“ISAP BUYU” ANGGAPAN SALAH KIAN MEREBAKNYA GIZI BURUK KALSEL

         Oleh Hasan Zainuddin
     Banjarmasin, 10/3 (ANTARA)- Selama periode Januari-Februari 2008 kasus  gizi buruk (marasmus)di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) bertambah 15 kasus dari 143 kasus tahun 2007.
          Dari tambahan 15 kasus gizi buruk tersebut dua diantaranya meninggal dunia, demikian pengakuan Kepala Dinas Kesehatan Kalsel Drg. Rosehan Adhani  di sela seminar sehari “Inisiasi Menyusui Memberikan ASI Eksklusif Menjadi Gizi Baik Sehat dan Cerdas” di Banjarmasin, Sabtu (8/3) lalu.
          Sedangkan dari 143 kasus gizi buruk yang terjadi di Kalsel selama periode Januari-Desember 2007, terdapat 15 balita meninggal.
          Dua Balita penderita gizi buruk yang baru meninggal yaitu dari keluarga penduduk Aluh-Aluh di wilayah Kabupatan Banjar yang juga berdekatan dengan Banjarmasin sebagai ibukota Provinsi Kalsel.
          Kedua Balita warga Aluh-Aluh yang mengalami  marasmus tidak dapat tertolong  akibat infeksi yang sudah parah.
          Dari kasus gizi buruk dan korban meninggal selama tahun 2007, sebagian besar akibat  keterlambatan penanganan dan terkena infeksi serangan penyakit lainnya.
         Dari jumlah kasus gizi buruk 2007 tersebut, Kota Banjarmasin paling banyak jumlah penderita gizi buruk yaitu mencapai 42 orang, selanjutnya Kabupaten Banjar, 25 orang, Tanah Laut (Tala) 23 orang, Hulu Sungai Tengah (HST) 8 orang.



         Di Kabupaten Barito Kuala (Batola) sembilan  orang, Hulu sungai Utara (HSU) lima  orang, Kotabaru dan Tanah Bumbu masing-masing empat  orang, Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Tabalong, masing-masing tiga  orang dan Banjarbaru, Tapin, serta Balangan, masing-masing satu orang.
         Berdasarkan catatan, kasus balita gizi buruk di Kalsel cukup tinggi terjadi sejak tahun 2001 tercatat 58 kasus dan tujuh orang di antaranya meninggal dunia, pada 2002 kasus gizi buruk tercatat 27 kasus sembilan diantaranya meninggal dunia.
         Pada tahun-tahun selanjutnya kasusnya tidak juga berkurang, bahkan cenderung meningkat. Pada 2003 tercatat 32 kasus empat diantaranya meninggal, 2004 tercatat 48 kasus tujuh diantaranya meninggal dunia.
         Kasus gizi buruk, bahkan melonjak tajam pada 2005, tercatat 183 kasus, delapan diantaranya meninggal dunia, dan kasus itu meningkat lagi tahun 2006 dengan jumlah 205 kasus dan 22 dinyatakan meninggal dunia.
         Menurut Kadis Kesehatan Kalsel,  Rosehan Adhani, salah satu penyebab masih tingginya kasus gizi buruk di Kalsel, di antaranya karena masih minimnya kesadaran masyarakat untuk menyusui bayinya dengan air susu ibu (ASI).
         Selain itu, tingkat pendidikan masih cukup rendah, ekonomi  rakyat lemah serta masih berkembangnya berbagai anggapan salah ditengah masyarakat mengenai munculnya kasus gizi buruk di tengah masyarakat.
         Faktor lainnya misalnya soal ketersediaan bahan baku pangan di daerah tersebut yang kurang, Kemudian masalah pendidikan dan kesejahteraan keluarga juga mempengaruhinya.
        “Banyak masyarakat di daerah terpencil kurang mengerti arti penting gizi bagi pertumbuhan anaknya. Misalnya ibu dan bapaknya sibuk cari kerja untuk cari nafkah sehingga tak terpantau lagi kesehatan dan perkembangan anaknya yang masih bayi atau Balita,” ujarnya.
        Bukan warga wilayah terpencil saja yang kurang mengerti arti pentingnya gizi tetapi warga kotapun banyak yang kurang mengerti masalah kesehatan gizi itu.
         Seorang tukang becak di Banjarmasin, lebih memilih membeli rokok Rp5 ribu perbungkus, ketimbang harus membelikan tiga bungkus susu bagi anaknya.
         Masih banyaknya kasus gizi buruk di Kalsel tersebut disebabkan karena belum tertanganinya kasus kemiskinan, kurangnnya asupan gizi secara baik, dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk membawa balita maupun ibu hamil ke Posyandu.
         Berdasarkan catatan, hingga sekarang persentasi masyarakat yang bersedia mendatangi Posyandu baru 49,7 persen, sisanya masih enggan untuk memeriksakan diri ke pusat pelayanan terpadu yang dibangun oleh masyarakat tersebut.
         Beberapa waktu lalu Wakil Kepala Dinas Kesehatan Kalsel dr Asikin, menyatakan kondisi kasus gizi buruk Kalsel ini memang menyedihkan, oleh karena itu ia meminta masyarakat yang berkemampuan supaya ikut memberikan kontribusi terhadap penanggulangan gizi buruk, karena bila warga berkemampuan tak melibatkan diri maka relatif  sulit untuk mengatasinya.
         Kalsel ini banyak usaha skala besar, baik usaha  pertambangan batubara, tambang biji besi, intan, emas, dan tambang lainnya disamping usaha perkayuan, wajarlah bila pengusaha yang banyak memperoleh untung itu bersedia menyisihkan sedikit keuntungannya bagi warga miskin dalam upaya mengatasi gizi buruk itu.
         Menurut wakil Kepala Dinas Kesehatan Kalsel ini bila anak mengalami gizi buruk, setelah dewasa akan menjadi beban bagi negara.
         “Berdasarkan penelitian, ibu hamil yang kekurangan gizi, bayinya akan kehilangan intelegensi 20 persen, dan bila lahir hanya mampu sekolah sampai lanjutan pertama saja.”
    Akibat negatif dari kurang gizi ini, memang berpengaruh sangat besar terhadap mutu sumber daya manusia kelak. Kekurangan gizi yang dialami pada masa Balita, menyebabkan terhambatnya tumbuh kembang anak dan meningkatnya angka kesakitan dan kematian anak.
         Dampak selanjutnya adalah muncul generasi dengan IQ relatif lebih rendah yang akan menurunkan kualitas manusia Indonesia. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau kasus ini perlu penanganan sesegera dan seserius mungkin.
         Berdasarkan sebuah catatan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyatakan sebanyak 13 juta dari 29 juta anak di Indonesia masih mengalami kekurangan gizi,kebanyakan dari mereka berada di Indonesia bagian timur seperti Madura, NTT, NTB, Papua dan  Maluku.
         Dari total anak-anak yang mengalami kurang gizi, diperkirakan 5 juta anak masuk kategori kurang gizi. Sedangkan sekitar 1,5 juta anak masuk kategori kurang gizi sangat buruk atau gizi buruk.
         Bila tidak segera tertangani, sekitar 1,5 juta anak tersebut bisa terkena berbagai komplikasi penyakit yang bisa mengarah pada kematian.
         Kondisi ini memang sangat eronis dengan kondisi Indonesia yang terbilang subur dan memiliki keanekaragaman tanaman yang berarti banyak sekali memiliki sumber zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral) yang bisa dikonsumsi.
         Contohnya untuk sumber karbohidrat, masyarakat jangan hanya terpaku pada beras. Banyak sumber karbohidrat lain seperti singkong, kentang, ubi jalar, jagung, sagu dan berbagai jenis umbi-umbian, yang kadang spesifik di daerah tertentu.
         Makanan bergizi tidak harus mahal, yang terpenting mengonsumsi berbagai jenis makanan, karena tidak ada satu pun makanan yang bisa memenuhi seluruh zat gizi.
         Sebagai sumber tenaga, manusia membutuhkan karbohidrat yang bersumber dari biji-bijian dan umbi-umbian. Sebagai zat pembangun dibutuhkan protein yang banyak terdapat pada ikan, telur, daging, ayam serta kacang-kacangan. Sebagai zat pengatur diperlukan vitamin dan mineral yang didapat dari sayuran dan buah-buahan.
   
      Isap Buyu
    Beberapa kasus gizi buruk yang ditemukan ternyata berada di lingkungan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga kemunculan  kasus gizi buruk di wilayah itu melahirkan berbagai anggapan yang salah.
         Anggapan yang paling banyak berkembang di tengah masyarakat Kalsel  menyikapi kasus gizi buruk itu adalah anak diganggu setan, yang disebut setan buyu.
         Setan buyu bukan saja menganggu anak sehingga anak sering menangis tetapi juga mengisap darah anak, akibatnya anak mengalami kurus kering, makanya bila ditemukan anak kurus kering dan pucat sudah lumrah dikatakan akibat diisap buyu.
        Akibat anggapan demikian, maka seringkali si anak yang menderita gizi buruk ini bukannya diobati ke rumah sakit atau puskesmas melainkan di bawa ke dukun atau mendatangkan orang pintar ke rumah.
        Seringkali pengobatan anak ini dengan berbagai cara antaranya memasukkan anak ke dalam tangguk (alat menangkap ikan) atau si anak dimasukan ke jala, bahkan anak ada pula yang di “dadang” (dipanasi dengan mendekatkan bayi ke api) dengan bahan bakar api menyala  terbuat dari daun pisang kidung kering.
         Atau si anak di saat senja di bawa ke depan pintu rumah, lalu si dukun menyemprotkan air berkali-kali ke badan anak, maksudnya mengusir roh jahat yang menggangu anak.
        Berdasarkan anggapan salah demikian akhirnya anak tidak memperoleh perawatan yang cukup, apalagi di ibu anak biasanya memperoleh pelajaran salah pula dari nenek moyang terdahulu, dimana seusai melahirkan begitu banyak pantangan makanan untuk segera dihindari.
        Karena bila pantangan itu dilanggar, maka di ibu bayi yang baru melahirkan akan menderita penyakit “mauk” (penyakit kepala pusing-pusing dan muntah).
        Akibat anggapan demikian maka banyak ibu yang baru melahirkan di beberapa pemukiman masyarakat pinggiran Kalsel itu hanya mengkosnumsi nasi ditambah dengan satu iris “garih” (ikan kering gabus) yang dibakar serta sayuran atau lalapan dari tanaman gulma yang disebut warga setempat “kasisap.”
  Tanaman kasisap yang biasa tumbuh di depan rumah penduduk ini dianggap memiliki khasiat untuk menghentikan pendarahan, dan mengobati penyakit mauk demikian.
         Paling berani ibu baru melahirkan itu hanya mengkonsumsi sebutir telur ayam kampung dan sama sekali tak berani mengkonsumsi ikan segar apalagi daging binatang, padahal di sekeliling rumah warga biasanya kawasan berawa-rawa atau sungai yang terdapat banyak ikan.
        Sementara aneka sayuran juga begitu banyak tumbuh, seperti kangkung, genjer, daun singkong, katu, keladi (talas) bungkul pisang, umbut kelapa, umbut aren, rebung (bambu muda), ubi-ubian, hingga kacang-kacangan yang sebenarnya bisa menambah gizi si ibu yang baru melahirkan tersebut.
        “Bagaimana bayi yang baru lahir mau sehat bila disusui ibu yang kurang gizi demikian, akhirnya bayi tumbuh dan berkembang menjadi anak  yang sama sekali tidak sehat, yang kemudian mengalami kurang gizi berkepanjangan yang disebut sebagai penderita Isap Buyu.” kata seorang petugas kesehatan saat memeriksa seorang balita kurang gizi di wilayah Banua Enam (kawasan utara Kalsel).
        Melihat kenyataan itulah berbagai kalangan mengharapkan  semua pihak, khususnya petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan bimbingan  untuk menghindari berbagai anggapan salah , sekaligus mensosialisasikan pentingnya gizi bagi pertumbuhan ibu dan anaknya.
        Tindakan yang mungkin segara bisa dilakukan dalam upaya penyuluhan kesehatan itu adalah menghidupkan kembali kegiatan Posyandu.
        Guna menarik minat ibu hamil dan warga yang memiliki anak balita  untuk datang ke pusat pelayanan terpadu tersebut perlu dilakukan pancingan seperti dengan memberikan “door prize” atau hadiah khusus.
        Bila warga sudah memahami dan mengerti begitu pentingnya arti gizi yang bersumber dari makanan apa saja tidak mesti mahal, maka kasus gizi buruk yang sebenarnya memalukan itu bisa dihilangkan di bumi Kalsel ini.
 
 
 
 

3 Tanggapan

  1. Salam kenal ..

    Saya dokter di puskesmas di kabupaten probolinggo, puskesmas kami sedang merencanakan akan membuat klinik tumbuh kembang. Pelayanan tumbuh kembang anak pada balita di kecamatan kami, dan juga pelayanan konsultasi online melalui blog kami

    http://balitakami.wordpress.com

    Mohon masukan, kritik dan saran untuk lebih berkembangnya blog ini sebagai tempat kita mengoptimalkan tumbuh kembang anak-anak kita.

    Terima kasih

    draguscn.

  2. Saya sebenarnya tidak percaya akan ada ny istilah ” buyu “, tetapi setelah keponakan saya mengalami saya jadi bisa percaya..yang saya bingungkan buyu adalah kurang gizi, keponakan saya selama ini ASI ekslusif..kalau dibilang kurang gizi jadinya aneh bukan. Sebenarnya yang menyebabkan ” Buyu ” ini apa ?
    Apakah Buyu kemudian menjadi kurang gizi atau sebaliknya, kurang gizi sehingga menjadi yang disebut ” Buyu “. Kalau buyu orang menganggap bahwa orang orang di desa dan miskin yang bisa kena, tetapi saya dikota besar dan cukup gizi untuk si bayi.

    Gejala yang di alami adalah, perubahan sikap, sering nangis tanpa sebab, padahal kebutuhan asi dan makan terpenuhi, lemas, lesu, pandangan kosong. Kemudian saya curiga akan gejala demam berdarah karena panas tidak turun selama 3 hari, setelah periksa darah hasilnya negatif tidak ada apa – apa ( padahal dikota & rumah sakit besar ), akhirnya saya bawa ke tukang urut untuk balita dan di ruqiah alhamdulillah hari ke hari semakin baik.

    Saran saja, inilah yang saya lakukan kepada keponakan saya yang berumur 11 bulan :

    1. Periksa ke medis / dokter.
    2. Apabila tidak ada gejala atau dari tindakan medis tidak mengalami penyakit apapun tetapi anak tetap rewel, sering nangis, lemas, lesu, pandangan kosong, tidak ada salahnya membawa ke tukang urut untuk balita / di ruqiah.

Tinggalkan komentar