WARGA LOKSADO NIKMATI “MANISNYA” HARGA KAYU MANIS

kayumanis Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, Rombongan ekspedisi susur sungai Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) dan Balai Wilayah Sungai (BWS) II menyususri sungai hulu Amandit bagian dari anak-anak Sunga Barito ke kewasan Loksadi, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, bagian dari Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, pekan lalu.
Ekspedisi bertujuan melihat kondisi sungai dan hutan tersebut menysup ke pemukiman Suku Dayak Loksado dan tadinya membayangkan warga setempat masih tinggal di balai-balai (rumah adat yang dihuni puluhan kepala keluarga) dengan bangunan kayu, bambu, dan atap rumbia.
Ternyata perkiraan tersebut berbalik, karena rumah warga pedalaman itu sudah banyak yang berton, lantai berkeramik, di depan rumah dihiasi dengan antena prabola, dan kemana-mana sudah menggunakan sepeda motor, lantaran jalan ke arah sana walau kecil tapi sudah bisa dilalui pakai kendaraan roda dua tersebut.
Untuk menyusup ke pemukiman suku yang tadinya nomadin itu, rombongan harus melakukan perjalanan jauh, dari Banjarmasin ke Kandangan ibukota kabupaten, terus ke Loksado, baru kemudian pakai ojek kendaraan roda dua dengan tarif rp70 ribu per orang ke Desa Haratai.
Setibanyak di lokasi rombongan termasuk penulis melakukan pemantauan dan sekaligus melakukan pengukuran kualitas air di pe atas pegunungan tersebut, dan membawa sampel air tersebut yang kemudian untuk diteliti secara seksama.
Namun oleh petugas dari BWS II yang melakukan pengukuran awal, air di atas pegunungan itu sangat layak untuk diminum lantaran kadar keasamannya yang normal, jersih, dan sama sama sekali tak berbau.
Saat berada di kawasan tersebut penulis sempat berbincang dengan warga setempat yang pada awalnya dikira mereka hanya bekerja berladang berpindah.
Ternyata dari beberapa penuturan warga mereka sudah banyak yang meninggalkan ladang berpindah, dan kini usaha menetap dengan mengembangkan pohon kayu manis. Dan pohon tersebut mereka tanam setelah mengambil bibit yang ada dalam hutan itu sendiri.
Atas bimbingan petugas pertanian dan beberapa warga yang sempat studi banding ke Sumatera Barat, kini usaha mereka sudah membudaya sektor perkebunan kayu manis tersebut.
Setelah terjadi fluktuasi harga belakangan Warga suku Dayak Pedalaman Kalimantan Selatan, Pegunungan Meratus itu kini bisa tersenyum menikmati membaiknya harga kayu manis yang dibudidayakan mereka.
Bayah seorang ibu yang berada di beranda rumahnya sambil membersihkan kulit manis menuturkan bahwa sekarang masyarakat setempat lagi bergairah berproduksi kulit kayu manis lantaran harganya yang sekarang cukup tinggi.
“Sekarang harga kayu manis kering Rp30 ribu per kilogram, dibandingkan dengan menyadap karet hanya rp5 ribu per kilogram, jelas lebih menguntungkan mengelola kayu manis,”katanya.
Berdasarkan keterangan, warga Dayak Pedalaman Loksado ini sejak dulu dikenal sebagai peladang berpindah, namun kemudian mereka lebih memahami untuk hidup berkebun kemudian menanam karet, lalu menanam keminting (kemiri), terakhir membudidayakan kayu manis.
Selain usaha tersebut banyak juga warga setempat yang beternak babi, atau mengolah tanaman bambu menjadi barang berharga.
Menurut mereka usaha kayu manis lebih menjanjikan lantaran pemasarannya tidak sulit, setelah banyaknya pembeli berdatangan ke kampung mereka yang berjarak sekitar 30 km dari ibukota kabupaten HSS.
Namun harga kayu manis sering pula berflutuasi bahkan ada yang hanya rp8 ribu per kilogram, tetapi sekarang sudah mencapai rp30 ribu per kilogram, dengan demikian jika usaha kayu manis sehari mampu mengupas kulit kayu lalu mengeringkan sampai lima kilogram saja maka sudah mengantongi uang rp150 ribu kilogram.
Tetapi bagi pemilik lahan luas dengan kayu manis yang sudah banyak dan kayunya besar-besar, itu sehari bisa mencapai puluhan kilogram, kata Bayah.
Hasil pemantauan di lokasi tersebut memang terlihat dimana-mana warga banyak yang bekerja mengupas kalit kayu manis dari batangnya, sebagian lagi ibu-ibu kebanyakan membersihkan kulit tipis bagian luar dari kulit kayu manis itu, kemudian dijemur di halaman rumah.
Dari pemantauan banyak pula kayu manis yang sudah kering diikat-ikat per satu golongan, konon itu sudah siap di jual, dan para pembelinya datang dari kota kemudian mengangkutnya ke berbagai termasuk ke Pulau Jawa.

Kualitas Kedua
Berdasarkan catatan yang pernah di rilis Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup (BP2LHK Banjarbaru),_Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah pengembang tanaman kayu manis jenis C. Burmanii dengan kualitas unggulan, nomor dua setelah Sumatera.
Beberapa daerah penghasil kayu manis di Kalimantan Selatan adalah Loksado dan Padang Batung di Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang berlokasi di sepanjang punggung Pegunungan Meratus.
Pengusahaan kayu manis di Loksado masih terbatas pada pengusahaan bagian kulit dari pohon kayu manisnya saja. Kegiatan yang dilakukan meliputi produksi, penjemuran kulit kayu manis, dan distribusi produk dari kulit kayu manis baik itu dalam bentuk gulungan (mentah) maupun sirup.
Meski demikian, sejak tahun 2010, kayu manis dari Loksado telah mendapatkan sertifikat organik SNI. Adanya sertifikasi ini cenderung berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan petani sehingga memotivasi petani kayu manis untuk meningkatkan produktivitasnya.
Di kecamatan ini hampir sebagian besar masyarakat bermata pencaharian utama sebagai petani kayu manis. Pohon kayu manis di Loksado sebagian besar berada di luar kawasan hutan, yaitu di tanah atau kebun masyarakat yang berkembang secara sporadis dari hasil budidaya.
Pada awalnya produksi kayu manis dilakukan oleh masyarakat Dayak setempat dengan cara meramu kayu manis di dalam hutan sepenuhnya. Keberadaan pohon kayu manis di dalam hutan yang semakin langka, mendorong masyarakat Dayak untuk membudidayakannya.
Budidaya kayu manis baru dimulai sekitar tahun 2000-an dengan bantuan pemerintah daerah. Budidaya kayu manis yang dipusatkan di beberapa wilayah hutan balai adat di Kecamatan Loksado ini telah dikenal baik oleh masyarakat. Teknik penanaman dikembangkan dari biji dan cabutan anakan yang tumbuh di sekitar pohon kayu manis.
Sebelumnya kayu manis yang dipasarkan oleh masyarakat setempat berasal dari pohon kayu manis yang tumbuh alami di dalam hutan. Pohon kayu manis hanya bisa dipanen satu kali. Untuk mengambilnya, warga harus memasuki hutan belantara, berjalan hingga berjam – jam. Dari waktu ke waktu jarak yang ditempuh semakin jauh karena jumlah pohon kayu manis semakin berkurang.
Hanya saja, berbeda dengan masyarakat petani kayu manis di Kalimantan Selatan, cara pemanenan kayu manis di Jambi dan Sumatera Barat dinilai lebih lestari. Di Kalimantan Selatan, pohon kayu manis ditebang dahulu baru dikuliti, sedangkan di Jambi pemanenan dilakukan dengan menyisakanpotongan batang bawah (tunggul) yang akan dipelihara dan bisa bisa dipanen lagi 5-6 tahun kemudian.
Diinformasikan, tanaman kayu manis yang dikembangkan di Indonesia sebagian besar adalah jenis Cinnamomum burmanii Blume. Jenis kayu manis ini merupakan tanaman asli Indonesia. Hasil utama kayu manis adalah kulit batang dan dahan, sedang hasil ikutannya adalah ranting dan daun.
Komoditas ini selain digunakan sebagai rempah, hasil olahannya seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak dimanfaatkan dalam industri-industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman, rokok, dan sebagainya.

CARA BERTANI BANJAR MALAYSIA BEDA DARI BANUA

penulis

Penulis dipersawahan (Bandang) warga Banjar Sungai Manik,Malaysia

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 30/10 (Antara) – Cara bertani sawah warga Suku Banjar yang berada di beberapa wilayah negeri di Negara Malaysia sudah jauh berbeda bila dibandingkan cara tradisional bersawah khas Banjar di Banua atau Kalimantan Selatan, Indonesia.

“Mereka warga Banjar Malaysia sudah menggunakan sistem modern, semua sudah menggunakan mekanik,” kata Abdussamad Thalib, Pembantu Dekan Dua, Fakultas pertanian Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Kamis.

Hal tersebut dikemukakan Abdussamad Thalib setelah pulang dalam perjalanan mengikuti perjalanan titian muhibah 17-26 Oktober 2014 ke beberapa lokasi pemukiman suku Banjar yang tinggal ratusan tahun di negeri jiran tersebut.

Saat di Malaysia, rombongan dari Forum Silaturahmi Kulaan Banua (FSKB) yang dikoordinir oleh Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin tersebut sempat melihat cara bertani di Bagan Serai dan Sungai Manik, negeri Perak Malaysia.

Di sana rombongan berjumlah 19 orang berbincang dengan seorang tokoh masyarakat Banjar Bagan Serai, Haji Sulaiman yang kala itu menceritakan bahwa cara bertani atau yang disebut bandang warga setempat sudah tak memanfaatkan lagi cara lama masyarakat Banjar seperti layaknya di Banua (Kalimantan Selatan).

Menurut Haji Sulaiman yang mengakui nenek moyangnya dari Kelua Kabupaten Tabalong Kalsel Indonesia tersebut, petani di sana tak lagi “merincah” (menyiapkan lahan) dengan alat tajak, tak lagi “menanjang” (nanam padi) dengan alat tanjang, serta “mengatam” (panen padi) dengan ranggaman (ani-ani) seperti layaknya di Banua.

Tetapi cara kerja bandang di sana sudah semuanya pakai mekanik atau alat mesin pertanian (Alsistan), mereka hanya main perintah atau tunjuk, tak lagi bekerja sebagaimana cara bersawah tradisional.

“Badan kami tak lagi kotor untuk berjebur ke bandang, kami cukup perintahkan kepada pemakai Alsintan untuk mengerjakan semuanya, tinggal membayar upah,” tuturnya.

Mulai menyiapkan lahan sampai panen selama tiga bulan semuanya pakai mekanik, maka petani tinggal menerima jumlah padi yang dihasilkan dari alat-alat mesin tersebut.

Bahkan bertani di sini banyak memperoleh bantuan pemerintah (kerajaan) termasuk penyediaan pupuk, bahkan bila sudah panen setiap panen oleh kerajaan diberikan intensif lagi, setiap ton diperhitungkan sekitar 200 ringgit.

“Jika hasil sawah atau bandang 10 ton per hektare-nya, maka bonus kerajaan setiap ton 200 ringgit Malaysia, maka setiap ton petani akan memperoleh sekitar 2000 ringgit, jika setiap petani mengelola 10 hektare bandang maka akan memperoleh bonus kerajaan 20000 ringgit,” katanya.

Karena itu petani setempat, selain memperoleh hasil sawah untuk diri sendiri hasil itupun diperhitungkan oleh kerajaan untuk diberikan bonus, maksudnya agar petani giat bekerja untuk menghasilkan pangan bagi kemakmuran masyarakat.

Wilayah pemukiman suku Banjar yang banyak mengelola sawah tersebut, adalah wilayah Bagan Serai dan Sungai Manik ini karena wilayahnya dataran rendah yang berair dan sistem irigasinya di bantu oleh kerajaan.

Dengan cara bertani demikian maka sudah dipastikan setiap petani tampak lebih sejahtera bila dibandingkan dengan petani banua, maka jangan heran jika setiap petani sudah memiliki mobil atau yang disebut warga setempat kereta.

Kunjungan FSKB tersebut bertujuan untuk mempererat hubungan persaudaraan tersebut antara warga Banjar di Malaysia yang ditaksir sekitar dua juta jiwa dengan warga Banjar yang ada di Banua.

Selain saling mengunjungi satu sama lain, cara lain mempererat persaudaraan tersebut melalui pertemanan dan komunikasi melalui jejaring sosial, katanya seperti Facebook ada grup kulaan banjar se-dunia yang sudah beranggotakan 14 ribu orang lebih.

Kaitan saling mengunjungi tersebut sudah pernah dilakukan baik oleh kulaan Banjar Malaysia ke Banua (Kalsel) maupun kulaan Banjar Banua ke Malaysia, dan saling kunjung mengunjungi tersebut akan terus dilakukan, apalagi dari kedua belah pihak ada yang berkaitan berkeluarga.

Untuk kunjungan balasan kedua kulaan Banjar Banua yang dikoordinir Ika Unlam selain silaturahmi, wisata, serta buat dokumenter orang Banjar madam ke Malaysia.

Banyak lokasi yang dikunjungi antara lain ke Kampong Bukit Melintang yang 80 persen penduduknya orang Banjar, mengikuti kegiatan “Mini Karnival Kulaan” kegiatannya berupa demonstrasi membuat wadai (kue) Banjar, kegiatan membaca berjanji, ada penjualan produk2 usaha orang Banjar Malaysia, silaturrahmi, demonstrasi pukong (bapukung).

Ke Universitas Islam Azlan Shag bertemu dengan rektor Nordin Kurdi serta Prof Jamil Hasim yang keturunan Banjar, di Kuala Kangsar.

Rombongan juga Johor Bahru, singgah di Kantor PBM dan Koperasi Kulaan (Ko-Kulaan) di Bangi, pusat wisata negeri Melaka, mengunjungi objek wisata berupa situs warisan (heritage) yang diakui UNESCO, antara lain Pelabuhan Lama dimana terdapat Museum kapal Portugis, Benteng Portugis, Pasar Seni dan Kerajinan cendera mata.

HARGA KARET ANJLOK DAN PETANI KALSEL PUN MENJERIT

KARET

 

Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 28/9 (Antara)- Anjloknya harga karet belakangan ini melahirkan kerisauan di kalangan petani Kalimantan Selatan, termasuk di Kabupaten Kabupaten Balangan.

Muhamad (25) petani karet desa Maradap, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan, mengakui akibat turunnya harga komoditas tersebut pendapatan petani juga anjlok.

Bayangkan saja harga karet jenis lum, saat normal antara Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per kilogram, sementara harga berlaku sekarang yang dibeli kalangan pedagang pengumpul yang datang ke kampung-kampung hanya antara Rp4 ribu-Rp5 ribu saja per kilogram.

Rendahnya harga karet tersebut melemahkan semangat kalangan petani setempat untuk mengembangkan lahan kebun karet lebih luas lagi, padahal belakangan kegairahan berkebun karet telah hidup di wilayah kaki Pegunungan Meratus tersebut.

“Kita berharap harga karet kembali membaik, seperti sedia kala agar petani kembali bergairah,” katanya.

Ia mengkhawatirkan turunnya harga karet tersebut lantaran permainan spekulan atau para pedagang pengumpul yang bersekongkol dengan para pengusaha pabrikan. Sebab, kabar yang ia peroleh harga karet tersebut ternyata cukup baik di daerah lain, seperti di Kalimantan Tengah atau bagian Indonesia lain.

Menurut dia, bila harga turun tersebut berlangsung lama dikhawatirkan akan menambah kemiskinan di kalangan penduduk Kabupaten Balangan yang merupakan wilayah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) tersebut.

Sebab, katanya, harga berbagai kebutuhan pokok di kawasan tersebut begitu mahal, harga gula pasir saja tercatat Rp15 ribu per kilogram, sehingga harga karet yang anjlok tak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari.

Belum lagi harga beras, ikan, dan kebutuhan lainnya terus melambung yang semua itu terus memberatkan petani setempat.

Kerisauan tentang anjloknya harga karet tersebut hampir merata di kalangan penduduk yang meyoritas berkebun karet itu.

Oleh karena itu berbagai saran dan pendapatpun bermunculkan menanggapi turunnya harga barang dagangan ekspor andalan Indonesia tersebut.

Seperti diutarakan Kadir (40) penduduk Desa Panggung, Paringin Selatan ini yang berharap adanya semacam badan atau lembaga yang bisa menjadi penyangga produksi karet alam.

Harga yang berfluktuasi yang begitu tajam belakangan ini sangat merugikan petani karet, dan karena itu diperlukan badan atau lembaga penyangga agar harga bisa stabil, kata Kadir, tokoh masyarakat yang sering disebut Bapak Anum ini.

Ia sendiri mengaku sangat sedih melihat kondisi petani karet belakangan ini yang selalu terombang-ambing oleh fluktuasinya harga karet.

Dengan harga yang turun naik begitu tajam membuat petani menjadi bingung, dan bahkan tidak sedikit ingin berpaling ke usaha lain.

Alasan mereka karet yang tadinya sebuah usaha menjanjikan kini dinilai sebuah usaha yang mengancam kehidupan, karena dengan harga semurah itu maka hasil yang diperoleh petani tidak akan sebanding dengan harga kebutuhan yang lain.

“Bayangkan saja harga satu kilogram gula pasir Rp15 ribu poer kilogram, bila harga karet hanya Rp5 ribu per kilogram berarti untuk memperoleh satu kilogram gula pasir harus menghasilkan tiga kilogram karet,” kata Kadir.

Oleh karena itu, Kadir berharap pemerintah turun tangan mengatasi harga karet tersebut, dengan membentuk sebuah badan atau lembaga semacam Depot Logistik (Dolog) yang mampu menyangga produksi beras petani.

Sebab, katanya, bila harga karet membaik maka usaha lain seperti industri rumah, bertani sawah, petambak ikan, dan usaha lainnya juga ikut bergairah karena warga punya uang dan mampu membeli produksi usaha lainnya tersebut.

Melalui badan atau lembaga, baik yang didirikan tersendiri oleh pemerintah, atau melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau di bawah departemen Perdagangan akan mempu menjaga harga karet.

Melalui badan atau lembaga tersebut, bila membeli karet petani dengan harga wajar, kemudian badan atau lembaga tersebut bisa mendirikan pabrik karet di lokasi sentra perkebunan.

Dengan demikian maka karet alam petani tidak lagi dikuasai oleh sekelompok pengusaha yang memiliki “kaki-tangan” seperti para pedagang pengumpul yang datang ke kampung-kampung.

Kelompok pengusaha dan kaki tangan serta para tengkulak itu yang selama ini mempermainkan harga karet petani, sehingga petani benar-benar tak berkutik dan pasrah menghadapi keadaan dengan anjloknya harga karet tersebut.

Menurut Kadir melalui badan yang dikelola pemerintah tersebut pula kalau perlu merubah kebiasaan hanya mengekspor karet mentah keluar negeri, tetapi menciptakan industri yang berbahan baku karet seperti ban kendaraan di dalam negeri.

Kemudian ban kendaraan tersebut yang diekspor sehingga memiliki nilai tambah yang berlipat ganga dibandingkan hanya ekspor karet mentah.

Apalagi luasan kebun Kalsel begitu memadai untuk menciptakan industri berbahan baku karet di wilayah ini.

Produsen baru

Seorang pemerhati perkaretan Indonesia Asril Sutan Amir menilai munculnya beberapa negara produsen baru di dunia menyebabkan harga karet dunia belakangan ini menjadi anjlok.

Dengan munculnya negara-negara produsen baru yang memiliki kebun karet cukup luas menyebabkan prouksi karet dunia melimpah akhirnya harga turun, kata Asril Sutan Amir yang dikenal sebagai mantan Ketua Gabungan Pengusaha Pabrik Karet Indonesia (Gabkindo) saat berada di Banjarmasin.

Asril Sutan Amir yang kini menjadi penasehat organisasi Gabkindo tersebut menyebutkan negara produsen baru tersebut, seperti Laos, Vietnam, Myanmar,dan Kamboja yang memproduksi karet cukup besar hingga menekan harga karet dunia termasuk Indonesia.

Negara produsen baru tersebut mengembangkan jenis karet unggul dengan tingkat produksi tinggi hingga 2000 kilogram per hektare per tahun, jauh lebih tinggi dari tingkat produksi karet Indonesia yang hanya rata-rata 600 kilogram per hektare per tahun.

Negara-negara tersebut juga lebih mudah memasarkan produksi karetnya terutama ke negara konsumen terbesar dunia, yakni negara Tiongkok karena dari negara mereka bisa disuplai melalui angkutan darat.

Sementara kalau karet di Indonesia harus diantarpulaukan dulu baru di kapalnya ke negara besar tersebut, kata Asril.

Selain itu, anjloknya harga karet alam dunia tersebut tak terlepas dari masih terjadinya resesi ekonomi dunia khususnya di Uni Eropah dan Amerika Serikat yang juga termasuk negara konsumen terbesar karet alam.

Kendati demikian, harga karet ke depan tetap akan membaik, lantaran kalau hanya mengandalkan hasil negara produsen baru tersebut tentu tidak akan mencukupi dengan tingkat tingginya konsumen karet alam dunia khususnya pabrik ban kendaraan bermotor.

Semakin maju sebuah negara pasti semakin tinggi pemakaian ban kendaraan bermotor dan hal itu tentu akan memberikan tingkat permintaan karet juga tinggi akhirnya akan mendongkrak harga karet tersebut.

Oleh karena itu, ia meminta kepada petani karet Indonesia tetap mengembangkan tanaman karet, seraya memperbaiki kualitas yang dihasilkan agar harga bisa lebih baik, sebab tambahnya rendahnya harga karet di Indonesia karena diproduksi secara asal-asalan bukan sesuai standar yang diinginkan pasar.

Tanggung jawab Pemprov

Di sisi lain Asril Sutan Amir meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menyelamatkan keberadaan petani karet yang belakangan hidup mereka terpuruk lantaran harga karet yang berada pada titik terendah itu.

“Kondisi karet yang murah di tingkat petani Kalsel, bisa menghapus julukan Kalsel sebagai daerah produsen karet alam Indonesia, karena itu pemerintah harus menyelamatkan kondisi tersebut,” katanya.

Berdasarkan pemantauan Gapkindo Kalsel harga karet di beberapa kabupaten produsen karet alam cukup bervariasi, yang tertinggi di Kabupaten Tanah Bumbu dengan harga antara Rp6.000 hingga Rp8.000 per kilogram, tetapi yang sangat rendah Rp3.000 hingga Rp4.000 seperti di sentra karet Kabupaten Balangan.

Walau harga bervariasi tetapi dibandingkan dengan sebelumnya harga karet tersebut anjlok, karena harga karet pernah sentuh dengan harga Rp35.000,- hingga Rp40.000,- per kilogram.

Harga karet murah tersebut memang berlaku seluruh Indonesia tetapi untuk wilayah Kalsel yang paling rendah, lantaran kualitas yang dihasilkan petani setempat sangat jelek yang dikenal dengan istilah karet lum atau karet asalan.

Kalau hal tersebut terus dibiarkan maka bisa membuyarkan keinginan masyarakat setempat untuk mengelola kebun karet, padahal tanaman karet salah satu tanaman yang sangat ramah lingkungan.

Oleh karena itu, harus ada tindakan pemerintah untuk menyelamatkan dari keterpurukan petani karet tersebut, umpamanya dengan memberikan penyuluhan agar petani karet tidak lagi memproduksi karet asalan, tetapi karet lembaran kering yang berharga mahal.

Kemudian pemerintah harus memberikan bibit gratis terhadap petani setempat untuk mengubah kebiasaan membudidayakan pohon karet lokal ke jenis karet unggul.

Karena salah satu penyebab karet Kalsel anjlok tersebut karena lateks yang dihasilkan berasal dari pohon pohon karet lokal yang tumbuh secara alamiah, bukan dari pohon karet unggul yang pembudidayaannya diberlakukan sesuai kaidah yang benar.

Menurutnya ada jenis bibit karet unggul yang murah tetapi berkualitas yakni jenis IRR dengan produksi lateks banyak berpohon besar dan memiliki tingkat kekentalan lateks yang baik dan harga bibit murah sekitar Rp6.000,- saja per batang.

Bila adanya upaya petani yang didukung pemerintah melakukan peremajaan karet dari karet lokal menjadi karet unggul, ditambah perbaikan kualitas karet yang diolah dipastikan akan merubah harga yang murah menjadi harga yang baik, petani yang terpuruk menjadi petani yang kembali makmur.

MENIKMATI MAIN ULAR KEBUN BINATANG KOTA BANJARMASIN

WALIOleh Hasan Zainuddin

 

Sekelompok remaja putra sambil bergurau satu per satu memegang aneka jenis ular. Ada ular bewarna kuning, ular bewarna hitam keabu-abuan, bewarna batik, dan warna lainnya.

Sesekali ular-ular tersebut sengaja melingkar-lingkar di leher para remaja yang agaknya kalangan pencinta reptil tersebut, bahkan ada ular relatif besar yang melilit hampir seluruh tubuh seorang remaja tersebut. Kendati demikian, remaja itu tetap tersenyum ceria.

Sesekali para remaja putra tersebut mendekat ke rombongan ibu pejabat Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin yang saat berada di lokasi tersebut, Sabtu (13/9) lalu, serta-merta ibu-ibu berlari ke sana kemari ketakutan.

“Jangan memegang, untuk melihat saja sudah geli dan ngeri,” kata seorang ibu yang datang ke lokasi tersebut dalam kaitan peresmian pengoperasian Kebun Binatang “Banjar Bungas” yang dikelola Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Banjarmasin tersebut.

Kebun binatang seluas 1,5 hektare tersebut, memang hari itu diresmikan oleh Wali Kota Banjarmasin Haji Muhidin yang didampingi Sekretaris Daerah Kota (Sekdako) setempat Zulfadlie Gajali dan para pejabat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pemkot setempat.

Selain ada kelompok remaja bermain ular, di lokasi tersebut juga terlihat ada sekelompok remaja putra dan putri lagi bermain satwa musang dan tupai yang tampak jinak, bahkan ada pula yang bermain dengan aneka jenis kucing dan ayam hias.

Melihat asyiknya kelompok remaja tersebut bermain ular, Wali Kota Muhidin mencoba mendekat. Pertama terlihat ekspresi mukanya rada-rada takut. Namun, setelah memegang ular agak besar bewarna kuning keputihan yang dikenal sebagai jenis ular yang disebut Ball Python tersebut, dia tampak lebih berani.

Bahkan, Wali Kota meminta para pencinta reptil untuk diberikan dua ekor sekaligus. Dengan beraninya Wali Kota memegang kedua ular tersebut, satunya dilingkarkan ke lehernya, satu lagi dimainkan di tangan kanan.

Sesekali Wali Kota mendekati para pejabat dan ibu-ibu, serta-merta lagi ibu-ibu berteriak ketakutan. Begitu pula, para pejabat lainnya ada yang takut, tetapi ada pula yang coba-coba memberanikan diri.

“Wali Kota saja berani, masa kita takberani,” kata Sekdako Banjarmasin Zulfadli Gajali seraya mengambil juga dua ekor ular, di antaranya jenis sanca batik yang juga besar.

Melihat kedua petinggi pemkot tersebut bermain ular, kian banyak saja hadirin yang berani mendekat, bahkan ular-ular tersebut menjadi ajang untuk berfoto ria.

Memang di kebun binatang yang berada dalam kota berpenduduk sekitar 700.000 jiwa tersebut terdapat zona reptil, termasuk ular di dalamnya, juga ada biawak, buaya, dan jenis reptil lainnya.

Wali Kota Muhidin merasa bangga adanya kebun binatang tersebut. Menurut dia, dengan adanya kebun binatang itu, kian menambah kesemarakan Kota Banjarmasin yang sudah dikenal sebagai kota tujuan wisata di Tanah Air.

“Saya meminta ke depan kebun binatang ini kian dilengkapi aneka koleksi satwa yang ada di Nusantara, bahkan kalau perlu ada satwa yang berasal dari luar negeri,” katanya.

Sebab, tambahnya, keberadaan sebuah kebun binatang tidak saja akan menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia wisata sekaligus menjadi ajang pendidikan dan penelitian.

Apalagi, jika memang terwujud di lokasi ini ada penangkaran binatang Bekantan (Nasalis larvatur) yang merupakan jenis satwa langka berhidung panjang yang menjadi “maskot” bidang fauna Provinsi Kalsel.

Maskot Kalsel bidang floranya adalah tanaman kasturi (Mangifera Kasturi Delmiyana) yang jenis mangga-manggaan buahnya kecil bewarna merah kehitaman jiga sudah masak dan warna hijau selagi muda.

Berdasarkan keterangan upaya penangkaran bekantan tersebut, pihak pengelola kebun binatang akan bekerja sama dengan sebuah komunitas Bekantan Kalimantan yang dinamakan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI).

“Sahabat Bekantan Indonesia sendiri menyatakan bersedia kerja sama tersebut, bahkan suatu kebanggaan karena kian banyak yang akan mencintai satwa yang hanya hidup di Pulau Kalimantan tersebut,” kata anggota SBI Amalia.

Amalia yang berada di lokasi tersebut bersama anggota SBI lain berjanji akan menjadikan Kebun Binatang Banjar Bungas ini sebagai pusat rehabilitasi parimata jenis bekantan sekaligus sebagai objek penelitian dan pendidikan.

Amalia mengakui populasi bekantan di daratan Kalsel terus berkurang setelah banyaknya habitat mereka yang tergusur lantaran penebangan kayu dan pertambangan serta perkebunan.

Melihat kenyataan tersebut, pihak SBI berusaha menyelamatkan satwa yang juga sering disebut sebagai “kera bule” yang masih tertinggal dan juga berusaha menangkarkannya.

 

Kerja Sama KBS

Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Doyo Pudjadi kepada wartawan di Banjarmasin mengakui keberadaan kebun binatang tersebut untuk menyemarakkan dunia keparwisataan kota tersebut.

Menurut Doyo Pudjadi, kebun binatang yang terletak di Kompleks Zahri Saleh, Kelurahan Sungai Jingah, Kecamatan Banjarmasin Utara, tersebut sebagai objek wisata alternatif di kota itu.

Warga Banjarmasin agaknya lebih banyak berwisata ke pusat perbelanjaan seperti mal. “Akan tetapi, warga juga harus disediakan objek wisata yang murah meriah, ya, kebun binatang ini,” kata Doyo Pudjadi.

Mengenai kebun binatang, disebutkan bahwa pengelolaannya akan dilakukan dengan bekerja sama dengan Kebun Binatang Surabaya (KBS), terutama untuk jenis hewan-hewan tertentu yang di KBS ada kelebihan jumlahnya.

Diakuinya dalam pengelolaan dan pemeliharaan satwa, pihaknya belum begitu berpengalaman. Oleh karena itu, pengelolaan ini dikerjasamakan dengan KBS. Semoga lokasi ini lebih bisa berkembang.

Di lokasi kebun binatang ini terdapat sepuluh zona, yakni zona reptil, zona primata, zona burung, dan zona ikan, serta zona-zona lainnya yang menyebar di areal seluas 1,5 hektare.

Lokasi ini juga dilengkapi dengan tempat mandi dan toilet, tempat ibadah, warung cendera mata, serta rumah makan yang menyajikan menu serbamasakan jamur.

“Kami berharap kebun binatang ini akan menjadi pilihan masyarakat bertamasya sebagai alternatif selain ke pusat perbelanjaan atau mal,” katanya.

Lokasi ini mudah dijangkau, pertama masih dalam kota, kemudian akses jalan mudah karena jalan beraspal sampai ke lokasi. Naik angkot juga hanya sekali dari terminal kota sehingga tidak menyulitkan untuk mengunjungi lokasi tersebut.

Agar lokasi ini nyaman, sungai-sungai yang ada di lokasi ini akan dibenahi, akan dilengkapi dengan aneka tanaman hias, dan pohon-pohon peneduh yang rindang.

“Lokasi ini memang sudah terlihat rindang, hingga terasa dingin, tetapi ke depan akan ditambah lagi pohon-pohon rindang ini agar pengunjung bisa terlidungi dari panasnya sinar mentari,” tambahnya.

Pada waktu-waktu tertentu, seperti Sabtu dan Minggu, lokasi ini bisa digelar atraksi atau pertunjukan, baik seni budaya tradisional maupun atraksi wisata lainnya….

 

 

 

 

SAATNYA MENYELAMATKAN BUAH-BUAHAN BORNEO YANG EKSOTIS

 Oleh Hasan Zainuddin

     lahung

     Buah Lahung

 Mahlan (60 th), seorang warga Banjarmasin mengaku rindu mencicipi lagi beberapa buah Kalimantan (Borneo) yang dulunya banyak ditemukan di wilayah Kalimantan Selatan.

        Tetapi kerinduan akan buah khas Borneo tersebut seringkali tak kesampaian, masalahnya buah tersebut sudah sulit diperoleh, walau mencarinya sudah ke mana-mana termasuk ke wilayah sentra buah-buahan daerah Banua Enam (enam kabupaten Utara Kalsel) atau yang sering pula disebut wilayah Hulu sungai.

        “Dulu aku sering makan buah durin merah, yang disebut Lahung, tetapi kini jangankan memakannya melihat pun sudah tak pernah lagi,” kata Mahlan mengisahkan.

        Kerinduan akan buah-buahan lokal tersebut agaknya bukan hanya menimpa Mahlan, tetapi mungkin ratusan bahkan ribuan orang warga yang tinggal di bagian selatan pulau terbesar di tanah air ini.

        Sebut saja buah yang sudah langka itu yang disebut karatongan, mahrawin, atau mantaula yang kesemuanya masih jenis durian (durio family).

        Belum lagi jenis buah lain seperti family rambutan banyak yang sudah hampir punah, sebut saja siwau, maritam,  kemudian jenis mangga-manggaan yang dulu banyak dikenal dengan sebutan asam tandui, hasam hurang, hambawang pulasan dan beberapa jenis lagi yang sulit diperoleh di pasaran.

maritam1maritam

Maritam

        Berdasarkan keterangan buah jenis di atas langka lantaran pohon buah-buah tersebut sudah banyak yang ditebang untuk digunakan sebagai bahan baku gergajian.

        Jenis kayu dari buah ini biasanya berbentuk besar dan tinggi, sehingga menggiurkan bagi orang untuk menebangnya dan menjadikan sebagai kayu gergajian.

        “Sejak sepuluh tahun terakhir ini, kayu buah-buahan tersebut ditebang diambil kayunya untuk dijual dan untuk bahan bangunan pembangunan rumah penduduk,” kata Rusli penduduk Kecamatan Paringin Selatan Kabupaten Balangan.

        Perburuan kayu buah-buahan tersebut terjadi setelah kayu-kayu besar dalam hutan sudah kian langka pula, akibat pembabatan hutan, sementara permintaan kayu untuk dijadikan vener ( bahan untuk kayu lapis) terus meningkat, setelah kayu-kayu ekonomis dalam hutan sudah sulit dicari.

        Bukan hanya untuk vener, kayu-kayu dari pohon buah itu dibuat papan untuk dinding rumah penduduk, atau dibuat balokan serta kayu olahan lainnya termasuk untuk industri rumah tangga.

        Beberapa warga di Banua Enam sendiri menyayangkan adanya oknum masyarakat yang suka menebang kayu buah tersebut, sebab jenis kayu ini sudah dipastikan berumur tua.

        “Kalau sekarang ditanam maka mungkin 50 tahunan bahkan ratusan tahun baru kayu itu besar,” kata warga yang lain. Sebagai contoh saja, jenis pohon buah lahung biasanya yang ditebang berusia ratusan tahun, makanya ukuran garis tengahnya paling minimal dua meter.

         Warga mengakui agak sulit melarang penebangan kayu pohon buah tersebut  karena biasanya kemauan pemilik lahan dimana pohon itu berada, untuk dijual dengan harga mahal, sehingga oleh pemilik lahan dianggap menguntungkan.

pohon lahung

Pohon buah lahung

         Pohon buah-buahan lokal Kalimantan ini banyak ditemui di wilayah lereng  Pegunungan Meratus seperti di Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) serta Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) dikenal sebagai sentra buah-buahan lokal  Kalsel.

        Kawasan ini terdapat durian sekitar 30 species , rambutan sekitar 40 species, dan mangga-manggaan yang juga puluhan species. Jenis buah yang biasanya selalu melimpah, adalah langsat terdapat beberapa species, rambai beberapa species, tiwadak buah sejenis nangka.

gitaan

Gitaan

        Mangga-manggan saja juga banyak jenisnya sebut saja Kasturi (Mangifera casturi), Hambuku (Mangifera spp), Hambawang (Mangifera foetida), kuwini (Mangifera odorata), Ramania (Bouea macrophylla), tetapi populasinya terus menyusut termasuk buah lain seperti Pampakin (Durio kutejensis), Mundar (Garcinia spp), Pitanak (Nephelium spp), Tarap (Arthocarpus rigitus), Kopuan (Arthocarpus spp), Gitaan (Leukconitis corpidae), serta Rambai (Sonneratia caseolaris).

jinalun

Langsat burung

kupuan

Kupuan

        Belum lagi buah dari kayu hutan alam yang tak pernah dibudidayakan warga seperti buah Sangkuang, buah Jinalun, Balangkasua, Duhat, Karamunting, Kumanding, Kembayau,  Tu’U, Manau, Kepayang, langsat Burung, Kuranji, Bangkinang, Brunai, ketapi, dan aneka buah dari kayu hutan lainnya.

kasturi

Buah Kasturi

        Langkanya buah tersebut cukup merisaukan banyak pihak termasuk dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) Prof Lukman Hakim saat berada di Banjarmasin baru-baru ini.

        “Buah khas Kalimantan Selatan, Kasturi, kini sudah tidak ditemukan lagi di hutan alam, kalaupun masih ada hanya yang ditanam di pekarangan,” kata Lukman Hakim.

        Hal itu dikatakan Lukman Hakim usai penandatanganan kerja sama antara LIPI, Pemprov Kalsel dan pengelola Kebun Raya di Banjarmasin.

        Menurut Lukman pembabatan hutan dan alih fungsi lahan untuk pertambangan dan perkebunan membuat sebagian besar spisies flora dan fauna khas Kalsel banyak punah, tentu sangat disayangkan karena keanekaragaman hayati tersebut tidak bisa ditemukan di daerah lain, sehingga perlu segera dilakukan langkah-langkah antisipasi untuk menyelamatkan kekayaan alam Kalsel yang masih tersisa.

        Buah Kasturi merupakan buah lokal di Kalimantan Selatan yang bentuknya mirip dengan mangga kecil, dan memiliki rasa yang sangat manis serta aroma yang harum menyengat, dan buah ini menjadi maskot Kalsel bidang flora.

        Dengan dibangunnya kebun raya di Kalsel salah satu bentuk penyelamatan karena akan membudidayakan tumbuhan langka dan obat-obatan khas daerah ini.

buah astambulbuah1


Perlu Pelestarian


Senada dengan Lukman Hakim seorang pecinta lingkungan dari Forum Komunitas Hijau (FKH) Banjarmasin menginginkan pemerintah menyelamatkan flasma nuftah setempat.

        “Rambutan Garuda (Nephelium lappaceum) yang juga sering disebut rambutan raksasa berasal dari kawasan Sungai Andai Kabupaten Barito Kuala (Batola) termasuk yang harus diselamatkan,” kata Wakil Ketua FKH Banjarmasin, Ir Mohamad Ary .

rambutan garuda

        Rambutan yang adaptif di lahan rawa ini mempunyai Keunggulan rasanya yang manis, buahnya yang besar ( 50,40 Gram/buah), daging buah yang tebal (0,65 cm), berbiji kecil ( 2,45 gram).

        Berdasarkan penelususan FKH ke kawasan Sungai Andai dan Terantang Batola belum lama ini ditemukan beberapa pohon rambutan garuda yang santat besar batangnya.

        Konon dari situlah bibit rambutan Garuda tersebut dilahirkan dan kemudian menyebar ke berbagai daerah di Kalsel, Kalteng, Kaltim bahkan konon pula bibit ini sampaike negara Thailand dan dikembangkan di negara tersebut.

        Walau sudah banyak tahu jenis rambutan tersebut berasal dari kawasan Sungai Andai Batola namun pohon-pohon besar tersebut terkesan kurang terawat dengan baik.

        “Kami FKH ingin sekali Pemerintah Batola pelihara induk flasma nuftah tersebut,kalau perlu pemerintah setempat membangun sebuah kawasan penyelamatan flasma nuftah buah-buahan,” katanya.

        Masalahnya di kawasan tersebut juga banyak dibibitkan jenis bibit rambutan lainnya, seperti rambutan sibatok, rambutan antalagi, rambutan timbul, dan beberapa jenis manggga seperti kuini, hampalan, serta kasturi.

jinalun Buah hutan Jinalun

        Sementara seorang anggota FKH Radius Ardanias Hadariah menilai wilayah ini diperlukan adanya laboratorium pemuliaan buah-buahan lokal untuk menyelamatkan keberadaan buah-buahan tersebut.

        Dengan adanya laboratorium tersebut mempermudah melakukan perbanyakan bibit buah-buahan lokal tersebut.

        Menurut Radius Ardanias yang dikenal sebagai pemerhati buah-buahan lokal tersebut menyebutkan penyelamatan plasma nutfah berupa buah-buahan lokal harus dilakukan agar keberadaan buah lokal bisa bersaing dengan buah dari luar.

        Ia juga menyarankan pemerintah untuk melakukan pelatihan para petani setempat bagaimana melakukan perkebunan buah-buahan secara produktif, yang hasilnya bisa kompetetif secara ekonomi.

        Perbanyakan tanaman lokal unggul melalui okulasi atau kultur jaringan perlu digiatkan dan dipasarkan secara luas.

        Bila penyelamatan buah lokal tersebut tidak dilakukan maka tanamaan lokal akan tergusur tanaman dari luar, karena pasar bibit tanaman buah yang ada di wilayah ini seakan dikuasai bibit buah dari jawa, yang perbanyakannya melalui okulasi dilakuakn secara masif di Jawa Timur dan Jawa Barat.

        Sebagai contoh, bila mau cari bibit duren si Japang asli dari Biih Martapura, sudah pasti tidak tersedia, yang ada justru duren Petruk, Matahari, Sukun, atau varitas asal Thailand.

        Selain itu untuk bibit mangga lokal juga tidak tersedia, yang ada bibit dari Pulau Jawa juga.

        “Hal ini terjadi karena pengusaha pembibitan dan balai benih pemerintah terkesan malas, hanya mau beli dari pembibit dari Pulau Jawa dan jual di sini.” katanya.

        Hal seperti seharusnya segera diatasi, jika tidak maka buah-buahan unggul lokal akanpunah semua, lantaran bibit tidak tersedia, menanam dari biji agak lama akhirnya pekebuan buahan setempat akan beralih ke bibit dari Pulau Jawa.

        “Ayo, jangan malas mengurus perkebunan lokal mulai dari pemuliaan, perbanyakan bibit, dan memahami karakter dalam pemeliharaan dan termasuk pasarnya sebagai komoditi,” katanya.

        Buah lokal yang eksotis tersebut bukan saja perlu dilestarikan, tapi perlukan dikembangkan hingga bisa punya nilai ekonomi tinggi.

        Pemerintah perlu juga membuat kebun percontohan buah-buahan lokal secara luas sehingga bisa digunakan untuk tujuan konservasi, rekreasi, edukasi dan penelitian lanjutan pengembangan buah lokal sebagai komoditi perdagangan.

        “Ini mendesak sekali, jika tidak kita akan terhimpit, baik secara budaya (agroculture lokal), maupun secara ekonomi kerena harus impor” tambahnya lagi.

        Pemerintah bersama Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) harus buat program ambisisius soal ini, jangan biasa-biasa saja, karena sangat potensial, sayang buah-buahan lokal unggul itu terkubur karena tidak dikembangkan baik produksinya maupun jaringan distribusinya.

       “Jangan menutup mata, jangan sampai terlalu terlambat melaksanakan hal seperti itu, agar tidak menyesali kecerobohan yang terlalu,” demikian Radiuas Ardanias Hadariah.

kapulramaniapempakinmundarmentegakatapikalangkalajentik2asam tanduirambutan hutan

MENCARI KEPUASAN JIWA DENGAN BUDI DAYA ANGGREK KALIMANTAN

Oleh Hasan Zainuddin

halaman2

halaman rumah

Anggrek Balangan


Setiap bangun tidur Haji Jainudin (50) langsung ke pekarangan rumahnya di bilangan Jalan Sultan Adam, Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, semata ingin menyaksikan sekuntum bunga anggrek mekar yang dibudidayakan di lahan kecil tempat tinggalnya.

Dalam hatinya bertanya-tanya, seperti apakah gerangan rupa mekar bunga anggrek yang baru saja diperolehnya di hutan Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan tersebut. Sebab, ia belum pernah melihatnya.

Setelah menyaksikan dengan saksama bunga yang sudah mekar itu hatinya begitu senang. Berulangkali ia amati. Walau kecil saja bunganya tetapi berbau harum, dan memberikan warna warni dan bintik-bintik merah.

“Indah sekali. Indah sekali,” kata Haji Jainudin sambil berjingkrak seraya mengambil sebuah kamera lalu membidikkan berulangkali ke arah sekuntum bunga anggrek yang baru mekar tersebut.

Kemudian hasil jepretannya dikoleksi, kemudian disusun rapi dalam sebuah album di komputer dan diberi judul “bunga-bunga anggrek alam Kalimantan.”

halaman
Lain lagi cerita pecinta anggrek lainnya, Khaidir (45) juga berada di bilangan Jalan Sultan Adam Banjarmasin, ia paling suka menghadapi tantangan dengan memelihara anggrek Kalimantan yang masih kecil-kecil. Karena masih kecil, riskan mati dan busuk, sehingga harus dirawat secara saksama agar bisa besar dan berbunga.

Bibit anggrek kalimantan ia peroleh dari para pedagang di pinggir jalan atau ada pula yang melalui pusat penjualan bibit anggrek yang ada di Banjarmasin.

“Saya itu sangat puas hati, jika anggrek bulan hutan Kalimantan yang kecil-kecil itu kemudian tumbuh subur menjadi sebuah untaian anggrek bulan yang besar dan melahirkan bunga-bunga yang indah pula,” kata Khaidir.

Bila beberapa anggrek bulan itu bermekaran di musim hujan seperti sekarang ini, waduuuh senang sekali rasanya, dan itulah pesona kegandrungan memelihara anggrek alam, tambahnya.

Anggrek alam Kalimantan yang dipelihara kedua pecinta anggrek tersebut memang asli berasal dari hutan belantara, bukan hasil rekayasa manusia seperti anggrek-anggrek hibrida yang banyak diperjual belikan di pasaran.

Bentuk anggrek Kalimantan ini beraneka ragam, baik bentuk bunga, bentuk barang, bentuk buah, bentuk daun dan cara hidupnya pula, ada yang hinggap di batang induk, ada yang tumbuh di tanah, ada pula yang hanya bergelantungan di di pohon.

halaman1

Seorang pencinta anggrek lainnya, Rusmin Argalewa yang sekarang menjadi Staf Ahli Wali Kota Banjarmasin yang juga mantan Kepala Dinas Pertanian, serta mantan Kepala Dinas Pertamanan Kota setempat menyatakan kesenangannya memelihara anggrek hutan Kalimantan sejak dulu.

Rusmin yang bermukim di kompleks perumahan Pemkot Banjarmasin di bilangan belakang Stadion Lambung Mangkurat, kilometer lima Banjarmasin memiliki puluhan bahkan ratusan spesies anggrek asal pulau terbesar Indonesia tersebut.

Rusmin sendiri selain mengoleksi anggrek juga tanaman khas Pulau Borneo ini seperti aneka jenis buah-buahan yang sudah tergolong langka.

“Berdasarkan hasil penelitian siapa yang suka memelihara anggrek dengan saksama dengan perasaan senang, maka akan selalu awet muda,” tuturnya.

Konon, katanya, saat perasaan hati senang itu terproduksi sebuah hormon dalam tubuh yang bisa melahirkan “antibody” hingga badan sehat wal’afiat jauh dari serangan penyakit.

Dengan alasan itulah ketiga pecinta anggrek asal Banjarmasin ini selalu berlomba menambah koleksi anggrek hutan.

Para pecinta anggrek alam mengoleksi dengan berbagai cara, selain memburu sendiri ke hutan, juga membelinya dari para penebang kayu, pembuka lahan, atau di pedagang pinggir jalan.

Lokasi yang paling banyak menjual anggrek hutan Kalimantan ini, adalah pada tiap hari Minggu di bilangan Jalan A Yani, Kertak Hanyar Banjarmasin.

Anggrek hutan ini bentuknya beraneka ragam, ada yang menempel di pohon induk, atau di pagar, di pakis, sabut kelapa, ada pula yang hanya bergelantungan di pohon dengan menghirup nutrisi di udara serta yang hidup di tanah.

Hutan Kalimantan, khususnya Kalsel memang memiliki kekayaan flora yang khas, khususnya anggrek.

Berdasarkan catatan anggrek hutan Kalimantan mencapai ratusan bahkan ribuan spesies, dan selalu menjadi pembicaraan kalangan pecinta anggrek karena jenis di pulau terbesar ini dinilai khas dan indah. Sebut saja yang dinamakan anggrek hitam (Coelogyne pandurata).

Lidah bunga hitam pekat dengan kelopak mahkota hijau mulus menjulur di batang tangkai. Itulah kekhasan anggrek hitam sang primadona Kalimantan itu.

Kemudian ada lagi anggrek yang disebut Grammatophyllum speciosum, atau anggrek harimau atau juga disebut sebagai anggrek tebu lantaran bentuk batang dan daun seperti tebu, adalah anggrek terbesar di dunia yang berkembang biak di sela-sela pohon besar, Satu rumpun tanaman ini pernah tercatat memiliki berat dua ton.

Berada di lingkungan panas, hutan tropis yang lembab di kawasan Pulau Kalimantan juga menjadi daya tarik kolektor anggrek.

Keistemewaan anggrek tebu sangat tahan lama dan dapat bertahan sampai dua bulan. Bunganya dapat mencapai 6 inchi, kuning krem dengan bintik cokelat atau merah tua. Stem bunga dapat mencapai 6-9 inchi dengan 60-100 kuntum per tangkai.

Kawasan anggrek yang cukup dikenal di Kalimantan Selatan adalah hutan Pegunungan Meratus, wilayah yang membujur dari selatan ke utara, mengandung kekayaan alam flora dan fauna. Hutan ini ternyata disebut juga dengan istana anggrek.

Wilayah hutan Pegunungan Meratus Kalsel itu meliputi Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong, Balangan dan Hulu Sungai Tengah (HST).

Bukan saja terdapat dua jenis anggrek yang dikenal itu, tetapi beberapa jenis anggrek lainnya seperti jenis Phalaenopsis bellina, Arachis breviscava, Paraphalaenopsis serpentilingua, Macodes petola, jewel orchids, Tainia pausipolia, anggrek tanah, Phalaenopsis cornucervi, Coelogyne asperata, anggrek berbau busuk.

Kemudian anggrek pandan Cymbidium finlaysonianum, Dorrotis pulcherrima, Chairani punya Plocoglotis lowii, Tainia pauspolia, Destario Metusala, Ceologyne espezata, Paphiopedilum lowii dan Paphiopedilum supardii (anggrek nanas).

Tetapi belakangan yang paling populer adalah anggrek bulan spesies Pleihari yang terbilang langka.

Menurut Rusmin Argalewa yang juga anggota Perkumpulan Anggrek Indonesia (PAI) Kalsel, anggrek langka tersebut kini banyak diburu kolektor.

Bahkan Ny Hj Jusuf Kalla beberapa waktu lalu terkesan dengan anggrek hutan khas Kalsel tersebut sehingga membeli untuk dibawa ke Jakarta.

Anggrek ini termasuk langka di dunia dan dijadikan puspa pesona nasional.

Menurutnya jenis anggrek langka yang disebut spesies “Phalaenoasis amabilis Pleihari”, tersebut hanya beberapa kolektor saja yang memilikinya, lantaran sulit berkembang biak.

Anggrek Pleihari sejenis anggrek bulan yang hanya ada di hutan kawasan Pleihari, tetapi uniknya beda lokasi maka akan berbeda pula bentuk bunganya.

Seperti anggrek Pleihari yang diperoleh dari hutan kawasan Gunung Bira maka bunganya akan beda dengan anggrek Pleihari yang diperoleh dari kawasan hutan Gunung Ranggang, begitu juga anggrek Pleihari dari kawasan hutan Gunung Pleihari berbeda pula dengan yang lainnya.
Sementara keterangan lain menyebutkan anggrek spesies Pleihari ini memang agak beda dibandingkan anggrek kebanyakan, masalahnya daunnya agak panjang dan memiliki bunga yang unik, warna putih di tengah ada warna kuning dan di tengah warna kuning itu ada bintik-bintik merah.

Kelebihan dan keunikan lain jenis anggrek ini, adalah tangkai bunga, bila anggrek lain tangkai bunga biasanya mati setelah mengeluarkan bunga, tetapi bagi anggrek khas Pleihari ini justru tangkai bunga ini terus memanjang hidup dan akhirnya di tangkai bunga itu pula keluar bibit-bibit baru tanaman itu.

Untuk menanamkan kecintaan terhadap anggrek khususnya dari Kalimantan beberapa kegiatan terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun dari PAI Kalsel, seperti beberapa kali kontes, pelatihan budidaya hingga kegiatan dialog mengenai anggrek menghadirkan pakar anggrek dari Jakarta, Franky Handoyo.

Berdasarkan sebuah tulisan pula upaya pengumpulan dan pendokumentasian tumbuhan dan termasuk anggrek alam Kalimantan dimulai sekitar tahun 1825 oleh George Muller asal Jerman.

Sementara antara tahun 1901-1902, ahli botani asal Jerman bernama Friederick Ricard Rudolf Schlechter melakukan ekspedisi di Kalimantan mengumpulkan sekitar 300 tanaman anggrek.

Pada tahun 1925, Eric P Mjoberg melakukan perjalan ke Kaltim dan mengumpulkan 15.000 tanaman.

Sebagian di antaranya diberikan ke Kebun Raya Bogor, yakni 127 jenis pakis dan anggrek.

Pada tahun yang sama, F Hendrik Endert, warga Belanda yang bekerja di Balai Penelitian Bogor juga melakukan ekspedisi ke Kaltim dan mengumpulkan 5.417 tanaman.

Melihat kekayaan alam Kalimantan dengan banyaknya spesies anggrek, sudah selayaknya habitat itu dijaga dan dilestarikan setidaknya melalui pembudidayaan dan pelestarian yang dilakukan kalangan kolektor agar jenis-jenis itu kian berkembang biak di kemudian hari.
anggrek1anggrek23456anggrek hitam78

MENYELAMATKAN TAHURA SULTAN ADAM SEBAGAI MENARA AIR

Oleh Hasan Zainuddin

1

penulis

riam kanan

riam kanan
Banjarmasin,18/3 (Antara)- Persoalan air minum kini menghantui warga Provinsi Kalimantan Selatan lantaran persediaan tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat wilayah tersebut.

Persoalan yang dihadapi beberapa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di wilayah Kalsel sulit mencari sumber bahan baku, andalan air baku selama ini masih terpaku pada air Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan Meratus atau wilayah Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam.

Padahal kondisi Tahura yang seluas 112 ribu hektare itu belakangan ini kian rusak saja, lantaran kebakaran hutan, dan ditengarai juga akibat adanya penebangan kayu secara liar dan usaha pertambangan ilegal, dan kegiatan pemukiman.

Bukti Tahura yang merupakan daerah resapan air tersebut sudah rusak adalah kian berkurangnya volume air yang turun dari wilayah tersebut, sehingga seringkali terjadi intrusi air laut ke Sungai Martapura sebab karena tekanan air dari atas berkurang maka air laut yang asin masuk hingga ke hulu sungai.

“Bila kadar garam air sungai Martapura di atas 200 ppm maka sulit dijadikan air bersih PDAM,” kata Direktur Utama PDAM Banjarmasin, Ir Muslih.

Bukan hanya peroalan keasinan sungai yang dihadapi perusahannya belakangan ini, karena juga tingkat kekeruhan air Sungai Martapura yang begitu tinggi lantaran partikel lumpur dalam air yang pekat menandakan air sudah tidak bersih lagi setelah adanya kerusakan kawasan di hulu sungainya.

Tingkat kekeruhan yang ideal untuk diolah menjadi air bersih hanya 50 hingga 100 per liter, tetapi hasil laboratorium ternyata air Sungai Martapura pernah mencapai 500 hingga 1000 mto, malah kasus tertinggi capai 5000 mto per liter,kata Muslih.

Akibat kerusakan hutan di hulu sungai, menyebabkan terjadi erosi dan bila terjadi hujan sedikit saja maka partikel tanah merah, pasir, dan debu dan lainnya ikut larut dan masuk ke dalam sungai terus mengalir kemuara hingga ke Banjarmasin.

Keluhan serupa bukan saja dirasakan PDAM Banjarmasin, tetapo juga PDAM di Kota Martapura Kabupaten Banjar, serta PDAM Kota Banjarbaru.

Bahkan menurut perkiraan, bila tidak ada upaya perbaikan kawasan Tahura yang dianggap sebagai wilayah menara air Kalsel itu, maka lima atau sepuluh tahun ke depan wilayah ini akan kesulitan memperoleh air bersih untuk air minum.

air

air di mandiangin Tahura

teman

bersama teman
Terjadi Kerusakan
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Sultan Adam, Akhmad Ridhani di lokasi Tahura Sabtu (16/3) mengakui lahan wilayahnya terjadi kerusakan.

Sekitar 30 persen lahan Tahura kini kritis, atau sekitar 40 ribu hektare dari luas keseluruhan 112 ribu hektare.
“Kondisi tersebut sungguh merisaukan karena itu diperlukan upaya rehabilitasi,mengingat kawasan tersebut merupakan kawasan resapan air,” katanya saat mendampingi Bupati Banjar, Sultan Khairul Saleh melakukan penanaman massal bibit penghijauan di lokasi tersebut.

Dalam penanaman bibit penghijauan Tahura tersebut selain di lakukan para pejabat lingkungan Pemkab Banjar juga melibatkan puluhan wartawan yang tergabung dalam komunitas “pena hijau.”
Menurut Ridhani jumlah lahan kritis di kawasan Tahura yang masuk wilayah Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar itu merupakan hasil pendataan yang dilakukan pada 2007.

“Hingga 2010 luasan lahan kritis yang sudah ditanami bibit pohon mencapai 100 hektare dan luasannya akan terus ditingkatkan untuk mengurangi banyaknya lahan kritis,” katanya seraya menyebutkan tanaman yang dikembangkan tersebut adalah jenis buah-buahan dan jenis kayu khas setempat, seperti ulin, kruing, sintuk dan lainnya.

Dijelaskan, terjadinya lahan kritis di kawasan Tahura bukan disebabkan penebangan liar tetapi lebih banyak akibat terjadinya kebakaran hutan sehingga membuat areal sekitarnya kritis karena tidak ditumbuhi pepohonan.

Selain akibat kebakaran hutan dan lahan, munculnya lahan kritis juga diduga pembukaan kawasan menjadi ladang dan kebun bagi sebagian masyarakat setempat untuk ditanami pohon-pohon produktif.

Dikatakannya, upaya yang dilakukan untuk mengurangi luasan lahan kritis adalah rehabilitasi lahan melalui program penanaman bibit pohon baik yang dibiayai APBD Provinsi Kalsel, APBN maupun bantuan pihak ketiga.

Pihak ketiga yang memberikan dana penghijauan di areal yang menjadi kawasan penelitian, pendidikan, dan wisata alam tersebut, selain dari donatur luar negeri juga dari berbagai perusahaan, termasuk dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Banjarmasin.

“Setiap tahun melalui APBD Kalsel dialokasi anggaran untuk rehabilitasi lahan termasuk memanfaatkan dana APBN serta menjaring bantuan dari pihak ketiga terutama kalangan swasta,” ujarnya.

Ditambahkan, penanaman bibit pohon yang dibiayai APBD Kalsel setiap tahun mencapai luasan 10 hektare dan melalui APBN berhasil ditanami bibit pohon dengan luasan mencapai 40 hektare hingga 50 hektare.

“Ke depan kami berupaya memfokuskan bantuan dari pihak ketiga sebagai bentuk partisipasi mereka terhadap upaya kepedulian lingkungan sehingga luasan lahan yang bisa ditanami lebih besar,” katanya.

Tahura Sultan Adam ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 52 Tahun 1989 seluas 112.000 Ha dan secara administratif meliputi wilayah Kabupaten Banjar dan wilayah Kabupaten Tanah Laut.

Sejak tahun 2008 telah dibentuk UPT Dinas kehutanan Provinsi Kalsel Taman Hutan Raya Sultan Adam dengan Dasar Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang SOTK Perangkat Daerah Provinsi Kalsel dan Pergub Kalsel Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Tahura Sultan Adam.

sultan 1

penanaman bibit

Tahura yang berekosistem hutan hujan tropika ini terdapat aneka flora dan fauna yang beberapa diantaranya spesifik Kalimantan, seperti meranti (Shorea spp), ulin (Eusideroxylon zwageri), kahingai (Santiria tomentosa), damar (Dipterocarpus spp.), pampahi (Ilexsimosa spp.), kuminjah laki (Memecylon leavigatum), keruing (Dipterocarpus grandiflorus), mawai (Caethocarpus grandiflorus), jambukan (Mesia sp.), kasai (Arthocarpus kemando), dan lain-lain.

Sedangkan faunanya terdapat bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates muelleri), lutung merah (Presbytis rubicunda), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang merah (Muntiacus muntjak), kijang mas (Muntiacus atherodes), dan pelanduk (Tragulus javanicus).

Kemudian juga ada hewan landak (Hystrix brachyura), musang air (Cynogale benetti), macan dahan (Neofelis nebulosa), kuau/harui (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang (Berenicornis comatus), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang bondol (Haliastur indus), raja udang sungai (Alcedo atthis), raja udang hutan (Halycon chloris), dan lain-lain
Ketika ditanya adanya pemukiman di tengah hutan lindung Tahura tersebut, Ridhani menyebutkan terdapat sekitar 7000 jiwa di 12 desa penduduk.

Menurutnya penduduk tersebut sulit direlokasi ke daerah di luar dari kawasan tersebut, masalahnya mereka sudah ada turun temurun sebelum ditetapkannnya kawasan Tahura sebagai hutan lindung.

Walau perkampungan tersebut sulit dipindahkan tetapi keberadaan penduduk dinilai tidak merusak lingkungan, bahkan dinilai masih melestarikan lingkungan dengan tidak merusak hutan.

“Agar penduduk tidak merusak lingkungan,mereka dirangkul untuk memperbaiki lingkungan, seperti mereka dibiarkan berkebun tetapi kebun yang baik untuk kawasan resapan air, seperti perkebunan buah-buahan, kebun karet, serta reboisasi hutan”, katanya.

Sudah banyak bibit pohon yang diserahkan kepada masyarakat setempat kemudian ditanam kembali ke areal kawasan tersebut yang mengalami kerusakan.

sultan Aku Bersama Sultan

Walau sebagian kecil mereka juga ada yang melakukan aktivitas pendulangan emas, tetapi skala kecil di bawah pepohonan hutan dengan lubang pendulangan hanya skala kecil pula seperti lubang hanya selebar satumeter lebih dan itu dianggap tak merusak hutan.

Di areal Tahura ini terdapat sebuah bendungan Riam Kanan seluas 5600 hektare yang sudah menjadi reservuar dan airnya menjadi tenaga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) , PLN setempat.

Melihat kondisi yang vital demikian maka tidak ada ijin untuk penebangan kayu, pertambangan, dan sejenis yang bisa merusak hutan lindung kecuali ijin wisata di sekitar Mandiangin dan itupun harus menjamin tak merusak lingkungan.

Dengan adanya upaya perbaikan di wilayah yang menjadi banyak tumpuan harapan persediaan air itu , diharapkan akan menghilangkan kekhawatiran akan kelangkaan air di masa-masa mendatang .

HARGA BAWANG RISAUKAN WARGA BANJARMASIN

Oleh Hasan Zainuddin

bawang2
Banjarmasin,17/3 (Antara)- “Berapa harga bawang merah ini,” kata seorang pembeli kepada seorang pedagang sayuran di bilangan Pasar Sungai Andai, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan.

“Rp14 ribu, seperempat kilogram,” kata pedagang tersebut, “wah tetap mahal ya berarti Rp56 ribu per kilogram” kata pembeli lagi.

Harga bawang merah mahal di kota berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa tersebut memang sudah berlaku sepekan belakangan ini, dan itu melahirkan berbagai kerisauan banyak pihak, terutama kalangan ibu rumah tangga dan pedagang makanan di kota setempat.

Pasalnya, sudah hampir dipastikan bawang merah selalu menjadi bahan untuk bumbu masak makanan khas setempat, seperti soto Banjar, lontong, nasi kuning, rawon, ketupat kandangan,laksa, dan makanan khas Banjar lainnya.

Salah satu jenis makanan yang wajib menggunakan bawang merah adalah sambal terasi, tanpa bawang merah maka makanan ini benar-benar seperti tidak berarti apa-apa.

bawang1

“Nih gara-gara harga bawang merah mahal,kami terpaksa menyajikan sambal terasi tidak sebanyak biasanya kepada para konsumen kami, guna menekan kerugian,” kata Mahmudah seorang pemilik warung makanan khas Banjar di bilangan Kayu Tangi Banjarmasin.

Dalam makanan khas Banjar, seperti makanan ikan bakar seperti papuyu baubar, paisan patin, haruan panggang, gangan asam haruan, yang disajikan bersama gangan waluh, gangan humbut, gangan tungkul, tarung bajarang dan pucuk gumbili bajarang wajib ada sambal terasi.

Dengan mahalnya harga bahan yang didatangkan dari Pulau Jawa tersebut membuat persoalan baru di kalangan para pedagang makanan yang berada di wilayah yang berjuluk “kota seribu sungai” tersebut.

Persoalan juga dihadapai kalangan ibu rumah tangga, setelah harga bawang merah mahal maka porsi uang yang akan dibelikan ke bahan lain menjadi berkurang.

“Repot juga ya, setelah harga bawang merah naik maka porsi beli ikan dikurangi, sebab mau tak mau kita tetap beli bawang,” kata Nor Aida ibu rumah tangga di ilangan Sungai Andai.

Kenaikan harga bawang tersebut telah membuka mata banyak pihak bahwa komoditi tersebut begitu sangat berarti yang harus dicarikan solusi dalam pembudidayannya agar tidak terpaku pada produksi daerah tertentu saja.

Apalagi lahan untuk pembudidayaan bawang merah sebanarnya begitu luas di berbagai daerah tinggal bagaimana masyarakat dengan dorongan pemerintah bisa berkomitmen mengembangkan komoditi tersebut.

Di wilayah Kalimantan Selatan sendiri memang belum terdengar adanya petani mengembangkan pertanian tersebut, karena selama ini terjebak oleh kebiasaan membeli bawang dari Pulau Jawa khususnya brebes atau dari Nusa Tenggara Barat (NTB).

Padahal alam Kalsel berdasarkan keterangan relatif ideal untuk tanaman yang disebut sudah dikenal oleh bangsa Mesir kuno sejak 5.000 tahun silam itu.

Sebagai contoh saja, lahan di Kapuas Murung Kalimantan Tengah yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Banjarmasin berbahasil mengembangkan bawang merah.

Kepala Seksi Pengembangan Buah dan Sayuran Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distantura) Kabupaten Kapuas, Teguh Setio Utomo di Kuala Kapuas, mengatakan hasil inisiasi yang telah dilakukan di wilayah setempat memiliki lahan yang cocok untuk tanaman bawang merah ((Allium ascolonicum L).

“Agroklimat di Kecamatan Kapuas Murung cocok untuk bawang merah, karena tanahnya hampir sama pada sentra bawang merah di Brebes Jawa Tengah dengan produktivitas bawang merah yang cukup bagus dalam setiap hektarnya antara 6-7 ton per hektar,” katanya.

Hanya saja, katanya, karena bawang merah ini merupakan produk sayuran yang tidak tahan lama disimpan karena kadar air tinggi maka dalam pengembangannya masih banyak terdapat kendala.

Kendala yang dihadapi oleh petani di Kecamatan Kapuas Murung yakni teknologi penyimpanan bawang merah masih sederhana karena hanya melalui proses penjemuran untuk pengeringan dan disimpan.

“Yang lebih parahnya, produktivitas bawang merah akan turun jika penanamannya dilakukan pada musim hujan, karena tidak tahan terhadap hama dan penyakit yakni layu daun sehingga ini yang menyebabkan budidayanya cukup rumit untuk dikerjakan oleh petani,” katanya.

Ia juga mengatakan tanah di Kabupaten Kapuas memang cocok untuk budidaya bawang merah serta bawang daun, namun tidak cocok untuk budidaya bawang putih.

Sehingga untuk mencukupi kebutuhan bawang merah maupun bawang putih maka dipasok dari luar daerah yang dampaknya ketika terjadi lonjakan harga tidak dapat distabilkan dari produksi bawang merah yang ada di Kabupaten Kapuas karena sifatnya masih inisiasi dan tidak dalam skala besar.

Lain lagi cerita di Desa Sungai Gohong, Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya, atau sekitar 140 Km dari Banjarmasin dimana petani setempat mencoba mengembangkan bawang merah ternyata berhasil dengan produksi hampir 10 ton per hektare setiap tahun.

Melihat keberhasilan itu bisa menjadi inspirasi warga lainnya yang alam sama termasuk Kalsel yang memiliki lahan terlantar sekitar 500 ribu hektare mengembangkan komoditi tersebut.
Distribusi

310306-18-Tiga petani pilih bawang merah untuk jadikan benih
Berdasarkan sebuah tulisan karya mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjary, Kalsel menjadi salah satu daerah yang saat ini terus dikembangkan, dengan luas sekitar 3.753.052 hektare atau 37.530 km2.

Dengan luas demikian sangatlah potensial terutama sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang memiliki prospek besar untuk meningkatkan ekonomi daerah selain pertambangan dan perdagangan.

Namun meskipun potensial, dari sisi pemenuhan kebutuhan beberapa komoditas saat ini masih menempati jajaran belakang yang artinya
penyediaan akan komoditas tersebut masih tergantung dengan daerah lain khususnya Jawa, misalnya untuk kebutuhan sayur-sayuran jenis bawang.

Di Kalsel pada tahun 2008 rata-rata pengeluaran masyarakat untuk
sayuran termasuk juga bawang sebesar Rp13.704,- per kapita per bulan.
Jumlah tersebut naik 9,04 persen dari tahun 2007 yang sebesar Rp 12.465,- per kapita per bulan.

Dibandingkan pengeluaran masyarkat terhadap bahan konsumsi yang lain misalnya daging, rata-rata per kapita per bulannya pada tahun 2008 di Kalsel hanya Rp5.875,- dan buah-buahan Rp12.322,-.

Selama ini pasokan bawang merah yang masuk ke Kalsel berasal
dari Bima dan Jawa. Di Jawa sentra-sentra produksi bawang merah adalah Brebes, Cirebon, Kendal, Nganjuk dan Probolingo.

Hasil survei tahun 2010, responden menyatakan pengiriman selain dari Bima juga dari surabaya. Sedangkan bawang putih dipasok terutama dari Wonosobo dan Malang lewat Surabaya.

Bawang merah yang diperdagangkan di wilayah Banjarmasin khususnya dan Kalsel pada umumnya dipasok dari Jawa (Surabaya) dan Nusa Tenggara Barat (Bima).

Dari Banjarmasin inilah komoditas tersebut menyebar ke seluruh wilayah Kalsel.

Pembelian bawang merah yang di lakukan oleh pedagang besar
di Banjarmasin berkisar antara 27,83 – 36,13 ton per bulan.
Tingginya permintaan bawang merah di masyarakat selain memang untuk bumbu dapur juga untuk kesehatan.

Penelitian kesehatan menyebutkan bawang merah bisa mencegah kanker karena kandungan sulfurnya. Umbi lapisnya mengandung zat-zat seperti protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin B1 dan C.

Bawang merah mengandung kalori, karbohidrat, lemak, protein, dan serat makanan. Serat makanan dalam bawang merah adalah serat makanan yang larut dalam air, disebut oligofruktosa.

Kandungan vitamin bawang merah adalah vitamin A, vitamin B1 (tiamin), vitamin B2 (G, riboflavin), vitamin B3 (niasin), dan vitamin C. Bawang merah juga memiliki kandungan mineral di antaranya adalah belerang, besi, klor, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, natrium, silikon, iodium, oksigen, hidrogen, nitrogen, dan zat vital nongizi yang disebut air.

KEBUN RAYA BANUA KEMBANGKAN TANAMAN BERKHASIAT

Oleh Hasan Zainuddin

images

 

 

Kebun Raya Banua yang dibangun Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan seluas 100 hektare di kawasan Kota Banjarbaru akan difokuskan bagi pengembangan pembudidayaan tanaman berkhasiat.

Lokasi yang berada di sekitar kompleks perkantoran Pemerintah Provinsi Kalsel itu nantinya menjadi sarana pelestarian tanaman berkhasiat dan tanaman khas dari 13 kabupaten dan kota yang ada di provinsi paling selatan Kalimantan ini.

Seperti penuturan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Kalsel Suriatinah, saat pencanangan pemanfaatan Kebun Raya Banua, Rabu (13/2) untuk mewujudkan lokasi tersebut sebagai tempat pelestarian tanaman berkhasiat maka selama tahun 2012 pihaknya sudah melakukan identifikasi jenis tumbuhan berkhasiat obat.

Identifikasi tanaman berkhasiat obat tersebut berada di enam kabupaten di Provinsi Kalsel, seperti Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Balangan, dan Kabupaten Tabalong.

Dari hasil identifikasi itu ditemukan adanya 121 jenis tanaman khas Kalimantan yang masing-masing memiliki khasiat.
Pada 2013 ini, kata dia, akan dilakukan eksplorasi lebih intensif untuk mengetahui lebih dalam mengenai jenis tanaman khas Kalimantan, dan manfaatnya.

Saat ini, beberapa tanaman berkhasiat mulai dikembangkan melalui upaya persemaian bibit tumbuhan di Balai Pengkajian dan Pengembangan Pertanian Terpadu Tambang Ulang Kabupaten Tanah Laut. Selain itu, Kalsel juga mendapatkan bantuan berupa koleksi tanaman dari Kebun Raya Bogor.

Sementara Wakil Gubernur Kalsel, Rudy Resnawan saat bersamaan mengatakan, pembangunan kebun raya adalah inisiatif dari Pemprov Kalsel sendiri, dan terdapat tiga aspek yang dihasilkan di lokasi itu, yakni aspek pendidikan, kesehatan, dan pariwisata.

“Kebun raya ini bisa menjadi sarana pembelajaran, selain itu juga bisa menjadi destinasi wisata yang murah dan mudah diakses, sehingga kebun raya bisa jadi tujuan wisata baru,” katanya seraya menjelaskan Pembangunan Kebun Raya Banua dimulai Februari 2013, diawali pada lahan seluas delapan hektare.

Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Mustaid Siregar yang hadir pada pencanganan tersebut menambahkan, kebun raya sangat pas untuk dijadikan sarana pendidikan dan penelitian.

“Potensi tersebut harus terus dijaga, sehingga ke depan harus dibangun kepedulian bahwa kebun raya bukan hanya milik Pemprov Kalsel saja tetapi juga milik masyarakat,” katanya.

Pihak swasta, tambah dia, juga bisa diundang untuk berpartisipasi, mengembangkan potensi kekayaan hayati Kalsel tersebut.

Pencanangan kebun raya daerah milik Pemprov Kalsel itu dilakukan oleh Wakil Gubernur Kalsel Rudy Resnawan di Kantor Sekretariat Daerah Pemprov Kalsel, Jalan Aneka Tambang, Banjarbaru.

Selain dihadiri beberapa pejabat Pemprov Kalsel, pencanangan dihadiri oleh beberapa pejabat dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi antara lain Staf Khusus Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Media dan Daerah Gusti Nurpansyah.

Berdasarkan keterangan kebun raya di Kalsel ini lebih luas dari Kebun Raya Bogor yang hanya 85 hektare.

Bila Kebun Raya Bogor bisa menampung 12 ribu jenis tanaman, apalagi Kebun Raya Banua dengan luas 100 hektare, tentunya bisa menampung lebih banyak lagi jenis tanaman langka dan obat-obatannya.
Konon dalam pengembangan Kebun Raya Banua ini akan memperoleh pendampingan dari para ahli Kebun Raya Bogor dan sejumlah ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Kakarta, guna pembinaan SDM guna eksplorasi potensi hutan Kalsel dan juga memberikan pelatihan.

Bahkan kebun raya ini akan memperoleh masukan dari Kementerian Pekerjaan Umum untuk penataan kawasan yang ideal mengenai tata ruang kebun raya tersebut.

Kebun Raya Banua dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Kalsel, terdiri lima blok, blokk A seluas 29,76 hektare sebelah utara, Blok B seluas 7,87 hektare sebelah barat, Blok C seluas 36,43 hektare sebelah barat, Blok D seluas 11,41 hektare sebelah selatan dan Blok E seluas 35,66 hektar sebelah timur.

Kebun ini akan menyimpan koleksi tumbuhan berkhasiat obat, misalnya ulin (kayu besi) yang berkhasiat menghitamkan rambut, tanaman Cempaka Cina di Kabupaten Hulu Sungai Utara berkhasiat sebagai obat sakit panas dalam, bisul dan dan sakit kepala.

Tanaman Kumpai Maling yang ditemukan di Desa Malinau, Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, daunnya berkhasiat untuk mengobat luka luar. Penawar Seribu yang tumbuh di Desa Mayanau, Desa Juh dan Desa Mauya Kabupaten Balangan, umbinya berkhasiat ampuh sebagai penawar racun, muntah darah dan sakit liver.
Obat Herbal
Era tahun 80-an hingga tahun 90-an berbagai produk jamu olahan masyarakat di provinsi ini begitu dikenal, bukan saja di wilayah sendiri bahkan diantarpulaukan.

Jamu olahan Kalsel yang terkenal tersebut, diantaranya jamu Sarigading, Jamu Pasak Bumi, Jamu Tabat Barito.

Bukan hanya jamu produk herbal olahan masyarakat Kalsel tersebut, tetapi juga salep yang terkenal dengan nama salep cap Dua Kokang, atau bedak mempercantik diri bagi kaum perempuan yang disebut “pupur bangkal”.

Obat-obatan herbal disebut di atas tersebut hanya yang terangkat kepermukaan, padahal masih segudang obat-obatan produk herbal olahan masyarakat Kalsel yang dibuat skala kecil dan tidak populer yang membuktikan wilayah ini “gudangnya” obat herbal.

Kepala Dinas Kesehatan Kalsel Rosihan Adhani belum lama ini pernah mengakui daratan ini kaya bahan obat herbal, makanya pemerintah mendukung pengembangan produk jamu tradisional yang berasal dari sumber daya alam lokal sebagai pengobatan alternatif.

Ia mengatakan, Kalsel merupakan konsumen jamu terbesar nasional sehingga sudah saatnya kini pemerintah dan masyarakat mengangkat citra obat tradisional tersebut.

Menurutnya Kalsel saatnya mengangkat potensi obat-obatan itu kepermukaan, mengingat 95 persen bahan baku obat berasal dari luar negeri.

“Kami sudah tertinggal dari Cina dan Korea dalam pengembangan obat tradisional. Sehingga kita ingin mempopulerkan potensi obat herbal, seperti Pasak Bumi, Tabat Barito, Sarang Semut jangan samapi dipatenkan negara lain dan kita akhirnya hanya jadi penonton dan konsumen saja,” ujarnya.

MANUGAL, CARA TANI DAYAK DI PEDALAMAN KALIMANTAN

Oleh Hasan Zainuddin

Manugal sebutan warga Dayak Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan untuk bertani di lahan kering atau gunung, manugal bisa jadi sebuah proses dalam penanaman padi ala Dayak tersebut. Seperti dalam proses bertani, yaitu laki-laki menugal (melubangkan lahan untuk benih) dan perempuan memasukkan benih padi ke lubang tugal dengan jarak tanam 20cm x 20cm, dimana setiap lubang diisi 5-7 benih. Lubang tugal tidak ditutup, dibiarkan terbuka, tapi lama kelamaan lubang itu dengan sendirinya akan tertutup oleh tanah akibat aliran air hujan pada permukaan tanah. Merasakan dan ikut menyatu dalam kebiasaan Warga Dayak Pegunungan dalam bertani itulah yang dilakukan dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ir Abdul Haris Mustari, MSc.

Abdul Haris berada di Pegunungan Meratus sebagai peneliti yang tergabung dalam Tim Eksepedisi Khatulistiwa berlangsung April-Juli 2012 lalu.

Sebelum menanam, katanya dilakukan ritual, yaitu membakar dupa yang dibawa mengelilingi lahan yang akan ditanami sebanyak tiga kali sambil membaca mantra yang isinya adalah doa dan permohonan kepada YMK agar hasil padi melimpah dan dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Varietas padi di komunitas petani Dayak Meratus sangat tinggi, tercatat minimal 28 varietas padi, baik padi biasa maupun padi pulut (lakatan),kata Haris Mustari dalam sebuah tulisan yang disampaikan kepada penulis melalui email. Orang Dayak telah melestarikan berbagai varietas padi secara turun temurun karena itu lingkungan alam Dayak telah menjadi bank gen (gene pool) untuk berbagai varietas padi yang sangat penting dilestarikan karena diperlukan dalam rangka pemuliaan padi yang lebih unggul yang diperlukan manusia. Selain padi, orang Dayak juga menanam berbagai jenis palawija dan tanaman tahunan yang menunjang kehidupan mereka.

Beberapa varietas padi yang ditanam orang Dayak diantaranya Sabai, Tampiko, Buyung, Uluran, Salak, Kanjangah, Kihung, Kalapa, Uluran, Kunyit, Briwit, dan Sabuk. Selain padi biasa, juga ditanam padi pulut atau lakatan yaitu jenis Kariwaya, Kalatan, Harang, Samad dan Saluang. Di antara berbagai varietas padi itu, Buyung dan Arai adalah yang paling digemari karena wangi dan enak rasanya. Semua padi yang ditanam adalah varietas lokal, umur panen enam bulan. Bersamaan dengan penanaman padi itu, juga ditanam berbagai jenis palawija seperti singkong atau disebut gumbili, lombok, timun, labuh, kacang panjang, berbagai jenis pisang, keladi, yang kesemuanya itu menjadi makanan tambahan. Sedangkan tanaman tahunan seperti karet, kemiri dan kayu manis ditanam pada areal yang terpisah dengan penanaman padi dan palawija. Dan di tengah hamparan padi itu mereka juga menanam Kembang habang dan Kembang kuning (Celosia sp, famili Amaranthaceae) yang nantinya menjadi syarat untuk berbagai acara adat seperti Besambu, Mahanyari, Aruh Ganal, Aruh Bawanang, semuanya perlu Kembang itu, cerita Haris Mustari.

“Kembang habang dan Kembang kuning adalah kembang yang diizinkan oleh Dato Adam untuk dipakai dalam acara acara adat agama Kaharingan,” ujar pak Imar, petani warga Dayak ketika berkisah di suatu malam di pehumaannnya di Gunung Nunungin. Bulan ketiga dari penanaman, yaitu sekitar bulan Januari dilakukan penyiangan rumput dan gulma pengganggu tanaman padi. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut atau memotong rumput dengan parang. Bulan Februari, ketika padi berumur 3-4 bulan, mulai keluar buah atau malai dan ini disambut dengan suka cita oleh mereka, dianggap berkah dan harus disambut dengan ritual, layaknya menyambut kelahiran bayi yang sangat dinantikan.

Acara meyambut keluarnya buah padi disebut Besambu atau Sambu Uma, artinya menyambut keluarnya buah dan malai padi. Ketika padi mengeluarkan malai, maka ada beberapa pantangan bagi si pemilik padi yaitu tidak boleh memotong kayu hidup, tidak boleh memetik daun dan tidak boleh masuk hutan. Pada saat itu diadakan acara adat yang disebut Aruh Adat Besambu di Balai Adat. Pada acara itu, ayam dan babi dipotong, lemang dibuat, dan Kembang habang dan kuning dipersembahkan, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar padi berbuah lebat dan selamat sampai dapat dipanen untuk menghidupi keluarga. Setelah lahan disiangi, dan adat Besambu telah dilaksanakan, kini tinggal menunggu padi menguning dan setelah enam bulan, buliran buliran mulai menguning, malai menunduk semakin dalam pertanda padi berisi penuh, dan suka cita bagi petani Dayak, pertanda panen tahun ini berhasil, berkah dari Yang Maha Kuasa. Ketika padi berumur 4-5 bulan, yaitu pada bulan Maret-April, malai mulai menguning, namun belum matang. Saatnya untuk acara adat Bawawar, yaitu selamatan di ladang, menyambut padi yang mulai menguning itu. Pada acara itu, daun aren, Kembang habang dan Kembang kuning serta berbagai sesajen dipersembahkan kepada penguasa alam semesta agar padi yang mulai menguning itu selamat sampai dapat dipanen.

Mahanyari :

Bulan April dan Mei, saatnya panen. Sebelum panen, dilakukan acara adat yaitu Mahanyari yang secara harfiah Mahanyari (hanyar baru) artinya memulai panen padi pada tahun itu. Suatu ungkapan rasa syukur yang mendalam atas melimpahnya panen tahun ini serta permohonan agar diberi keselamatan. Mahanyari dilakukan secara berkelompok atau secara idividu setiap keluarga. Mahanyari yang dilakukan secara berkelompok dan dilakukan di Balai Adat disebut Aruh. Pada acara Mahanyari disediakan berbagai sesajen yang akan dibawa ke pehumaan di Tihang Bekambang (tiang bambu kuning yang dihiasi Kembang dan dedaunan) yang telah disiapkan.

Tihang bekambang terdiri dari tiang berupa bambu kuning, bagian paling atas melambangkan huruf atau kepala manusia yang disebut songkol. Di bawah songkol terdapat daun sejenis palem yang disebut daun Risi dan ditambah Kembang habang. Di bagian tengah Tihang Bekambang terdapat papan bundar berdiameter sekitar 70 cm tempat menyimpan berbagai sesajian disebut Dulang Campan yang melambangkan Bumi. Sesajian yang disimpan di atas Dulang Campan terdiri dari darah ayam dengan wadah tempurung kelapa, wajit, minyak kelapa, dodol ketan, darah ayam, dan air kunyit. Gulungan daun terep (Artocarpus sp), sejenis sukun hutan yang di dalamnya terdapat daun mada, daun risi, buah merah yang disebut hibak, daun ribu ribu, daun binturung, daun buluh, daun sirih benaik, dan daun singgae singgae.

Balian (dukun) memulainya dengan membaca mantra berupa doa bertutur yang pada dasarnya adalah doa dan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkah panen padi yang diberikan. Ayam dipotong di bawah Dulang Campan, yang dipersembahkan kepada YMK dimana darahnya dikucurkan dibawah Tihang Bekambang di tanah dan di tiang bambu kuning.
Selanjutnya ayam yang telah dipotong itu dibawa ke pondok untuk dimasak dan dimakan bersama kerabat dan tetangga. Setelah itu Balian membawa berbagai bahan sesajian dan gulungan daun terep yang berisi bermacam daun lain seperti tersebut di atas ke pondok pehumaan dan disimpan di dekat lumbung padi. Selanjutnya para tetua kampung dan Balian membaca mantra-mantra yang isinya adalah rasa syukur dan permohonan keselamatan pada pemilik semesta atas berkah dan panen padi yang melimpah dan dapat dimakan oleh anggota keluarga dengan selamat.

Setelah itu dilakukan pembagian lemang, makanan khas Dayak. Lamang adalah beras ketan yang dicampur santan dan garam yang dimasukkan ke dalam bambu kemudian dibakar menggunakan kayu sekitar 2,5 jam. Beras ketan (lakatan) yang digunakan sebagai bahan lamang adalah hasil panen padi yang baru dilakukan sebagai simbol bahwa hasil panen tahun itu telah dapat dinikmati. Selanjutnya adalah acara makan bersama dengan menu berupa nasi yang disimpan dipiring, sayur ayam, sayur labuh. Setiap yang hadir harus mencicipi makanan yang disediakan oleh tuan rumah. Nasi yang dihidangkan berupa nasi putih dari padi yang baru saja dipanen. Acara Mahanyari adalah ungkapan rasa syukur kepada YMK dan acara berbagi makanan kepada para kerabat dan tetangga. Selanjutnya adalah acara terakhir dari Mahanyari itu, yaitu penutupan oleh Balian dihadiri tetua kampung dan kepala keluarga.

Pada acara penutupan itu disajikan sesajian dan makanan berupa wajit, darah ayam kampung yang disimpan di tempurung, sagu, hanyangan, sumur Salaka (gelas berisi minuman warna coklat, dan hijau), sumur minyak, telur ayam kampung, belacu dan tumpi, menyan, karangan pandan, pisang, minyak kelapa yang disebut sumur minyak, kandutan atau andungan yang disebut buta atau wadah keranjang terbuat dari anyaman bambu. Balian dan tetua membaca mantra berupa kalimat-kalimat bertutur saling berbalas diantara tetua adat dan Balian, dan acara ini dilakukan selama kurang lebih 30 menit. Para anggota keluarga dan kerabat dekat menengadahkan tangan di depan Balian untuk menerima semacam “air berkah” dari karangan daun pandan dan diusapkan secara berulang oleh Balian kepada anggota keluarga dan kerabat dekat tuan rumah, simbol keberkahan.

Memanen Padi

Setelah acara Mahanyari, padi dipanen semuanya. Berbeda halnya ketika menugal dan menanam padi yang dilakukan secara gotong royong, panen dilakukan sendiri oleh keluarga yang bersangkutan. Orang Dayak menggunakan kumpai (bambu kecil bulat yang sisinya ditajamkan), dan ranggaman (anai-anai) untuk memanen padi. Bagi Dayak Meratus, memanen padi lahan kering harus menggunakan kedua alat tradisional itu, kecuali padi sawah. Penggunaan sabit dan mesin perontok gabah tidak diperbolehkan, dianggap pemali dan tabu, dan apabila pemali itu dilanggar, akan menyebabkan sakit. Hari pertama panen harus dilakukan oleh perempuan yang sudah berkeluarga, yaitu ibu rumah tangga dari keluarga itu. Hari kedua dan seterusnya perempuan gadis dapat membantu. Keterlibatan laki-laki diperbolehkan mulai hari keempat dan seterusnya sampai panen selesai. Perempuan yang sedang haid tidak diperbolehkan memanen padi, dan kondisi itu juga berlaku ketika menanam, perempuan yang sedang haid tidak diperkenankan menanam jenis tanaman apapun termasuk padi. Padi yang telah dipanen kemudian dibawa ke pondok, dikeringkan lalu dirontokkan pakai kaki yaitu dengan cara diinjak injak dan digulung gulung sehingga gabah rontok dari malainya. Selanjutnya gabah dikeringkan, lalu dimasukkan ke Lulung. Lulung ini terbuat dari kulit kayu meranti putih berdiameter besar lebih 1 meter yang dikupas dibuat melingkar.

Selanjutnya lulung disimpan di lumbung padi yang disebut Lampau. Agar gabah tidak diserang serangga perusak, mereka menggunakan bahan tradisional, yaitu daun tumbuhan sungkai (Veronema canescen) dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan lalu dicampurkan kedalam gabah yang disimpan pada lulung. Dengan campuran daun sungkai itu, gabah tahan disimpan beberapa tahun, tidak dimakan dan dirusak serangga. Orang Dayak memiliki persediaan padi yang melimpah. Beberapa keluarga Dayak bahkan memiliki persediaan padi yang disimpan 5-7 tahun yang lalu. Padi yang baru dipanen setelah acara Mahanyari dan telah dimakan untuk pertama kali sebagi simbol bahwa hasil panen padi tahun ini telah dapat dinikmati, disimpan di lumbung, dan yang dikonsumsi sehari hari adalah padi yang dipanen beberapa tahun yang lalu.

Suatu pembelajaran mengenai sistem ketahanan pangan. Dayak memiliki ketahanan pangan yang tinggi, sehingga ucapan Pak Imar : “kami tidak memiliki banyak uang, tapi kami sugih banih/padi”, adalah benar adanya. Dayak Meratus sangat jarang menjual beras, lebih baik disimpan bertahun tahun, padi dianggap sakral. Namun demikian orang Dayak sangat ramah dan suka memberi beras, termasuk kami peserta ekspedisi, sering diberi beras oleh mereka ketika berada di kampung, terlebih ketika selesai menghadiri acara Mahanyari dan Aruh, pasti kami dibekali beras dan lamang, yang diberikan oleh orang Dayak dengan tulus. “Kapan kembali ke Jakarta, saya akan membawakan beras Buyung, oleh-oleh dari kami” kata Rudinar dari kampung Kiyu menawarkan kepada peserta ekspedisi. Beras adalah barang berharga, dan sangat layak sebagai oleh-oleh, apalagi beras Buyung yang sangat harum dan enak rasanya, demikian yang ada di benak Rudinar, pemuda yang telah menjadi pemandu untuk mendaki Gunung Halau Halau Meratus, dan menamani anggota Tim Ekspedisi menginap di Balai Adat kampung Kiyu.