mencari sesuatu menggunakan tangan
    gahak – kuat makan, selera besar
    gair – gayat, ngeri
    galianan – geli
    galir – longgar
    galiyur-galiyur – mundar-mandir
    galah – halau
    galuh – nama umum bagi budak perempuan
    gamat – perlahan
    gamit – cuit
    gampir – berpasangan
    gampiran – pasangan, pengikut
    ganal – besar
    gancang – kuat
    gangan – kuah
    gani’i – tolong, bantu
    gantal – potong melintang dengan parang
    ganyir – hanyir
    gapit – kepit
    garih – siang ikan, dll
    garing – demam
    garingitan – geram
    garitik – berdetik
    garutuk – bunyi perlahan
    gasan – untuk
    gatuk – senggol,
    gawi – kerja
    gawil – cuit
    gayat – potong melintang (biasanya benda besar)
    gayur – lemah/ lembik (orang)
    gelitiran – menggigil
    geol-geol – keadan yang bergoyang / longgar
    gerinting – ikan kering
    gerudihan – selekeh
    gibit – cubit
    gigir – bising, kecoh
    gigitak/bibitak – labah-labah
    gimit – perlahan
    gin – juga
    gipih – pipih
    girek – tayar
    gisang – tenyeh
    giwang – joran
    gubih – besar dan longgar (pakaian)
    gugut – gigit, gonggong??
    guha – gua
    gulu – leher
    gumbang – tempayan
    gunggum – angkup, plier
    guri – tempayan
    guring – tidur
    gusari – ditegur, dileter
    gutak – digoyang dengan kuat

    H
    habang – merah
    habuk – kelabu/ coklat
    hadang – tunggu
    hagan – untuk
    hagian – bahagian
    hahar – raba dengan kasar
    haja – sahaja
    hajan – teran
    hakun – setuju
    halam – dahulu
    halapat – dicelah-celah, diantara
    halar – kepak
    halat – selang, dipisahkan oleh sesuatu
    halilipan – lipan
    halimanyar – binatang macam lipan, kecil dan bercahaya
    halin – tidak banyak, susah diperolehi
    halui – kecil
    hambal – tilam/tikar tempat tidur
    hambalingan – tidur bergelimpangan
    hambat – pukul dengan tali/ rotan
    hambayutan – terkena kesannya
    hambin – dukung
    hampalingan – berserakan
    hampapai – jeruk kulit cempedak
    handap – pendek
    handayang – pelepah kelapa
    hangkup – hantuk
    hantalu/ hintalu – telur
    hantang – terdedah tidak bertutup/
    hantas – jalan pintas
    hantimun – timun
    hantup – 1. berlaga 2. makan dengan lahap (kata kasar)
    hanyar – baru
    hapak – 1. bau busuk 2. memburukkan/memperkecilkan orang lain
    hapat – bahagian
    hapuk –
    haragu – pelihara
    harakan – selsema
    haram – eram
    haran – banyak pakai
    harat – cantik, hebat
    haru – kacau
    haruk – busuk
    hatap – atap
    hawai – rasa keseorangan, sunyi
    hawar – 1. sejenis penyakit ayam 2. perbuatan menghayun sesuatu benda (galah)
    hawas – penglihatan baik
    hawat – lambat
    hayam – ayam
    hayau – rayau
    hayumu – hama, kuman
    hibak – penuh
    hidin/ sidin – dia, panggilan hormat
    higa – tepi
    hilai – menganginkan padi dengan nyiru untuk mengasingkan hampa.
    himui – malu
    himung – rasa seronok
    hinak – nafas
    hindik – tekan dengan menghentakan kaki/ badan
    hinggan – had, batasan
    hingkat – boleh, berupaya
    hingkul – kawasan kerja yang terlalu sempit.
    hinip – senyap
    hinya – biarkan
    hirang – hitam
    hirani – peduli
    hiring – menyenget
    hiyau – panggil
    hiyut – hisap
    hulun – menjadi hamba
    humap – rimas kerana panas
    humbang – baling
    humpil – umpil, cungkil
    hundang – udang
    hungkar – bongkar, dikeluarkan
    hungku/hangku – agaknya
    I
    idabul – idea, pendapat
    igut – gigit, sengat
    i-ilah – seperti
    ikam – awak
    ikung – ekor
    ikup – peluk
    ilah – seperti
    ilai – hayun tangan
    ilan – terjaga dari tidur
    ilang – melawat, ziarah
    ilat – lidah
    ilun – bunyi
    imat / imit – jimat
    imbah/ limbah – selepas itu, setelah selesai
    impu – mengasuh/memelihara bayi
    incaan – main-main/tiruan
    inci – pewarna makanan
    incit – secara sikit-sikit
    indap – hendap, intai
    indung – ibu
    ingar – terganggu
    inggang – keadaan yang tak tegap
    inggih – ya
    inggur – bergoyang, tak tegap
    ingkang – kelengkang
    ingu/ ingun – pelihara
    inguh – ada rasa
    injing – tarik /piat telinga
    intang – dekat
    intel – kedudukan hendak jatuh
    intoh – tahan disimpan
    inya – ia, dia
    itih – lihat dengan teliti
    iwak – ikan, lauk
    J
    jabis/jabik – jambang
    jabuk/japuk – reput
    jagau – jantan, jaguh
    jajak – pijak
    jaka – jika
    jamba – tangkap dengan cepat
    jamus – rambut tak bersikat
    janak – tidur lena
    janar – kunyit
    japai – pegang, sentuh
    jara – jeran, serik
    jarang – didih, jerang
    jatu – kutip
    jelukap – pokok pegaga
    jikin – alas periuk/kuali.
    jimus – basah kuyup
    jingkar – hampir mati
    jinting – jinjit.
    jubung – penuh membukit
    jugut – rambut panjang tak terurus
    juhut – tarik (benda panjang, spt tali, benang)
    jujuran – hantaran kawin
    jujut – jahit (benang)
    julak – bapa saudara
    julung – beri
    jumput – diambil dengan tangan
    junggat – jungkit
    juong – tolak
    jurai – menyirat jala / pukat
    jurak – jolok, kait
    K
    kabisaan – kepandaian, kemahiran
    kabungkalanan – tercekek
    kacak – ramas
    kacar – kecur, teringin
    kada – tidak
    kada tapi – tak berapa
    kadada – tidak ada
    kadal – daki
    kadap – gelap
    kadapan – longgaokan jerami padi
    kaganangan – teringat
    kaina – nanti dulu
    kair – kais mengunakan kayu dsb.
    kajal – sumbat, bersempit-sempit
    kacawaian – melambai-lambai
    kakadut – bungkusan kain yang diikat
    kakamban – selendang
    kakas – selongkar
    kakuar – galah
    kalacingan – anak ikan haruan
    kalapakan – melompat-lompat
    kalau (mangalau) – kaedah memancing ikan haruan
    kalibir – kulit
    kalimpanan – mata termasuk sampah
    kalipit – dilipat
    kalipitan – terdesak
    kalu – kalau
    kalum – terompah
    kalumpanan – terlupa
    kambang – bunga
    kambuh – campur
    kamir – adunan yang sudah naik
    kampil – beg
    kanas – nenas
    kancang – kencang, penuh, padat
    kancing – tutup (pintu, jendela)
    kancahungan – sebuk berborak/
    kancur – sejenis tumbuhan seperti halia
    kancur jerangau – saudara bau-bau bacang
    kandal – tebal
    kapiting – kunci mangga
    kapung – kejar
    karaing – orang yang suka bergaduh
    karamian – rasa seronok
    karamput – menipu
    karau – garang (orang), nasi keras
    karawila – petola
    karidipan – bergerak-gerak
    karik – habis
    karindangan – teringat-ingat, kerinduan
    karium – menahan ketawa
    kariup – dijerut, dicerut
    kariwitan – benda kecil panjang (spt cacing) yang sentiasa bergerak-gerak
    karubut-karubut – bergerak-gerak secara tersembunyi
    karucut – mengecut
    karudut – berkedut
    karukut – garu dengan kasar, cakar
    karumut – ruam panas
    karungkung – kulit keras
    kasai – sapu dengan ubat
    kasadakan – tersedak
    kasulitan – benda terselit dicelah gigi
    kasumba – pewarna kain/makanan
    kataraan – tempat ayam mengeram
    katik – picit butang
    katiwa (tatiwa) – satu daripada bahagian rumah
    kato – pucuk manis
    katuhukan – selalu sangat
    katuju – suka, setuju
    katulahan – balasan kerana derhaka kpd orang lebih tua
    katup – tutup
    kaur – penglihatan kabur, rabun
    kawa – boleh, berupaya
    kawai – lambai
    kawat – mata kail
    kawitan/ kuwitan – ibu-bapa
    kaya – seperti
    kaya apa – macam mana
    kayi – ibu
    kelambuwai – gondang mas
    kelayangan – layang-layang
    kerasaan – perasan
    ketulahan – mendapar balasan kerana derhaka/ melawan orang yang lebih tua
    ketulangan – tulang tersengkang ditenggorok
    kijim – tutup mata
    kijip – kenyit mata
    kikeh – kais
    kilar – jeling
    kilau – meratah lauk
    kileng – lambat besar
    kilir – asah
    kilum – tak ada gigi
    kiming – dipegang-pegang dan dipicit-picit
    kimpus – semakin kecil
    kipai – terpelanting
    kipit – sempit
    kipung – ratah biasanya yang berbentuk serbuk
    kipit – sempit
    kirip – kelip mata
    kitar – alih
    kitihan – makanan ringan
    kiting-kiting – dijinjit
    kiwa -kiri
    kuantan – periuk
    kubas – luntur warna
    kubui – jirus
    kuhup – terkurung dalam keadaan panas
    kukuar – galah
    kukut – diambil dengan kasar dan banyak menggunakan tangan
    kulaan – saudara mara
    kulacak – diramas/ diuli
    kulang kisar – gelisah
    kular – kuyu (mata)
    kulayak – siat
    kulimbit – kulit
    kulir – malas
    kumai – kekisi rumah
    kumpa – pam
    kumpai – rumput
    kunat – tanpa pada kulit kerana luka/kudis
    kurihing – senyum
    kuring – kudis
    kuringis – teresak-esak
    kuriping – bersisik
    kuritis – dikopek menggunakan kuku jari
    kurup – malap
    kustila – buah betik
    kutal – guntingan rambut tak rata
    kutang – coli
    kutil – makan atau ambil sedikit-sedikit
    kutung – tudung kepala

    L
    laai – habis
    lacit – meresap keluar, bocor
    ladar – ledar (rasa), suam (air)
    lading – pisau
    laih – penat
    lajak – sentiasa dipakai
    lajang – terlebih kehadapan
    lakasi – cepatlah
    lalapan – sayur-sayuran
    lali – nyanyok
    lamak – gemuk
    lamari – almari
    lanah – cair
    landap – tajam
    landas – mengalir laju
    landau – tidur kesiangan
    langgar – surau/madrasah
    langis – habis tak ada yang tinggal langsung
    langkut – gigi bahagian bawah kedepan
    lanjar – panjang akal
    lanji – gatal, mengada-ngada
    lanjing – keadaan yang mengelebeh (seperti getah)
    lanjung – bakul besar biasanya yang boleh diletakkan dibelakang
    lantih – orang yang petah bercakap, biasanya perempuan
    lapai – menyapu tubuh dengan air
    larang – mahal
    lareng – garing
    latang – rasa air macam hangus
    laung – pakaian adat pahlawan banjar
    laus – sejenis tumbuhan macam lengkuas
    lawan /awan/ wan – dan
    lawang – pintu
    lawas – lama
    lawatan – pergi kenduri
    layat – liat
    layau – 1. melimpah, 2.merayau, menyimpang ketempat lain
    layip – pitam
    layur – dilalukan diatas api supaya layu
    libak – kawasan berlopak / atau berlubang sedikit
    libas – dah habis musim
    lihum – ??
    likah –
    likit – menyelakan api, lekat
    lilik – mengendeng, teringin
    limbah/ imbah – selepas itu, setelah selesai
    limbak – melimpah kerana penuh
    limbui – basah kuyup oleh peluh
    limir – lembek macam berair
    limot – berlumur dengan minyak yang banyak
    limpak – sompek
    limpap – kemek
    limpas – terlampau penuh
    limpat – melebihi had
    limpih – penyek
    limpua – terlajak
    linak – lunyai
    lincai – dipijak-pijak
    lincip – tajam
    linek – lumat
    lincip – tajam
    lingai – kawasan semak yang telah dibersihkan
    lingir – tuang air dalam cawan
    lingkah – hilang kesan warna/kotoran
    lingkang – langkah
    lingkuk – bengkok
    lingkup – dikemaskan (kelambu / kain) /
    lingo – jemu
    lintuhut – lutut
    lipih – lipat dan masukkan kedalam
    lipung – melepasi, melebihi
    lipus/ lupus – melebihi
    lirip – hiris
    liung – ditinggal, tidak dikira
    liup/liut – pengsan
    luai – sejenis penyakit tanaman
    luak – luah, muntahkan
    luang – lubang
    lucung – terlepas
    ludus – jalan dalam semak yang sudah terang kerana kerap dilalui
    luhau – orang yang banyak cakap (biasanya lelaki)
    lukup – tindih
    lului – tercicir
    luluk – kawasan tanah yang berlumpur
    lulun – menggulung benda panjang dan besar (spt tikar)
    lulungkang – tingkap
    luman – belum
    lumbah – lebar (kain)
    lumbus – bocor bahagian bawah
    lumor – 1. lumur, sapu 2. terhakis
    lunau – lecak
    luncup – runcing
    lungkas – suara yang jelas dan terang
    lungkup – ditutup / ditindih dengan badan
    lungsak – luka
    lungur – botak, gondol
    lunta – jala
    lunok batis – bahagian belakang betis
    lupus/ lipus – melebihi
    luput – tidak mengena sasaran
    lusukan – iakn haruan yang sederhana besar
    luyut – lecur
    M
    maarit – merasa sakit/ susah
    macal – degil, nakal
    macan – harimau
    madam – pergi merantau
    madat – candu
    magan – boleh
    magun – masih
    mahalabiu – mengata, merepek
    mahapak – mempeleceh, menempelak
    maheng – liat, keras
    mahingak – susah bernafas
    mahingal – tercungap-cungap
    mahingut – bau yang kuat
    mahirip – serupa, seakan-akan
    mahong – bau maung
    mahulut – mengejek
    mahuruni – melayan, menjaga
    maigau – mengigau
    mailangi – menziarahi
    maingkang – jalan mengengkang
    maingking – berjalan pantas dengan geram
    maka am – oleh itu, itulah
    malacung – melompat
    malah – haus hendak minum
    malala – membuat minyak dari santan kelapa
    malalar – merebak, melarat
    malalur – tidur hingga siang, lambat bangun.
    malapuk – lepak
    malaran – sekurang-kurangnya adalah juga
    malarak – kembang
    malatik – baru tumbuh, bercambah
    malatop – melecet
    malikap – melekat
    malilik – mengorat, teringin
    maling – pencuri
    malining – berkilat
    mamadar – 1. nasi sudah masak tapi dibiarkan supaya kering,
    mamadar – 2. berbaring-baring setelah terjaga dari tidur.
    mamak – empuk
    mamandir – berborak
    mamicak – kuat tidur
    mampilak – putih melepak
    manahakan – membayangkan
    manangkul – menyangkal
    manau – ikan timbul kerana mabuk
    mancarucus – bercakap cepat
    manciar – meleleh air liur
    mancigu – tersedu (budak kecil)
    mancirat – berkilau
    mancurat – memancut
    mandam – terpaku, tergamam
    mandangani – menemani
    mangalunyur – meluncur
    mangaradau – bercakap tak tentu bab
    mangaramput – berbohong
    mangarumbungi – berpusu mengelilingi sesuatu
    mangayumuh – bercakap seperti hendak menyembunyikan sesuatu
    manggah – semput
    mangganang – merasa rindu, mengenang
    manggani’i – menolong
    mangaruh – berdengkur
    manggarunum – bersungut
    manggurak – mendidih
    mangincang – berjalan laju kerana marah
    maniwas – menuduh
    manjelujuk – rasa hendak muntah
    manoh – pendiam
    mantuk – balik, cukup
    manuha’i – menjadi ketua
    manumat – usaha memulakan kerja.
    manyapung – mendekut burung
    manyinggai – menyahut
    maragat – ikut jalan pintas
    maraha – tak apalah! biarlah!
    maram – mendung
    marangut – masam muka
    maras – kasihan
    marau – rambut tak berminyak
    marawa – menyapa
    mariga – sendawa
    marina – bapa/ibu saudara
    marinaan – anak saudara
    marista – sedih
    mariwa – melihat jerat, perangkap, jaring dsb.
    maruwai/miruwai – hubungan antara menantu dengan menantu
    masigit – masjid
    matan – daripada
    mati/pati – tak berapa
    mauk – mabuk
    maulah – membuat
    maumat – boleh ditarik-tarik (flexible)
    maunjun – memancing
    mawah – risau, bimbang, susah hati
    mawaluhi – menipu
    mayu – cukup
    minek – pening
    minjangan – rusa
    mintuha – mentua
    miris – bocor
    mitak – hidung penyek
    muak – muntah
    muha – muka
    muhara – muara
    mulong – jelaga
    mulud – maulud
    mumui – berdarah dengan banyak
    mungau – tak senonoh
    mungkana – kain telekung
    mungkung – bentuk cekung
    mun/ amun – jika
    muntung – mulut
    muriat – rasa tak sedap badan, macam nak demam
    muring – kotor, comot
    muru’ – cuaca mendung
    murung – muka masam
    muyak – jemu
    N
    nahap – teguh, tahan
    namuni – menemui
    nanar – sentiasa sama, tidak berubah
    nandu/pinandu – kenal
    nang – yang
    nangguh – agak
    napa – kenapa
    napa-am – itulah!
    naran – betul, benar
    nauhan – orang yang serasi bercucuk tanam atau berternak, serbajadi
    naung – teduh
    ngalih – susah
    ngaracat – mengecut
    ngaran – namangilau – meratah lauk
    ngayatap – tak berhenti buat kerja (kerja kecil-kecil)
    nginang – makan sirih
    nginging – bunyi berdengung ditelinga
    ngingir – rasa kebas-kebas, sengal
    nginum – minum
    ngulintar – curi tulang
    ngulintir –
    nimbai/timbai – mencampakkan, membaling
    ninip – amat berhati-hati, teliti
    nuheng – membelah dengan kapak
    numbi – naik taraf, membesarkan (rumah)
    nungkali – menepung tawar
    nyaman – sedap, senang
    nyanyat – berulang-ulang
    nyarak – api yang kuat
    nyinggahi – singgah
    nyinggai – menyahut panggilan
    P
    paasian – menurut kata
    pacang – untuk, agar
    pacul – tanggal
    padah – kata, memberitahu
    padak – hidung rasa tersumbat
    padar – panaskan
    padu – dapur
    pagat – putus
    paharatnya – paling sibuk
    pair – seret kerana terlalu panjang
    pais – lepat pisang, ikan dikukus dalam daun pisang
    paja – pekasam
    pajah – padamkan api
    pajal – benam
    pakulihan – pendapatan
    palak – asap
    palingau-palingau – tertinjau-tinjau
    palipitan – 1. sisi kain yang dijahit 2. waktu susah, terdesak
    pamalar – kedekut
    pamali – berdosa, sesuatu yang dilarang agama
    pambuong – bahagian tetulang atap rumah
    pamburisit – penakut
    pampah – dilanggar
    pampan – lubang yang tertutup
    pamuga/ puga – permulaan
    pancau – tinggi
    panci – periuk
    pandal – alas
    pandir – berbual
    pandit – surut
    pandudian – paling terkemudian
    panjar – baji
    pang – lah!
    pantar – sebaya
    pantau – lempar
    panting – sengat
    papaci – kaca
    papadaan – sesama kita
    papajar – pengeras (perubatan tradisional)
    paparujuk – berjalan mundar-mandir tak dapat benda yang dicari
    papatin – hari lahir
    paragahan – menunjuk-nunjuk
    parak – dekat
    parani i – pergi menyusul
    parawaan – suka menegur
    parayaan/ paraya – tak payah, tak perlu
    paring – buluh
    pariyannya – misalnya
    parudan – penyagat kelapa
    paruna – cantik, kacak
    parung – salai
    patak – sembunyi
    pates – tapis
    pati/mati – tak berapa
    patuh – kenal
    patuhan – kenalan
    paung – benih
    payat – suara parau
    payu – laku
    picak – buta
    picik – picit
    piit – bersembunyi
    pina – seolah-olah
    pingkalung – baling dengan kayu/ benda panjang
    pingkur – tak lurus
    pingkut – pegang
    pingsar – menahan rasa yang teramat sakit
    pinjung – penjuru, terpencil
    pipikangan – pangkal paha sebelah dalam.
    piragah – menunjuk-nunjuk
    pariannya – misalnya
    pirik – giling, lenyek
    piruhut – pegang kuat supaya tidak terlepas
    pirut – senget
    pisit – ketat
    puang – kosong
    pucirin – longkang laluan air basuhan dari dapur
    puga – yang permulaan
    pukah – patah
    pukung – bayi dibuaian dalam keadaan duduk
    pulir – sapu bersih
    pulang – lagi
    pumput – kontot
    punah – selesai
    pundung – bedung
    pundut – bungkus
    pupudak – nama sejenis kuih
    pupuh – pukul dengan kayu dll
    pupur – bedak
    puruk – pakai
    purun – tak malu
    purut – lurut
    pusang – keluh kesah, runsing
    pusut – gosok dengan perlahan dan penuh kasih sayang
    putik – petik

    R
    raat – suara serak
    racap – kerap, selalu
    ragap – dakap
    rahai – terburai, barai
    rahat – ketika
    rakai – rosak
    rakat – akrab
    rakungan – tekak
    ramba – berdaun lebat
    rampit – rapat
    ranai – senyap
    rangat – retak
    ranggam – ketam kayu
    ranggaman – ketam padi
    ranggi – nekad, daring
    ranjah – rempuh
    rantang – mangkuk tingkat
    rantas – tetas 2.rentas
    rapai – tertanggal dari tangkai
    ratik – sampah
    raub – himpun dengan tangan
    raum – pitam
    rawa – sapa
    rawis – menghayun parang
    ricih – potong kecil-kecil
    rigat/ igat – kotor
    rigi – rela
    rikai – patah dahan
    rimbas – menebas dengan parang bengkok
    rimbat – rembat, rentap
    rimpe – pisang salai
    ringkut – penat kerana kerja berat
    ripai – sekah
    ripu – masak ranum
    ruak – dituang (benda bukan cecair)
    rubui – ditaburi
    ruha – keadaan yang besar, sasah hendak diangkat.
    ruhui – selesai, bersetuju
    rumbih – tanah runtuh
    rumpung – rongak
    rungkang – berlubang, robek
    rungkup – diterkam
    rungkau – cekau
    rupoi – rapoh
    S
    sahan – pikul
    sahang – lada sulah
    saing – rajin
    salajur – terlanjur, kebetulan
    salawas – selama
    salayaan – kerja tak berfaedah
    saling – ??
    salok – kepung
    salukut – bakar
    salumur -kulit ular
    sambat – sebut, dicakapkan, mengata
    sampiluk – daun yang dilipat untuk disikan adunan kuih dsb.
    sampiyan – awak
    sampraka – sempurna
    sampuk – cukup panjang, mencecah
    sampurut – memluk tubuh kerana sejuk
    samunyaan – semua
    sandal – sendal
    sandu – buat hal sendiri
    sanga – goreng
    sangu – bekalan
    santuk – mencecah bahagian atas kerana tinggi
    sapalih – sebahagian kecil
    sapambarian – ikutlah berapa hendak beri
    saput – selimut
    sarak – bercerai suami isteri
    sarik – marah
    saru – panggil
    saruan – menjemput
    sarubung – tempat menyediakan masakan bila kenduri
    sasah – kejar
    sasar – semakin
    sasarudup/sasarusup – berlari-lari dalam semak
    sasingut/ sisingut – misai
    sasirangan – kain batik banjar
    satayuhnya – biarkan selama mana masa mengizinkan
    satumat – sekejap
    satumbang – 1. semenjak, 2. sekali ganda
    saumuran – seumur hidup
    saung – laga
    sawalas – sebelas
    sawat – sempat
    sayat – siat, potong
    selipang – tarmos, tempat simpan air
    sembako – keperluan asas
    sigar – segar
    sihai – cuaca terang/baik
    silip – simpan dengan baik
    simbur – simbah
    simpun – kemas
    simpurut – peluk tubuh kerana kesejukan
    sindu – badan yang tegap
    singgang – senget
    singkai – selak
    singkal – otot terasa sakit
    singkum – mengemas benda panjang seperti rambut atau rumput yang menjalar
    singlang – juling
    sintak – sentap
    sintar – lampu suluh (suar)
    sisipuan – tersipu-sipu
    sisiur – pepatung
    suah – pernah
    suang – subang, anting-anting
    suar – lampu picit
    suduk – tikam
    sugih – kaya
    sulah – dahi luas
    sulum – masukkan dalam mulut
    sumap – kukus
    sumpal – tutup lubang (spt botol)
    sunduk – kunci (pintu, tingkap)
    sungeng – bunyi yang menyakitkan telinga
    sungkal – gali
    sungkup – menyembamkan muka
    supan – malu
    surangan – sendiri
    suroi – sikat rambut
    susuban – tertusuk benda tajam
    sutil – mudah

    T
    taarunuh – mengerang menahan kesakitan
    tabarung – bertembung masa
    tabarusuk – terperosok
    tabat – empang
    tabuncalak – terbeliak
    taburahai – terburai
    tadung – ular
    tagah – semak, belukar
    tagak – nampak seolah-olah
    tagaknya – nampaknya, seolah-oleh
    tagal – tetapi
    tagalimpas – terjatuh…
    taguh – kuat, teguh
    taguk – telan
    takujihing –
    takalulung – mengecut dan bergulung – (makan sotong dibakar)
    tahaba/ tahaga – terjumpa
    tahangkang – terkangkang
    tahanjat – tersentak
    tahur – melunaskan hutang
    tajarungkup – jatuh tertiarap
    tajun – terjun
    tajungkang – terbalik/ tertelentang
    tajungkalak – terjatuh
    takai – sentiasa tersedia
    takambit – bercantum
    takarium – tersenyum simpul
    takipik – tersentak ketika tidur (biasanya bayi)
    takisir – mengending,
    takujajang – lari lintang pukang
    takujihing –
    takulayak –
    takulibi – mencebekkan muka
    takusasai –
    takun – tanya
    takutan – takut
    takuringis –
    talah – selesai
    talam – dulang
    talasan – kain basahan
    taleh – tembolok
    talu – tiga
    talukup – tertiarap
    taluwalas – tigabelas
    tamam – teguh
    tambal – tampal
    tambarungan – tempat mengisi ikan tangkapan
    tampaian – kelihatan
    tampirai – alat menangkap ikan, macam lukah
    tampiyaan – bengkak pada bahagian pangkal paha.
    tampuluan – kebetulan
    tampur – ditiup (angin)
    tamur – pecah berkecai
    tanai – tadah
    tandar – alihkan dengan menolak
    tandu – usung
    tangat – tegah, larang
    tanggar – letak diatas tungku
    tangguh – teka
    tanggui – tutup kepala/ topi
    tangking – tangkai
    tangkur – ketuk
    tantadu – belalang mentadu
    tapak – tepuk
    tapakalah – dikalahkan
    tapal – ditutupi, tampal
    tapaling – salah letak, atas jadi bawah, depan jadi belakang
    taparaung – bertembung
    taparunuk – bahagian badan yang agak mendak
    tapas – cuci kain
    tapasan – kain cucian
    tapih – kain sarung
    taperancing – terpercik
    tapintang – kebetulan
    tapuracik – terpercik
    tarait – berkait
    taruhan – simpanan
    taruhi – simpan
    tarukoi/taparukoi – dua kali lima, sepadan
    tasalihu – tergeliat
    tasarungku – terjatuh ketika berlari
    tasmak – cermin mata
    tataguk – burung hantu
    tatai- disusun sebelah menyebelah
    tatakang – terbiar, tiada yang peduli
    tatamba – ubat
    tatangkut – angkut-angkut (sejenis serangga rupa macam tebuan)
    tatawa – ketawa
    tating – tatang
    taukung – terkurung kerana sesuatu keadaan
    tawak – lempar
    tawas – jampi
    taweng – dinding
    tayur – pancurkan
    tihang – tiang
    tiharap – tiarap
    timbai – campak
    timbuk – timbus
    timpang – alat menangkap ikan, lukah
    timpas – tetak dengan parang panjang
    timpel – motor sangkut
    tingka – tempang
    tihir – habiskan sampai kering
    tiis – air yang semakin susut
    tiken – tekan
    tingkau – tinggi
    tingkaung – merangkak
    tingkung – tangan tak lurus
    tinjak – tolak dengan kaki
    titik – membuat/membaiki parang /pisau
    titir – berulang-ulang
    tiwadak – cempedak
    tuangan – bekas cetak
    tubal – warna kain bertompok-tompok
    tugal – membuat lubang untuk menanam benih
    tugul – cekal, tekun
    tuha – tua
    tuhing – dikapak
    tuhuk – banyak kali, jemu
    tukar – beli
    tukup – tutup
    tulak – pergi
    tulau – keadaan turun warna
    tumang – berlubang
    tumatan – sejak itu
    tumbar – heboh
    tumbi – tambah, naik taraf
    tumbur – lari lintang pukang
    tumbus – tembus
    tungap – sambar dengan mulut
    tungkal – tepung tawar
    tungkaran – halaman rumah
    tungkih/ tuhing – dikapak
    tungkup – ditutup dengan tudung
    tunjul – tolak
    tunti – turut, susul
    tuntom – teguk, gogok
    tuntung – selesai
    tureng – berjalur
    tutoi – ketuk
    tutok – tumbuk (macam tumbuk sambal)
    tutuh – memotong dahan pokok
    tuup/ tuhup – tutup
    tuyuk – longgok
    U
    udak – kacau (macam kacau dodol)
    udal – punggah.
    udap – kocakan ikan pada permukaan
    udar – belasah, keroyok
    ugah – alih
    ugai – dipunggah untuk mencari sesuatu
    uhu – tidak ada kualiti
    uji – manja
    ukang – gigit
    ulihan – pendapatan
    ulun – saya
    uma – emak
    umai – amboi
    umbas – buas
    umpah – boros
    umpat – ikut
    unda – saya
    unduh – mengambil buah dengan dipanjat, digoyang sampai jatuh.
    ungah – menunjuk-nunjuk kesukaan
    ungal – bergerak
    ungap – buka mulut
    unggal – tidak teguh, bergoyang
    ungkai – 1. membetulkan kekusutan, 2. menunjukkan benda yang tersembunyi
    ungkap – buka, selak
    ungkoi – keadaan badan yang dah tua dan tak bermaya
    ungkong-ungkong – duduk termangu-mangu
    ungkosi – menanggung perlanjaan
    ungut – menung
    unjuk – beri
    unjun – pancing
    unjut – jauh dipedalaman
    unjut-unjut – terhenjut-henjut
    untal – makan dengan cara terus telan
    unyai – ganyang
    upal – sudah banyak kali dinasihatkan
    upong – sundang kelapa
    urah – ejek
    urak – buka, bentang
    urangan – pepatung untuk menakutkan burung disawah
    urik – rintik.
    uroi – menganginkan padi untuk mebuang hampa
    utau – bahasa isyarat
    utoh – nama gelaran bagi budak lelaki
    uyah- garam
    uyuh – penat

    W
    wada – dakwa, kecam
    wadah – tempat
    wadai – kuih
    wadai kiping – kuih puteri mandi
    wadik – pekasam ikan
    wagas – sehat, kuat
    wahin – bersin
    wahini, wayahini – ketika ini
    waluh – sayur labu
    waluhi – menipu
    walut – belut
    wan / awan/ lawan – dengan, dan
    wancoh – sudip besar
    wangal – bodoh alang
    wani – berani
    wanyi – lebah
    warangan – besan
    waras – sehat
    warik – kera, monyet
    wasi – besi
    watun – bendul
    wawah – koyak yang besar
    wayah – ketika
    wayahini – ketika ini, sekarang
    (sumd:dari situs perantau Banjar)