KALTENG TAWARKAN EKOWISATA UNIK SEBANGAU

 Oleh Hasan Zainuddin
         Taman Nasional (TN) Sebangau Kalimantan Tengah (Kalteng) memiliki keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna, tetapi yang unik  adanya ekosistem air hitam.
        “Ekosistem yang unik itulah yang menyebabkan TN Sebangau Kalteng berpotensi dijadikan kawasan ekowisata,” kata Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng, Aida Meyarti.
        Ekosistem air hitam merupakan akibat dari proses pelapukan bahan organik lahan hutan bergambut. Kawasan itu dinilai unik untuk menarik wisatawan.
        Keunikan itulah yang ditonjolkan untuk memprosikan kawasan TN Sebangau sebagai kawasan objek wisata, dan ternyata memang direspons wisatawan mancanegara.
        Ekosistem itu memberikan manfaat kehidupan, baik tumbuhan maupun binatang.
        Lembaga Ilmu Pengetahuan Idonesia (LIPI) pada 2006 meneliti TN Sebangau, dan menapati bahwa di sana terdapat 808 jenis tumbuhan yang mengandung khasiat obat.
        TN Sebangau juga merupakan habitat sejumlah satwa, seperti burung enggang, beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus atheroides), kancil (tragulus Javanicus), macan dahan (neofelis nebulosa), tupai (tupaia spp), loris (Nycticebus coucang), serta satwa lainnya dengan spicies induk orangutan (Pongo pygmaeus).
        Hasil survei dan penelitian tahun 2006 itu menemukan 6000-9000 ekor orangutan menghuni kawasan ini.
        Mengutip hasil penelitian atau studi hutan rawa gambut Universitas Palangkaraya (Unpar), terdapat sedikitnya 106 jenis tumbuh-tumbuhan yang ada di wilayah itu, di antaranya adalah tumbuhan asli Kalimantan.
        Tumbuhan asli Kalimantan itu, antara lain ramin (Gonystilus bancanus), jelutung (Dyera costulata), balangeran (Shorea belangeran) bintangur (Colophyllum sclerophyllum),  meranti (Shorea spp), nyatoh (Palaquium spp), keruing (Dipterocarpus spp), agathis (Agathis spp), menjalin (Xanthophyllum spp).
        Selain itu terdapat 116 spicies burung, di antaranya burung khas Kalimantan, burung enggang.
        Sementara 35 jenis mamalia yang ada di kawasan itu selain orangutan juga ada bekantan (nasalis larvatus) merupakan satwa kera hidung besar yang hanya ada di Pulau terbesar di nusantara itu.
        Masih ada pula kera lain yaitu lutung, owa-owa (Hylobates agilis), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kera abu-abu, dan beberapa jenis lainnya.
        Sementara jenis ikan rawa yang banyak terdapat di areal ini antara lain gabus (Channa striata), lele (Clarias sp), papuyu (Anabas testudineus), kapar (Belontia hesselti), sambaling (Betta sp), gurami (Helostoma temminckii), karandang (Channa pleuropthalmus), tapah (Wallago leeri), dan banyak lagi spesies lainnya.
        Anggrek hitam (Coelogyne pandurata), serta tanaman liar kantung semar (Nepenthes ampullaria) serta anggrek lainnya juga terdapat di sana.
        Kekhasan lain TN Sabangau terdapat laboratorium alam hutan rawa gambut yang dikelola Pusat kerjasama Internasioal Pengelolaan Gambut Tropika (Cimtrop) Univeritas Palangkaraya (Unpar) sebagai lembaga riset yang memfokuskan penelitian di bidang pengelolaan hutan rawa gambut.
        Potensi wisata lain di taman nasional ini ialah keberadaan alamnya, terdapat jeram, lembah, serta danau-danau.
        TN Sebangau memiliki luas sekitar 568.700 hektare terletak di antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan.
        Secara administrasi merupakan bagian dari Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya.
        Kawasan itu merupakan hutan rawa gambut yang masih tersisa di Kalteng setelah gagalnya Proyek  Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare pada 1995.
        Kegiatan wisata yang bisa dinikmati di kawasan itu, antara lain menjelajah hutan rawa gambut dengan cara mengitari alur sungai, mengamati flora dan fauna yang unik dan khas, mendaki bukit, berenang di sungai, atau melihat adat istiadat dan budaya Suku Dayak, seperti acara “tiwah”.
   
             Konsep WWF
   Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) WWF Indonesia telah pula menawarkan konsep pengembangan ekowisata di TN Sebangau.

        Konsep Ekowisata yang ditawarkan WWF Indonesia tersebut berbasis masyarakat, kata Pimpinan Projek Konservasi Sebangau WWF-Indonesia Rosenda Ch Kasih.

        Konsep tersebut penggabungan antara konsep “community based tourism” dan “ecotourism”. Dibuat untuk mengangkat pengembangan ekonomi tanpa melupakan konsep pembangunan berkelanjutan, dengan berakar pada potensi lokal, tambahnya.

        Dalam pengelolaannya harus dilaksanakan secara bertanggungjawab di tempat-tempat alami, secara ekonomi harus berkelanjutan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setiap generasi.

        Dalam pemahaman tersebut, ketika ekowisata dikembangkan maka potensi Sumber Daya Alam (SDA) maupun budaya  harus dipandang sebagai aset dan minimal harus ada empat pilar yang harus diusung.

        Empat pilar tersebut, kata Rosenda Ch Kasih, yaitu konservasi, ekonomi, pendidikan, dan partisipasi masyarakat itu sendiri.

        WWF Indonesia melihat kawasan Sebangau merupakan kawasan konservasi sebagai pelestarian alam, di kawasan itu tumbuh beribu jenis flora dan menjadi habitat hidup berbagai satwa dengan spesies kunci orangutan.

        Di sekeliling TN Sebangau diinteraksi oleh keragaman budaya khas masyarakat Suku Dayak Kalteng dengan kehidupan tradisionalnya dalam memanfaatkan SDA tersebut.

        Dalam upaya melakukan kegiatan ekowisata di Sebangau, WWF Indonesia mengembangkannya dengan berbasis masyarakat, karena masyarakatlah yang harus menjadi salah satu pelaku kegiatan ini.

        “Mereka harus memiliki nilai dan porsi tawar yang setara dengan pihak lain, ketika ekowisata ini dibangun dan dikembangkan, masyarakat tak boleh hanya menjadi objek dari pengembangan, tetapi harus menjadi pemilik dari kegiatan ekowisata,” demikian Rosenda Ch Kasih.

 

 

 

Feature: CENTRAL KALIMANTAN OFFERING UNIQUE ECOTOURISM By Hasan Zainuddin
         Jakarta, Sept 8 (ANTARA) – The Sebangau National Park in Central Kalimantan, Indonesia, has a unique fauna and flora biodiversity  including a black water ecosystem.      
   “The unique ecosystem makes the park a potential ecotourism region,” head of the Tourism Destination Development Section at the East Kalimantan Culture and Tourism Office, Aida Meyarti, said here recently.
        Tourists consider  the black water ecosystem a unique thing. The ecosystem came into being by the decay of organic substances on  peatland. 
   The uniqueness of the ecosystem is among the things being promoted in the Sebangau National Park as a tourist site which is visited by many domestic and foreign tourists.
        The Indonesian Institute of Sciences (LIPI) in 2006 conducted a research in the Sebangau National Park and found 808 herbal plant species.  
   The Sebangau National Park which is home to a number of animals including different species of bird, bear (helarctos malayanus), deer (cervus unicolor), small antelope (muntiacus atheroides), mouse deer (tragulus javanicus), tiger (neofelis nebulosa), squirrel (tupaia spp) and orangutan (pongo pygmaeus).
        The research in 2006 found 6,000 – 9,000 orangutans living in the Sebangau National Park. 
   Meanwhile, research conducted by Palangkaraya University in East Kalimantan resulted in the discovery of at least 106 floral species including native plants in the Sebangau National Park. 
   Kalimantan’s native plants include ramin (gonystilus bancanus), jelutung (dyera constulata), balangeran (shorea belangeran), bintangur (colophyllum sclerophyllum), meranti (shorea spp), nyatoh (palaquium spp), keruing (dipterocarpus), agathis (agathis spp) and menjalin (xanthophyllum spp).
         The national park also has 116 bird species including Kalimantan’s native bird called Enggang, besides 35 species of mammals like orangutans and bekantan (nasalis larvatus, a monkey with a big nose which is found only in Kalimantan, the largest  island in Indonesia.  
    The national park also has black or gray long-tailed monkey or lutung, owa-owa (hylobates agilis), long-tailed monkey (macaca fascicularis) and gray monkey among other mammals.
         Several species of swamp fish were also found in the national park like gabus (channa striata), lele (clarias sp), papuyu (anabas testudineus), kapar (belontia hesselti), sambaling (betta sp), gurami (helostoma temminckii), karandang (channa pleuropthalmus and tapah (wallago leeri). 
   The national park is also rich in unique flower species like black orchid (coelogyne pandurata) and such wild plants as kantung semar (nepenthes ampullaria).     
   The Sebangau National Park has a nature laboratory managed by the Center for International Cooperation on  Tropical Peat Land Management of Palangkaraya Univesity as a research institute focusing on peat land management.  
    As a tourist site, the Sebangau National Park also has water falls, beautiful valleys and lakes. The national park covers an area of 569,700 hectares where the Sebangau and Katingan rivers flow, and occupies  parts of Katingan district, Pulang Pisau district and Palangkaraya city.
        In the national park, tourists can traverse  peat land forests, trek along rivers and observe unique flora and fauna, climb  hills, swim in the rivers or watch Dayak traditions.   
  WWF concept 
  Ecotourism is a form of sustainable tourism development in support of efforts to preserve the environment, including  nature and cultures. The local government involves local people in developing  ecotourism in the Sebangau National Park. 
   The World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia has offered its concept of community based ecotourism development in the Sebangau National Park, said Rosenda Ch Kasih, project leader of  WWF-Indonesia Sebangau Conservation    
  According to Rosenda, the WWF’s concept combines  the community-based tourism concept and the ecotourism concept in an effort to develop local economic potentials under the sustainable development concept which generates direct advantages to the local people of every generation.      
    Ecotourism deals with natural resources and cultures which must be developed on four pillars — conservation, economy, education and people’s participation, Rosenda said.
        WWF Indonesia sees the Sebangau area as a nature conservation area home to thousands of fauna, flora and animal species including orangutans.  
   With the development of ecotourism  in the national park, local people  must have equal values and bargaining position with other people, and they should not become objects but subjects of the ecotourism development projects, Rosenda said.

 

 

 

 

Pelanduk (kancil) satu satwa, salah satu penghuni TN Sebangau (foto sdnkarangwaru1)

 

dua satwa diantara banyaknya penghuni TN Sebangau Kalteng